Anak muda yang semenjak belakangan ini tengah digandrungi oleh rasa kreatif dan inovatif. Bahkan rasa dilematis dalam menjalani kehidupan mesti paham tentang arti Islam dan kemanusiaan. Islam, kemanusiaan dan anak muda mesti ditempatkan dalam satu napas yang sama, bagaimana tidak?
Jika Islam, kemanusiaan dan kawula muda terpisah secara acak maka peradaban di muka bumi hilang entah berentah dan rasanya mustahil untuk terwujud. Oleh karena itu berbicara tentang Islam dan kemanusiaan pasti ada kaitannya dengan anak muda. Mereka yang tengah digandrungi oleh rasa kreatif dan inovatif dalam bergerilya di medan perangnya.
Sudah diketahui bersama bahwa anak muda di Indonesia itu mayoritas beragama islam. Kalau melihat jauh kebelakang, bahwa Islam lahir dalam keadaan kota yang kumuh baik secara emosional maupun intelektual. Hanya orang yang buta atas sejarahlah yang mengatakan bahwa Islam lahir dalam kondisi yang aman dan nyaman. Justru Islam hadir karena suasana kota Arab yang kala itu buta atas pengetahuan yang mengakibatkan adanya ketidakadilan dan diskriminasi di kota Arab kala itu.
Oleh karena itu, mengingat dan merasa kondisi hari ini yang hampir dirasa sebagian orang memburuk layaknya kota Arab kala itu. Maka kontemplasi dan refleksi atas gagasan Buya Syafi’i Ma’arif tentang Islam dan kemanusiaan mesti dilakukan oleh anak muda dalam menjalani aktifitas di kehidupan demi kemaslahatan bersama di muka bumi khususnya Indonesia
Islam dan Kemanusiaan Ala Buya Syafi’i Ma’arif
Siapa yang tidak kenal dengan Ahmad Syafi’i Ma’arif. Beliau merupakan cendekiawan dan intelektual muslim par excellence yang menekankan semangat moral dan mendapat julukan sebagai Sang muazin bangsa dari Makkah darat. Beliau juga pernah menduduki jabatan sebagai ketua umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah. Tidak sedikit orang mengagumi buah pemikiran beliau termasuk saya yang bagian dari anak muda.
Dalam bukunya Islam dalam Bingkai Keindonesiaan dan Kemanusiaan, Buya Syafi’i Ma’arif menuangkan segala keresahan dan kerisauannya tentang keadaan negara Indonesia. Kata beliau, “Ada semacam kerisauan yang di dalam batin saya tentang Indonesia yang belum juga berhasil mewujudkan janji-janji kemerdekaan yang pernah diucapkan oleh para pemimpin sejak puluhan tahun yang lalu”.
Di dalam pembukaan Undang-Undang 1945 telah tertera janji kemerdekaan; mencerdaskan kehidupan bangsa, memajukan kesejahteraan umum dan ikut serta melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial.
Karena hal semacam itu, di usianya yang ke-70 kala itu beliau ingin menyampaikan sedikitnya tentang arti islam dan kemanusiaan kepada seluruh lapisan masyarakat tak terkecuali anak muda di Indonesia. Menurutnya Islam yang mau dikembangkan di Indonesia adalah pertama, sebuah Islam yang ramah, terbuka, inklusif dan mampu memberi solusi-solusi terhadap permasalahan besar bangsa dan negara.
***
Kedua, sebuah Islam yang dinamis dan bersahabat dengan lingkungan kultur, sub-kultur dan agama kita yang beragam. Ketiga, sebuah Islam yang memberikan keadilan, kenyamanan, keamanan dan perlindungan kepada semua orang yang berdiam di Indonesia tanpa diskriminasi. Keempat, sebuah Islam yang sepenuhnya berpihak kepada rakyat miskin sekalipun ajarannya sangat anti-kemiskinan.
Menurutnya lagi, bahwa Islam yang benar itu yang mengajarkan tentang arti moralitas kemanusiaan. Sebagai contoh, ketika Nabi Muhammad SAW mendapatkan wahyu pertama di Gua Hira, beliau tidak lagi berkunjung ke sana untuk selamanya melainkan beliau langsung turun ke masyarakat yang sudah sekian lama didera dan diimpit oleh ketidakadilan dan diskriminasi.
Dan yang sangat berkesan dan mesti dijadikan pedoman bagi anak muda dari ucapan beliau yaitu, “Hidup yang berkemajuan itu hidup yang sarat dengan pertarungan ideologi untuk mencari yang terbaik dan benar.” Bagaimana tidak? Sebab ucapan beliau baik tersirat maupun tersurat mengandung makna kemanusiaan. Bahwa dalam menjadikan hidup yang berkemajuan itu setidaknya terjadi adanya pertentangan ideologi antar sesama. Bukan malah berpikir untuk pragmatis atau dalam kata lain berusaha menjatuhkan orang lain.
Anak Muda Islam sebagai Motor Penggerak
Setelah tadi melihat pemikiran besar Buya Syafi’i Ma’arif lantas ada pertanyaan besar yang mesti ditanyakan kepada anak muda Islam? Apakah nilai-nilai ketauhidan yang terpatri dalam seorang pemuda Islam mampu menuntaskan permasalahan-permasalahan sosial? Pertanyaan tersebut biarlah dijawab oleh hati dan akal kawula muda Islam sesuai dengan perspektifnya.
Berbekal idealisme yang tinggi dan semangat yang masif, sudah semestinya anak muda khususnya anak muda Islam yang menjadi motor penggerak. Sejarah juga mencatat bahwa kontribusi pemuda Islam telah menggoreskan tinta emas dalam mempertahankan agama dan kedaulatan negeri. Salah satunya yang paling fenomenal yaitu Muhammad Al-Fatih, di usianya yang ke-21 tahun dia mampu menaklukkan kota Konstatinopel atau Byzantium. Kota yang paling kuat, kokoh dan sulit untuk ditaklukan kala itu.
Belum lagi nama Thariq bin Ziyad, di usianya yang kurang dari 30 tahun kala itu berhasil menaklukkan Spayol pada masa pemerintahan Walid bin Abdul Malik—seorang khalifah bani Umayah. Islam menaruh harapan besar kepada para anak muda. Layaknya Buya Syafi’i Ma’arif, anak muda setidaknya mesti menjadi pengawal keutuhan bangsa.
Pengamat Sosial dan Budaya Universitas Indonesia, Devi Rahmawati mengatakan bahwa benar bila pergerakan yang dilakukan di dunia ini kebanyakan oleh anak muda. Sebab anak muda dinilai memilik banyak modal untuk menggerakan perubahan di lingkungan. Terus berkarya dengan gaya dan kekhasan yang berbeda dan gaungkan semangat untuk berkarya. Sebab berkarya merupakan proses panjang antara mengapresiasi dan diapresiasi.