Inspiring

Ketika Xi Jinping dan Donald Trump Masuk Islam

2 Mins read

Pada sekitar tahun 2008-an saat saya SD, saya beberapa kali terlibat perdebatan dengan teman-teman non-muslim. Dan ada satu pertanyaan yang saat itu belum bisa saya jawab, pertanyaan itu kira-kira berbunyi seperti ini:

“Jika saya masuk Islam dan menjadi mualaf, apakah hidup saya akan lebih baik?”

Pertanyaan itulah yang menghantarkan saya pada perjalanan spiritual yang panjang. Saya yang besar di Sumatra, akhirnya pindah ke Jawa untuk belajar di salah satu pesantren yang ada di kabupaten Lamongan.

Kalau Xi Jinping dan Trump Masuk Islam, Apa yang Terjadi?

Maka seperti halnya untuk mendapatkan makna yang otentik dari hitam, perlu kiranya belajar dan mengenal warna putih lebih dalam. Atas dasar pertanyaan tadi, pikiran saya merefleksi jauh ke lingkup yang lebih besar. “Bagaimana jika Xi Jinping dan Trump beragama Islam?”

Apakah dunia akan lebih baik?

Hal ini tentunya membawa kita pada dialektika yang menghantarkan pada refleksi yang lebih objektif. Sebab, pemimpin mempunyai pengaruh dalam lingkup yang dinaunginya.

Apalagi di tengah persaingan antara Amerika dan China yang condong memasuki dimensi tidak sehat. Sebut saja aksi saling menyalahkan antara kepemimpinan Trump yang ala koboi dan Xi Jinping yang misterius tentang penyebab utama penyebaran virus Corona. Yang mana, perseteruan itu dapat memicu peperangan yang lebih besar.

Hal ini tentunya bukan isu di atas kertas. China dengan terang-terangan telah memarkir beberapa kapal perangnya di Laut Selatan.

Beberapa pengamat memberi sinyal berupa lampu kuning, yang sewaktu-waktu pecah telur jika situasi ini tidak berakhir–sebab peperangan head to head secara ekonomi tanpa ujung akan sampai pada opsi terakhir. Yaitu, adanya perang dunia ketiga.

Baca Juga  Al-Baghawi, Ulama yang Menghidupkan Sunnah

“Lalu apakah perdamaian tidak akan terwujud?”

Hal ini sulit diprediksi, sebab–dalam kancah perpolitikan dunia–kepentingan nasional lebih tinggi kedudukannya dari HAM. Dengan pandangan seperti itu, peperangan antara China dan Amerika tidak menemukan titik temu; selama memilih mementingkan aspek keuntungan tiap-tiap negara, bukan sebagai masyarakat dunia.

Peran Agama dalam Kekuasaan

Islam datang bukan sebagai saingan ataupun institusi layaknya sebuah negara–Islam mempunyai sifat cair, dan ini dibuktikan dengan propaganda Amerika yang menuduh Islam sebagai komunitas radikal yang pada akhirnya tidak terbukti.

Islam sebagai air yang mendamaikan, hal ini tentunya akan membuat perbedaan yang signifikan terhadap cara pandang manusia. Walaupun toh, pada akhirnya semua ide di atas akan mengerucut pada satu pertanyaan yang lebih spesifik.

“Apakah Amerika dan China bisa sehebat hari ini jika mayoritas masyarakatnya Islam, termasuk para pemimpinnya?–Bukankah negara yang berpenduduk umat Islam mayoritas dikategorikan sebagai negara bagian ketiga?”

Maka penting untuk menarik sejarah lebih panjang ke belakang. Amerika dan China benar – benar menjadi negara adikuasa selama beberapa dekade. Tetapi dengan kemajuan yang seumur jagung tersebut, Amerika dan China diterpa banyak goncangan hebat.

Seperti halnya isu rasisme, genosida Uighur, dan banyak kejadian lainnya. Jika dibandingkan kekhalifahan Islam yang begitu besar membentang selama lebih kurang 13 abad, maka perbandingan dua hal itu menjadi tidak relevan dan terpatahkan.

Islam bukanlah negara, Islam adalah ajaran Rahmatan Lil Alamin yang di dalamnya menaungi tata cara bernegara yang bijak.

Maka kembali pada sebuah ungkapan yang juga menjadi judul buku karya Amir Syakib Arsalan, “Kenapa Islam mundur sementara kaum lainnya (Barat) maju?”

Jawaban hanya satu, sama-sama meninggalkan agamanya, hal itu ditulis beliau dengan berbagai argumentasi.

Baca Juga  Hilman Latief, Pakar Filantropi Islam Dilantik Menjadi Dirjen Haji: Apa Pertimbangan Gus Yaqut?

“Lalu apakah Barat bisa menjadi negara yang bijak tanpa agama?”

Bukankah ketika suatu individu tidak memegang agama sebagai nilai-nilai kehidupan, ia akan digerakkan oleh nilai-nilai yang lainnya? Seperti halnya dua pemimpin negara tersebut, yang digerakkan oleh agama materialisme akut nan memabukkan.

Seperti kalimat, “Kebinasaan senantiasa menerkam dari belakang.” Maka, penting untuk menunjukkan rasa kasih sayang kepada sesama mahluk–tidak membenci pada etnis tertentu, cukup doakan dan dakwahkan Islam dengan kedamaian.

Ingat, kita bukan panitia surga.

Wallahua’lam Bissawab.

Editor: Zahra/Nabhan

Avatar
4 posts

About author
Saya Zahid Robbani, asal Dumai Riau; Mahasiswa Sekolah Tinggi Ilmu Al-Qur'an dan Sains Al-Ishlah (STIQSI) Sendangagung Paciran Lamongan.
Articles
Related posts
Inspiring

Bintu Syathi’, Pionir Mufassir Perempuan Modern

6 Mins read
Bintu Syathi’ merupakan tokoh mufassir perempuan pertama yang mampu menghilangkan dominasi mufassir laki-laki. Mufassir era klasik hingga abad 19 identik produksi kitab…
Inspiring

Buya Hamka, Penyelamat Tasawuf dari Pemaknaan yang Menyimpang

7 Mins read
Pendahuluan: Tasawuf Kenabian Istilah tasawuf saat ini telah menjadi satu konsep keilmuan tersendiri dalam Islam. Berdasarkan epistemologi filsafat Islam, tasawuf dimasukkan dalam…
Inspiring

Enam Hal yang Dapat Menghancurkan Manusia Menurut Anthony de Mello

4 Mins read
Dalam romantika perjalanan kehidupan, banyak hal yang mungkin tampak menggiurkan tapi sebenarnya berpotensi merusak, bagi kita sebagai umat manusia. Sepintas mungkin tiada…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *