Perspektif

Omnibus Law Versus Pancasila

4 Mins read

Mahasiswa ditangkap polisi, saat menggelar aksi unjuk rasa menolak Omnibus Law di Depan Gedung DPR RI. Salah satunya Khatami Aji dari Universitas Pertamina. Penangkapannya dilakukan saat ikut aksi bersama BEM Seluruh Indonesia, Rabu 4 Maret 2019, (Tempo.co).

Bergulirnya aksi unjuk rasa menentang Omnibus Law artinya membuka potensi dihajarnya gerakan mahasiswa. Negara sudah memberikan warning, melalui pidato kepala negara/kepala pemerintahan beberapa waktu lalu. Sekarang Aji Khatami, besok, lusa dan seterusnya siapa lagi, mari kita nantikan episodenya.

Sinyal Menghajar Resistensi

Negara memiliki alat (kepolisian) hingga BIN yang siap-siaga. Pemerintahan Jokowi tentu saja telah mengkalkulasi potensi gerakan mahasiswa, dan menyiapkan perangkat untuk menyelesaikannya. Mengorbankan perak (rakyat) demi emas (investasi) bukanlah paradigma baru negeri ini. Logika itu laten adanya.

Apalagi sinyal-sinyal yang mengarah pada penghajaran telah dikirim sejak awal. Mengungkit kembali kisruh perubahan UU KPK, hingga outputnya, adalah wajah besar mengerikan bagaimana negara tidak peduli opini publik dan harga diri anak bangsa.

Unjuk rasa menentang Omnibus Law ‘Kemudahan Investasi’ telah bergulir, di berbagai kota. Kamis, 5 April 2019 Mahasiswa Universitas Mataram (Unram) menggedor DPRD Provinsi NTB. Tentu kita berharap rangkaian gerakan rakyat tidak berakhir duka seperti yang terjadi pada rangkaian gerakan penolakan RUU KPK dan gerakan mendorong Presiden menerbitkan Perpu setelah RUU KPK itu menjadi UU.

Kedepannya, susah untuk menghalangi penentangan (resistensi) baik dari kalangan buruh, mahasiswa, organisasi pers, dan akademisi. Mengingat isu itu menjadi diskursus baru yang seksi yang diperbincangkan ragam pihak, dan menyulut kesangsian. Apalagi rakyat yang berpotensi jadi korban dari ‘wabah’ mematikan tatkala Ombinibus Law diterapkan. Setidak-tidaknya 2-3 pekan kedepan bumi Indonesia akan diisi pementasan logika keadilan jalanan. Kabar baiknya, organisasi kepemudaan (HMI, IMM dan PMII) tidak akan ikut terlibat dalam gerakan.

Baca Juga  Karakter Ihsan: Menuntun Hati ke Hadirat Ilahi

Kemunculan Omnibus Law

Pada tulisan saya sebelumnya, Omnibus Law ‘Jalan Tol’ Investasi Rezim Jokowi penulis telah memaparkan dasar pemikiran, cita-cita, kontradiksi, ambisi, dan bahaya Omnibus Law. Rakyat dan kelestarian lingkungan terancam. Jalan tol investasi dipercantik, tepuk tangan investasi menyorong sunyi, nasib keberlangsungan negeri di titik nadir, demokrasi dikebiri, reformasi dikhianati, negeri ini akan jadi tempat berternaknya buruh-tani di tanah sendiri. Bahkan pilar keempat demokrasi, dibuka demi jalan bagi investasi asing.

Namun, penulis ingin membatasi tulisan ini dalam perspektif Pancasila. “Pancasila yang dinegasikan sebagai dasar negara, filosofi bangsa, pandangan dunia yang menurut sejarah dihasilkan melalui perdebatan alot, toleransi dan konsensus para pendiri bangsa.
Ditambah klaim pancasila sebagai ‘Ideologi Negara’ yang dipamerkan rezim Jokowi lama (2015-2019) dan rezim Jokowi baru (2019-2024).”

Meski vitalitas pancasila menurut penulis terletak pada negasi, filsafat bangsa dan pandangan dunia. Dalam tulisan ini, pisau analitis diletakan pancasila sebagai dasar dan idiologi negara. Hal ini penting dibatasi, mengingat RUU Omnibus Law ialah kehendak negara dan kehendak pemerintah. Terkonfirmasi dengan absurdnya pancasila dimulai ditataran konseptual, apalagi penerapan.

Penulis berpendapat Omnibus Law, lebih khusus RUU Cipta Kerja merupakan upaya menghadirkan produk hukum. Tidak hanya “tidak pancasilais”, juga “anti Pancasila”.

Dasar Negara

Nyala ‘jiwa rakyat’ yang dijajah bangsanya oleh Kolonialisme Belanda juga Fasis Jepang telah menyulut api keterpelajaran. Angkatan Muda kala itu (1908-1924) menghadirkan benih-benih nasionalisme (Cinta Ibu Pertiwi) sebagai kesatuan tekad, perjuangan, cita-cita melepaskan diri dari belenggu penjajahan.

