Universitas Muhammadiyah Malang (UMM) menyelenggarakan acara “Seminar Pra-Muktamar Muhammadiyah 2020” yang bertempat di Teater UMM Dome pada hari Sabtu, (08/02/2020). Acara tersebut dimulai sejak pukul 07.30 hingga 18.00 WIB.
Salah satu pembicara pada acara tersebut ialah Prof. Dr. M Amin Abdullah, Mantan Ketua Majelis Tarjih dan Pembaruan Pemikiran Islam pada era kepemimpinan Ahmad Syafii Ma’arif Sebagai Ketua Umum PP Muhammadiyah kala itu.
Pada permulaan penyampaian materinya, ia menyinggung secara sekilas pertemuan ulama-ulama sedunia di Al-Azhar, Kairo, Mesir, yang baru-baru ini telah dilaksanakan. Amin Abdullah mengatakan bahwa poin-poin pembaruan pemikiran Islam (Tajdid) sebagai hasil pertemuan tersebut, sudah dilakukan oleh Muhammadiyah 100 tahun silam.
Setelah itu, Amin Abdullah bertanya kepada para hadirin sebelum masuk pada pembahasan inti terkait tema pokok presentasinya.
“Apa yang salah dari pembaharuan pemikiran Islam? mengapa sekarang kembali ke konservatif?” tanya Amin Abdullah.
Ia mengatakan bahwa model dakwah sekarang ini cenderung mengarah kepada da’wah at-ta’ashub (dakwah kepada fanatisme), takfir (suka mengkafirkan), rafdhul ghair (menolak eksistensi golongan lain), karohiyyatul ghair (membenci golongan lain), daulah islamiyyah (negara Islam), al-hijrah, al-qital (perang) dan al-‘unf ai-irhabiyyah (ekstremisme/terorisme)
Model-model dakwah di atas menjadi tantangan Muhammadiyah seratus tahun kedua. Model pemahaman keagamaan dan pola dakwah seperti di atas, kata Amin Abdullah, akan menjadikan umat Islam jatuh pada tataran lower order of thinking (kemampuan berpikir dangkal).
Amin Abdullah, merujuk perkataan Syeh Al-Azhar, jatuhnya umat Islam kepada lower order of thinking dikarenakan ‘adam al-jiddiyyah (tidak adanya usaha keras untuk berpikir).
“Kita lihat sekarang ini, alumni universitas malah pemikirannya rendah, seakan-akan tidak pernah berkuliah, bahkan profesor-profesor malah berkelahi sendiri” ujar Amin Abdullah.
Supaya tidak terperosok pada lubang tersebut, Amin Abdullah mengatakan bahwa Muhammadiyah harus melakukan tajdid di internal Muhammadiyah. Karena menurutnya, upaya tajdid itu tidak hanya keluar, tapi juga kedalam internal persyarikatan.
MUNU, MARMUD, MURSAL, Hingga MUSA
Amin Abdullah berpendapat bahwa perlu adanya manhaj (baru) supaya Muhammadiyah lebih inklusif.
Mengapa kita cenderung eksklusif? Maka perlu manhaj supaya kita lebih inklusif. Karena sekarang, Medsos mengarahkan kita kepada jama’aat al-mutathorrifah/al-ghuluw (intoleran dan radikal)
Eksklusifikatas itu dapat menciptakan sekat-sekat antar anggota persyarikatan. Maka jangan heran ketika muncul varian-varian baru di internal Muhammadiyah.
“Kalau merujuk kepada penelitiannya Pak Munir Mulkhan, ada beberapa varian kelompok Muhammadiyah. Ada MUNU (Muhammadiyah-NU), Marmud (Marhaen Muhammadiyah), kalau sekarang itu ada MURSAL (Muhammadiyah Rasa Salafi) atau MUSA (Muhammadiyah Salafi)” ujar Amin Abdullah diikuti gelak tawa para hadirin.
