Lima tahun lalu, saat saya masih duduk di bangku sekolah, saya memiliki cita-cita yang sangat tinggi. Saya ingin jadi presiden. Siapa sangka cita-cita itu bertahan hingga sekarang. Saya pun sering membayangkan, andai sekarang saya jadi Presiden.
Kemudian, keadaan terkini negara menjadi momen yang tepat untuk membayangkan lagi. Memang, sih, cita-cita saya kalaupun bisa terealisasi baru akan terjadi tahun 2044. Tapi aksi se-Indonesia yang muncul baru-baru ini membuat bayangan bisa dilakukan segera. Jadilah, berdasarkan keadaan terkini, ini yang saya bayangkan.
Andai jadi presiden, saya akan lakukan Empat hal.
Hadapi Mahasiswa, Keluarkan Perppu KPK
Desakan terbaru yang paling kencang adalah presiden bertindak langsung memberantas ancaman terhadap demokrasi. Mahasiswa menuntut presiden untuk berdialog dengan mahasiswa di hadapan media nasional. Juga mengabulkan beragam tuntutan mereka, mulai dari revisi UU hingga pengentasan masalah teraktual dan penegakan HAM.
Tentu saya akan dengan senang hati memenuhi dua permintaan tersebut. Dialog jelas bakal memperjelas semuanya. Pasti, saya akan dihujat habis, digugat oleh mereka, akan panas telinga saya dibuat oleh mereka. Tapi biarlah, setelahnya, jika dialog berjalan baik, mahasiswa justru akan bersama saya. Rakyat bersama saya.
Untuk urusan KPK, jawabannya pasti. Saya akan mengeluarkan Perppu KPK. Segera mengesahkannya dengan mempertimbangkan aspirasi publik, khususnya mahasiswa.
Memang, ada yang bilang judicial review lebih baik, sesuai konstitusi kata mereka. Tapi, hei, judicial review punya risiko yang sama besar dengan Perppu namun lebih rumit prosesnya. Lebih bertele-tele. Lihat saja Muhammadiyah, menggugat UU Pemilu sejak 2018, sampai sekarang tak jelas nasibnya. Belum lagi UU SDA, dulu berhasil digugat Muhammadiyah, namun kini UU SDA baru masih memuat pasal-pasal kontroversial.
Bagaimanapun, Presiden RI adalah presiden yang kuat secara politik. Adanya sistem presidensial membuat Perppu menjadi pilihan yang cepat, menjadi solusi yang konkret tanpa ambil pusing.
Padamkan Karhutla, Perjelas Nasib Papua
Kebakaran hutan dan lahan (Karhutla) tak boleh dilupakan. Kasus ini sudah menyiksa rakyat. Membiarkan rakyat sulit bernafas dua bulan terakhir. Lebih parah lagi, karhutla terus berulang setiap tahun.
Dengan dukungan rakyat, tentu saya akan menyelesaikan karhutla segera. Memerintahkan menteri menangani sebaik-baiknya, saya ganti saja sang menteri jika terus-menerus beretorika tanpa hasil nyata. Tak lupa, saya buka data perusahaan pembakar hutan yang selama ini tertutup kepentingan oligarki di sekitar saya. Biar rakyat dan hukum yang mengadili mereka.
Tak lupa, saya meminta maaf pada negara tetangga dan dunia. Pada Singapura dan Malaysia yang selalu jadi korban Karhutla. Pada dunia yang menelan dampak berupa emisi dari Indonesia selama pemerintahan saya.
Dalam urusan Papua, rasisme harus jadi hal pertama yang ditangani. Pelaku rasisme, siapapun itu, haruslah yang pertama ditindak. Dihukum seberat-beratnya atas nama kemanusiaan, agar tidak terulang lagi di masa mendatang.
Militer perlahan-lahan juga harus ditarik dari Papua. Memang, ada yang berkata bahwa militer diperlukan untuk menjaga kondusifitas Papua. Tapi nyatanya, pendekatan militeristik gagal di Timor Timur, juga gagal di Aceh. Bukan mustahil, di Papua akan terjadi yang serupa, jika langkah yang sama ditempuh.
Perkara Papua merdeka atau tidak, semua butuh proses. Karena memang urusan ini tidak sederhana, sangat banyak pro-kontra tentang nasib Papua. Yang jelas, keadilan, keamanan, dan hak asasi manusia harus segera dirasakan oleh warga Papua. Dengan segera, tanpa perlu banyak retorika.
Andai Sekarang Saya Jadi Presiden
Apakah itu semua mustahil?
Tidak. Memang harus diakui apa yang akan saya lakukan itu berat, seakan tidak mungkin untuk saat ini. Namun yang harus diingat, saya adalah presiden sekaligus pemegang suara mayoritas dengan koalisi terkuat. Hampir tidak ada oposisi bagi pemerintahan saya. Terlebih lagi, jika saya mendengarkan aspirasi dengan baik, maka rakyat bersama saya. Pemegang kekuasaan tertinggi di negara ini bersama saya.
Jika tadi berbicara tentang tindakan segera, tentu saya juga perlu berbicara tentang pandangan masa depan. Setidaknya setahun ke depan. Untuk permasalahan lingkungan, mungkin Greta Thunberg perlu saya undang ke Indonesia. Agar pelajar dan pemuda belajar darinya. Agar nurani pejabat tersentuh oleh orasinya. Agar Indonesia sebagai paru-paru dunia menjadi negara pertama beraksi nyata untuk melawan krisis iklim dunia.
Saya juga segera mempersiapkan kabinet untuk periode kedua kepemimpinan saya. Merapatkan barisan dengan rakyat untuk menghadapi resesi ekonomi global. Mengatur strategi fiskal dan moneter sebaik baiknya. Karena menurut para ahli ekonomi, mimpi buruk bernama yang satu ini sudah di depan mata.
Tak ketinggalan, pembangunan sumberdaya manusia dan reformasi polisi perlu dilakukan. Pembangunan infrastruktur sudah cukup gencar beberapa tahun belakangan, waktunya sumberdaya manusia diperhatikan. Selain itu, sepertinya benar apa kata rakyat, perlu reformasi di tubuh polisi. Perlu polisi yang mengayomi, perlu polisi yang ramah. Perlu polisi yang benar-benar mengerti HAM dan memahami kebebasan pers.
***
Sekali lagi, mungkin banyak yang menyebut rencana saya ini mustahil. Jika berhasil pun akan menjadikan saya sendiri, Presiden RI sebagai tumbal. Tapi biarlah, biar rakyat yang menilai.
Jika memang saya harus dilengserkan, biar saya menjadi seperti Habibie. Yang dahulu direndahkan, namun sekarang begitu dikenang karena jasanya. Jika saya harus mati, biarlah saya mati dalam mewujudkan keinginan rakyat. Memperjuangkan cita-cita reformasi yang belum usai.
Namun kembali ke bahasan awal, rencana-rencana ini sebatas bayangan saya. Andai sekarang saya jadi presiden.