Pengalaman, nasib tertindas, disensor pikiran, dirampok, diperkosa, dibunuh, hingga dibantai kemanusiaan dalam tempo yang sangat lama telah menyulut perlawanan. Perlawanan tentang pentingnya persatuan dan ide bersama, membangun bangsa yang merdeka. Angkatan muda mulai peka, bangsa-bangsa yang dijajah secara bersamaan, bercerai-berai, tanpa cita-cita bersama, akan selamanya dijajah.

Baca Juga  Inilah Tiga Manfaat Melatih Jiwa Keikhlasan

Perjuangan yang sangat panjang, berdarah-darah, penuh luka, dan sukar menentang feodalisme dalam tubuh bangsa-bangsa; pergolakan pergerakan nasional, proklamasi kemerdekaan Indonesia dan perdebatan alot/intelektual para pendiri bangsa, tentang dasar di samping benturan ideologi dunia (kapitalis vs komunis) telah menghasilkan konsesus sejarah. Pancasila sebagai dasar negara.

Pengukuhan Pancasila sebagai dasar negara ialah kemenangan Indonesia. Karenanya, nilai yang tertuang dalam lima sila disebutkan secara terang benderang di Pembukaan Undang-Undang Dasar Republik Indonesia 1945 (UUD RI) yakni; Ketuhanan yang Maha Esa, Kemanusiaan yang Adil dan Beradab, Persatuan Indonesia, Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan Perwakilan; dan Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia.

Dengan menerapkan nilai yang terkandung dalam Pancasila, tujuan negara yang tertuang dalam alinea keempat UUD: “melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial,” bisa diperjuangkan terus menerus.

Posisi Pancasila

Memahami makna dasar negara, tujuan negara, dan masa depan yang hendak diwujudkan itu, Pancasila harus diletakkan dalam kedudukannya sebagai norma dasar/kaidah dasar (Grund Norm) secara konsisten dan bertanggungjawab. Teori pertingkatan hukum, Hans Kelsen relevan dijadikan pijakan. Grund norm sebagai, kaidah tertinggi, fundamental, dan inti, setiap tatanan kaidah hukum.

Posisi Grund Norm berada di atas UUD (Konstitusi). Grund Norm inilah yang memayungi seluruh isi dari Konstitusi. Sementara konstitusi (UUD) iyalah sumber hukum tertinggi dari tatanan hukum nasional (Hierarki Peraturan Perundang-Undangan). Dalam ilmu hukum ada asas yang terkenal yang berbunyi: lex superior derogat legi inferiori (Hukum yang lebih tinggi mengenyampingkan hukum yang lebih rendah). Dalam artian, aturan yang lebih rendah tidak boleh bertentangan dengan aturan yang lebih tinggi.

Baca Juga  Ijtima Ulama IV: Menyatukan atau Justru Memecah Belah Umat?

Bagaimana dengan Omnibus Law dilihat dari nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila, sebagai kaidah tertinggi yang terinternalisasi dalam UUD 1945 (Konstitusi Negara). Konstitusi negara yang secara konseptual (mestinya keniscayaan/kewajiban) diletakkan sebagai pijakan materi UU sampai Perda. Berdasarkan hierarki peraturan perundang-undangan.

Sebagai contoh dalam hal perekonomian nasional, penjelasan dalam Pasal 33 UUD 1945 yang menyebutkan terang benderang dalam (3) pasal yakni; “Pasal (1) Cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara. (2) Bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya, dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. (3) Perekonomian nasional diselenggarakan berdasarkan atas demokrasi ekonomi dengan prinsip kebersamaan, efisiensi berkeadilan, berkelanjutan, berwawasan lingkungan, kemandirian, serta dengan menjaga keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional.”

Selanjutnya dalam komitmen terhadap trias politica (pembagian kekuasaan), HAM, dan Pemerintah Daerah (Pemda). Bukankah UUD kita sekarang, ialah buah dari reformasi. Bagaimana dengan Omnibus Law? yang pasal-pasalnya menabrak konstitusi, mengkebiri demokrasi, melecehkan HAM, mengamputasi Pemerintah Daerah, merusak lingkungan, dalam satu aturan? (Bersambung)

Editor: Nabhan

Avatar
4 posts

About author
Penulis Pemula, Pembelajar, Mahasiswa Unram
Articles
Related posts
Perspektif

Serangan Iran ke Israel Bisa Menghapus Sentimen Sunni-Syiah

4 Mins read
Jelang penghujung tahun 2022 lalu, media dihebohkan dengan kasus kematian Mahsa Amini, gadis belia 22 tahun di Iran. Pro-Kontra muncul terkait aturan…
Perspektif

Fenomena Over Branding Institusi Pendidikan, Muhammadiyah Perlu Hati-hati!

4 Mins read
Seiring dengan perkembangan zaman, institusi pendidikan di Indonesia terus bertransformasi. Arus globalisasi tentu memainkan peran penting dalam menentukan kebutuhan pendidikan di era…
Perspektif

Hakim, Undang-Undang, dan Hukum Progresif

3 Mins read
Putusan hakim idealnya mengandung aspek kepastian, keadilan, dan kemanfaatan. Dalam implementasinya tidak mudah untuk mensinergikan ketiga aspek tersebut, terutama antara aspek kepastian…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *