IBTimes.ID – Perguruan tinggi, terutama Perguruan Tinggi Islam memiliki kecenderungan untuk melakukan kompartementalisasi disiplin ilmu. Antar disiplin ilmu membentuk dinding pemisah. Ketika hal ini masuk ke studi agama, khususnya Islam, ini akan menjadi tantangan yang berat.
Hal ini disampaikan oleh Amin Abdullah dalam kegiatan Bedah Buku “Multidisiplin, Interdisiplin, dan Transdisiplin: Metode Studi Agama dan Studi Islam di Era Kontemporer”. Bedah buku ini dilaksanakan oleh Pusat Studi Budaya dan Perubahan Sosial Universitas Muhammadiyah Surakarta secara daring pada Senin (16/11).
“Apakah tidak bisa ketemu antara satu ilmu dengan ilmu yang lain? Apakah Kemendikbud dengan Kemenag tidak bisa bertemu?” tanyanya secara retoris.
Maka muncullah kegelisahan dalam diri Amin Abdullah. Ia kemudian mencurahkan kegelisahan ini dalam berbagai tulisannya sejak awal tahun 2000 an.
Pada tahun 2019, Kementerian Agama menganggap bahwa hal ini menjadi penting sehingga Kemenag menerbitkan buku pedoman tentang integrasi-interkoneksi. “Maka, ketika Kemenag menangkap itu, kemasannya saya rubah menjadi inter, trans, dan multidisiplin,” imbuhnya.
Tiga Kata Kunci Hubungan Sains dan Agama
Ia menekankan di dalam hubungan sains dan agama memiliki tiga kata kunci. Pertama, semi permiable, saling menembus satu sama lain. Ilmu fikih misalnya, tidak bisa merasa paling tinggi dan pemegang kebenaran. Begitu juga antropologi dan semua disiplin ilmu yang lain. Antar disiplin ilmu tidak memiliki tembok. Misalnya lagi psikologi dengan kalam.
Pria kelahiran Pati ini menyebut tidak mengenalnya antar disiplin ilmu menandakan adanya kompartementalisasi yang berbahaya. Hal ini tidak bisa digunakan untuk menyelesaikan permasalahan yang ada, misalnya permasalahan pandemi Covid-19.
“Sekarang ini ada 17% orang Indonesia tidak percaya dengan adanya Covid-19, dan itu based on religion. Padahal ini persoalan religion and science. Tidak hanya religion semata,” terangnya.
Kedua, intersubjektif testability. Antar ilmu harus saling mengkritik. Ilmu agama tidak berada di atas segala-galanya dan tidak bebas kritik. ketiga, creative imagination. Creative imagination hanya ada jika ada pertemuan yang ketat antar disiplin. Pertemuan antar disiplin akan menyebabkan active negotiation of knowledge.
Penulis buku ini menyebut bahwa multidisiplin, transdisiplin, dan interdisiplin akan membentuk akhlak yang mulia, yang dicita-citakan oleh semua orang. Tetapi ketika mindsetnya tidak ditembus ketiga hal di atas, maka yang terjadi adalah politik identitas.
Ada semacam evolusi dari ‘Ulumuddin menjadi Islamic thought yang meskipun belum melibatkan penelitian empiris, tetapi sudah lebih sistematis, logis, dan rasional. Berbeda dengan perkembangan ‘Ulumuddin sebelumnya. Ketika Fazlurrahman menulis Islam and Modernity pada tahun 1982, ia mengatakan bahwa ‘Ulumuddin lama akan out of date jika tidak ditambah dengan new theology, law and ethic, philosophy, dan social sciences.
“‘Ulumuddin, jika tidak didialogkan dengan keempat ilmu itu, maka ‘Ulumuddin akan kadaluarsa,” tutupnya.
Reporter: Yusuf