Amin Abdullah menambahkan bahwa sering kali kelompok MURSAL menganggap Muhammadiyah hanya berani amar ma’ruf namun tidak berani nahi munkar. Kelompok-kelompok yang suka menuduh-nuduh seperti itu disebut oleh Amin Abdullah sebagai kelompok Oppositional Islam (kelompok ekstremis-jihadis)
Untuk menghindari jatuhnya pemikiran kita ke dalam paham-paham ekstremis semacam itu, maka Amin Abdullah menyarankan untuk melakukan at-tajdid fi al-khithob ad-dini (pembaharuan dalam khithab agama).
Dulu, kata Amin Abdullah, terdapat pertentangan antara ahl al-hadits dan kalangan Muktazilah. Ahl al-hadits beranggapan bahwa tidaklah perlu ada pembaharuan (tajdid) dalam Islam. Dan kaum Muktazilah beranggapan bahwa pembaharuan (tajdid) itu perlu. Karena, menurut Muktazilah, yang di-tajdid itu adalah pemikiran dan penafsiran orang Islam bukan Islam itu sendiri.
“Kita juga harus bisa membedakan antara Islam dan pemikiran Islam, Muhammadiyah dan pemahaman orang tentang Muhammadiyah. Sekarang harus dikatakan begitu! Muhammadiyah itu satu, tapi pemahaman Muhammadiyah itu macam-macam dari MUNU, MARMUD, sampai MURAL” ucap Amin Abdullah tegas.
Tentang Manhaj
Amin Abdullah melihat bahwa semua organisasi pergerakan Islam mengklaim punya manhaj masing-masing. Ada Secular-Islam, Legal-Traditional, Progressive-Jihadis, dan lain sebagainya.
“Lalu, manhaj Islam Berkemajuan itu seperti apa?” tanya Amin Abdullah.
Mula-mula, menurut Amin, kita harus bisa membedakan antara metode/manhaj dan langkah/prosedur penerapan manhaj.
“Mula-mula, harus cek dulu maraji’ atau bahan-bahan referensinya itu kuat/banyak atau tidak. Cross-reference-nya seperti apa. Atau jangan-jangan hanya satu mazhab saja. Maka harus semuanya dikaji!” tutur Amin.
Di Kementerian Agama, lanjut Amin, sekarang sudah ditanya bagaimana integrasi keilmuan dalam suatu keputusan. Artinya, sekarang sudah ditanyakan apakah suatu fatwa yang dikeluarkan itu mono-disiplin, inter-disiplin, atau trans-disiplin. Setelah itu harus diuji publik dulu sebelum dilemparkan ke masyarakat.
“Maka yang penting itu bukan manhajnya, tapi detail penggunaan manhaj” tutur Amin.
Checklist Islam Berkemajuan
Terdapat daftar Checklist indikator Islam Berkemajuan menurut Amin Abdullah, terdapat empat poin; nilai tauhid, visi peradaban, strategi keilmuan, dan pembaharuan aplikasi manhaj.
Terkait nilai tauhid, Amin Abdullah mengatakan;
“Nilai tauhid itu tidak hanya mengekang, tapi liberation. Di dalam tauhid itu, ada nilai-nilai yang berat dijalankan. Yaitu bagaiamana mengombinasikan antara ar-ru’yah al-ilahiyyah (nalar teologis), ar-ru’yah al-falsafiyyah (nalar filosofis), dan al-qiyam al-asasiyyah (nalar etis). Jangan cukup puas dengan teologis, karena itu akan menjadi partikularistik-sektarian. Itu yang jadi masalah kita sekarang, maka harus mengintegrasi semuanya. Majelis Tarjih sudah sering menyebut al-qiyam al-asasiyyah, itu bagus sekali. Dulu nggak pernah menyebut itu sama sekali. Sering kali, kita jatuh pada theology without philosophy and without ethics. Itu menjadi penyakit internasional umat Islam, yaitu (lower order of thinking) bukan (higher order of thinking)” kata Amin.
