Pada hari Jum’at, (06/03/20), diselenggarakan Kolokium Nasional Interdisipliner Cendekiawan Muda Muhammadiyah: Konsolidasi Kaum Muda Muhammadiyah untuk Memajukan Indonesia dan Mencerahkan Semesta”. Acara ini diselenggarakan hingga tanggal 7 Maret 2020 dan bertempat di Convention Hall Kepal Garden Hotel.
M Amin Abdullah, dalam pidatonya sebagai pemateri, menggarisbawahi 3 poin kenapa harus ada fresh ijtihad setelah seratus tahun umur Muhammadiyah.
Pertama, yaitu tentang pemikiran keagamaan. Menurutnya, pemikiran keagamaan sekarang itu envolutif (berkemunduran). Fenomena munculnya MURSAL (Muhammadiyah rasa Salafi) itu menunjukkan fenomena pemikiran keagamaan yang involutif.
Kedua, Ada stagnansi metodologi/ideologi di seluruh umat Islam dunia.
“Fresh ijtihad itu intinya metodologi. Al-Azhar itu baru sekarang mengadakan at-tajdid fil fikr al-islami padahal Muhammadiyah sudah seratus tahun yang lalu, itu ijtihad yang sama sekali tidak fresh. Fenomena sekarang itu lebih ke dakwah ta’ashshub, yang mana rasa politiknya sangat tinggi” ujar Amin Abdullah.
“Dari 29 poin hasil muktamar di Kairo kemarin, dua di antaranya masih mempertahankan qath’iyy dan dzanni, ketika tidak bisa keluar dari dua itu maka pemikiran keagamaannya masih involutif” imbuh Amin.
Ketiga, adanya integrasi-interkoneksi keilmuan (takaamulul ulum wal izdiwaajul maarif) “karena linearitas keilmuan itu artinya bunuh diri!” tegas Amin.
***
Menurut Amin, problem utama wasathiyah Islam yaitu tentang kewarganegaraan (citizenship). di Indonesia, menurut Amin, problem ini belom selesai, “ya karena stagnasi ideologi, involutif, dan linearitas studi itu” tandas Amin. Kata Amin, baik Muhammadiyah atau NU belum menyelesaikan soal ini.
Amin Abdullah, juga menyinggung salah satu poin hasil muktamar ulama di Kairo tentang haramnya mengucapkan selamat hari raya kepada non-muslim saat perayaannya. Dalam poin itu disebutkan bahwa pernyataan haram tersebut menggambarkan sikap kaku dan menutup diri, bahkan kebohongan yang mengatasnamakan tujuan umum syariat. Amin Abdullah sedikit kecewa tentang poin itu karena baru disadari dan muncul baru-baru ini.
Amin Abdullah mengusulkan suatu agenda urgen yang harus menjadi pembahasan di muktamar Muhammadiyah nanti.
“Supaya tidak envolutive, telaah literatur keilmuannya harus kuat, tidak hanya cuman bahasa Indonesia saja. Harus diagendakan agenda besar, terutama pembinaan bahasa. Karena banyak sekali anak-anak Muhammadiyah yang tidak bisa berbahasa Arab. “inilah yang harus menjadi agenda muktamar, harus mencerahkan lah, masak cuman dengar laporan-laporan PWM saja!”
Amin Abdullah menceritakan bahwa ia pernah menemui mahasiswa Australia yang sudah fasih berbicara bahasa dalam waktu enam bulan. Mahasiswa itu, lanjut Amin Abdullah, hanya dibekali kemampuan bahasa Arab dasar di kampusnya di Australia. Lalu setelah itu, ia dikirim ke timur tengah untuk meningkatkan kemampuan bahasa Arabnya. Akhirnya, ia pulang ke Australia dengan segala kemampuan bahasa Arabnya, baik lisan atau tulisan.
***
Nazarudin Maliki, yang juga menjadi pembicara dalam forum tersebut, mengatakan bahwa tantangan kita sekarang yaitu bagaimana kita bisa memadukan akal dan kalbu, “supaya kehidupan masyarakat menjadi maju”, ujarnya.
Nazarudin mengawali dengan pertanyaan tentang spirit pencerahan ekonomi yang dilakukan oleh Muhammadiyah. “Muhammadiyah itu tidak tertarik untuk memajukan dalam bidang ekonomi politik. Hal ini berguna untuk menghasilkan power tertentu” Nazar.
Menurutnya nation state, itu konsep lama. Namun menurut Nazar, Muhammadiyah tak pernah mengonstruksikannya ke dalam gerakan sehingga bisa memberikan peran strategis dalam mencegah ketimpangan dan oligarki ekonomi.
“Bagaimana kita melakukan revitalisasi terhadap gerakan ekonomi Muhammadiyah yang cenderung terlembagakan. Seperti koperasi syariah dan lain-lain. peran wastiyyah Muhammadiyah harus lebih menonjol daripada melakukan institusionalisasi terhadap pusat-pusat ekonomi Muhammadiyah itu sendiri” imbuh Nazar.
Menurut Nazar, bagaimana sekarang itu lembaga-lembaga Muhammadiyah itu bisa menjadi bargaining yang bagus sehingga bisa meredistribusikannya kepada kelompok yang tidak mampu.
Nazar menyatakan bahwa pendekatan politik kepada nation walfare, harus membangun masalah ideologis guna melakukan upaya strategis. Upaya itu dicanangkan supaya tidak terjadi ketimpangan ekonomi yang lebih dalam. “Cara moderasi ekonomi politik itu dengan upaya perbaikan Sumber Daya Manusia (SDM) Muhammadiyah yang berkecimpung dalam bidang ekonomi dan peningkatan kemampuan mereka di institusi ekonomi” ujar Nazar.
Nizar merasa, zaman sekarang ini sulit sekali mencari orang-orang yang fokus menggarap Amal Usaha Muhammadiyah (AUM), dan pada akhirnya, tak mengalami perkembangan walaupun hanya setahap.
“Pendidikan kita lebih banyak pada tulis-menulis, tapi kurang mampu menghadapi masalah-masalah sosial. Apalagi ketika diterjunkan ke AUM-AUM yang harus memiliki profit banyak, mereka banyak yang gagal” tandas Nizar.