Menurutnya, pendidikan kita itu jatuh pada al-‘aql al-ijro’i yaitu nalar prosedural (hanya cukup Al-Qur’an, sunah, ijma’, qiyas) dan juga al-aql al-ifta’i (nalar fatwa). Jika memang jatuh pada lubang itu, kata Amin, maka kita akan jauh dari nilai al-karomah al-insaniyyah, al-‘adalah, al-musawaah, dan as-syura. Padahal itu semua ada di dalam Al-Qur’an.
Jadi menurutnya, sekarang kita itu kita kurang tawazun (adil) antara ahl al-hadis dan muktazilah. Maka jatuhnya nanti menjadi al-‘aql as-siyasi (kekuasaan; seperti adanya polarisasi cebong-kampret) karena nalar teologis tidak bisa kawin dengan nalar filosofis dan tidak bisa akrab dengan nalar etis.
Terkait visi peradaban, Amin Abdullah mengatakan bahwa ar-ru’yah al-hadharah (visi peradaban) harus selalu dinamis, dialektis, dan tidak statis. Selalu berubah-ubah karena tantangan zaman juga berubah-ubah.
Mengenai srategi keilmuan, Amin Abdullah mengatakan;
“Perlunya multi-disiplin, inter-disiplin, dan trandisiplin, itulah kunci Islam Berkemajuan. Kalau anda hanya berpikir mono-disiplin/linieritas “wassalam”, anda ditinggalkan oleh zaman. Islam wasathiyyah salah satu tugasnya ialah harus menuntaskan problem muwathonah, equal citizenship dan kesetaraan gender” tukasnya.
“Intinya adalah bagaimana multidisiplin, transdisiplin, dan inter-disiplin, harus masuk ke dalam komponen meneliti fatwa-fatwa keagamaan, opini, pandangan, bahkan yel-yel” tambahnya.
Setelah melewati 3 checklist di atas baru diuji kesahihan di depan publik.
Menyindir Poligami
Menurutnya, Indikator pola pikir berkemajuan harus ada shifting paradigm dari maqasid lama ke maqasid baru. Menjaga keturunan itu jangan hanya ‘aqd an-nikah saja. Menghindari poligami juga termasuk salah satu poin dari menjaga keturunan (hifz an-nasl)
“Sekarang, perkawinan kita diobrak-abrik oleh ide poligami. lihatlah status-status itu. itu ada video bagus sekali yang mengatakan poligami itu karena sperma laki-laki setiap dua minggu tambah, maka solusinya adalah poligami. Waduh gawat itu kalau memang ada. Itulah akibatnya mono-disiplin, hanya lihat aspek biologi saja. Dia tidak terkait dengan multidisiplin. Kita harus melihat bagaimana implikasi poligami di dalam masyarakat sekarang? maka harus pakai ‘ulum ijtima’iyyah”, ‘ulum insaniyyah jangan hanya biologis begitu” ujar Amin Abdullah
“Menjaga akal itu lewat tradisi research dan melipatgandakan pola pikir. Hifzul ‘Irdhi itu melindungi martabat kemanusiaan dan hak-hak asasi manusia. Hifz ad-din itu ya jangan hanya agama Islam saja yang dilindungi, semua agama harus dilindungi. Sementara hifz al-mal, seperti yang dilakuakn Muhammadiyah sekarang lewat amal usahanya” Imbuh Amin.
Etika/alakhlak al-karimah itu di atas manhaj, kata Amin. Iman dan hati nurani itu sekeping mata uang. Lalu, Amin Abdullah menyebutkan indikator etika menurut Khalid Abou el-Fadl;
“Kita harus Honesty, as-shidq, at-tawadu’, rendah hari, apapun ilmu kita, kita itu lemah. Profesor saya itu islamic-studies tapi saya tidak paham masalah kimia, maka kita harus tawadhu’, jiddiyyah (sungguh-sungguh) kalau berfatwa, syumuliiyah (multidisiplin), ma’quliyyah/masuk akal. Tidak hanya otak tapi juga hati. Self-restrains (al-hilm), dan dhobtu an-nafs” tutupnya.