Fenomena hijrah kian marak di sekeliling kita, dan itu sah adanya. Masih kita ingat, ada beberapa musisi musik yang tak lagi manggung dan memutuskan keluar dari sebuah band karena ingin fokus belajar agama alias hijrah.
Contohnya saja seperti para personel band Noah; Reza mantan drummer, Iksan ex basis, dan Uki mantan gitaris. Ketiganya memutuskan untuk berhenti dari dunia hiburan dan fokus menjalani proses pembelajaran agama.
Sebagai sesama muslim, tentunya penulis sangat mengapresiasi langkah yang diambil oleh mereka, penulis juga mengucapkan selamat, semoga dengan berhijrah, mereka selalu menebarkan kebaikan di mana pun berada.
Fenomena hijrah tidak saja dialami para musisi dan selebritis. Hijrah bukan hak prerogatif orang-orang papan atas di dunia hiburan. Masyarakat biasa juga banyak yang berbondong-bondong melakukan hijrah, dan sekali lagi itu sah adanya.
Hijrah ditandai dengan adanya perubahan sikap, perilaku, dan tata cara hidup. Hijrah merubah perilaku dari biasa menjadi luar biasa, dari tak agamis menjadi agamis, dan dari awam menjadi relijius.
Tidak hanya perubahan sikap dan perilaku. Fenomena hijrah juga ditandai dengan perubahan simbol-simbol tertentu dalam hal busana, seperti memakai hijab, surban, peci, dan jubah-jubah tertentu.
Hijrah Pada Masa Rasulullah SAW
Tentunya sebelum membahas lebih lanjut tentang fenomena berhijrah yang sedang hitz di tanah air, tidak ada salahnya kita mencoba napak tilas hijrah Rasulullah S.A.W, dengan begitu kita akan tahu esensi yang terkandung di dalamnya.
Saat Islam pertama kali datang ke Jazairah Arab melalui lisan dan keteladanan Rasululullah S.A.W, seketika itu pula agama samawi ini mengalami pertentangan yang luar biasa dari kaum musyrikin di sana.
Jangankan untuk beribadah, menganut keyakinan dengan mengucap kalimat “ahad” saja tak bisa, bahkan harus mengalami siksaan tragis berupa tindihan batu besar saat terik matahari berada di atas kepala, seperti yang dialami sahabat Bilal bin Rabah.
Beruntung, beliau diselamatkan dan dimerdekakan oleh Sayyidina Abu Bakar R.A. Pada akhirnya beliau menjadi orang merdeka dan mengimani Nabi S.A.W, meski tidak bebas dalam menjalankan aktivitas lain.
Dimulai dari itu, gangguan-gangguan kaum musyrikin semakin menggila. Nabi sering kali dilempar batu, kotoran, bahkan tuduhan-tuduhan dusta seorang penyihir, sekaligus pendusta kelas kakap di Arab juga tersemat pada beliau. Selain itu, teror-teror seperti ancaman pembunuhan adalah makanan sehari-hari beliau.
Teror semakin menjadi tatkala jumlah pengikut Nabi Muhammad S.A.W bertambah dari segi jumlah. Tidak hanya itu, intimidasi kaum musyrikin yang semakin berani juga mereka tampakkan tatkala pengikut Nabi Muhammad S.A.W terang-terangan menampakkan ketauhidan.
Maka, hijrah dari Makkah menuju Madinah adalah solusi jitu pada saat itu. Hijrah dalam koteks ini diartikan pindah dari suatu tempat ke tempat lain yang aman, guna mencari keselamatan khususnya dalam ruang-ruang privat.
Hijrah saat itu merupakan sebuah asa bagi Nabi Muhammad S.A.W dan pengikutnya guna memperoleh hak-hak primer sebagai manusia.
Anomali Hijrah Saat Ini
Saat ini, hijrah tidak lagi diartikan perpindahan dari satu kota ke kota lain, bukan pula beranjak dari suatu negara ke negara lain. Hijrah lebih diartikan metamorfosa perilaku, dari buruk ke baik.
Artinya, esensi orang-orang berhijrah, tertuju pada perilaku dan perbuatan di masa sekarang yang harus lebih baik dari masa lalu. Titik poin inilah yang menjadi awal tujuan orang-orang berhijrah.
Sayang ada “beberapa” pihak yang menganggap berhijrah adalah sebuah tren pakaian. Hijrah bukan diartikan perubahan perilaku, namun perubahan dari satu simbol ke simbol lain. Hijrah tahap ini hanya berkutat pada masalah busana dan menafikan perubahan sikap.
Hijrah pada tahap ini terfokus pada orang bersorban dan tak bersorban, orang berkerudung dan tak berkerudung, serta simbol-simbol lain yang nampak. Tak ayal orang-orang yang berhijrah tak mampu bermetamorfosa secara baik dalam perilaku dan sikap.
Tidak mengherankan jika saat ini ada orang menggunakan busana tertutup rapat, terlihat sangat relijius namun masih suka menggunjingi tetangga. Ada juga yang menggunakan peci, namun masih berkhalwat dengan lawan jenis bukan mahram.
Ada juga yang kemana pun berada selalu sibuk berceramah bahwa pacaran haram hukumnya karena mendekati zina, namun dibalik semua itu dia malah asyik berduan di tempat sepi dengan lawan jenis. Agama dimanipulasi sedemikian rupa agar dirinya terlihat bijaksana di muka umum. Berhijrah, tak ada bedanya dengan polisi agama.
Kerap kali beberapa mereka sibuk mengurusi kehidupan orang lain. Ibarat peribahasa:“Kuman di seberang lautan nampak, namun gajah di pelupuk mata tak nampak.”
Orang Hijrah Harus Gimana?
Hijrah seperti ini menjadi kontraproduktif dengan esensi hijrah yang telah membumi. Bahkan menurut penulis, cenderung mencemarkan orang-orang yang berhijrah dengan niatan tulus ikhlas bertaqarrub kepada Allah S.W.T.
Idealnya, orang-orang yang mengaku hijrah, dapat berhijrah secara lahir dan batin. Jika belum mampu, maka hendaknya mereka menahan diri untuk tidak berkoar-koar pamer, sekaligus sibuk menghakimi orang lain.
Orang-orang yang berhijrah hendaknya sibuk mengamati perilaku diri sendiri, bukan perilaku orang lain. Mereka harus selalu mengevaluasi diri agar senantiasa menjalankan perintah dan menjauhi larangan-Nya.
Biarlah perilaku, keteladanan dan akhlaqul karimah dari orang berberhijrah yang akan menjadi jalan dakwahnya. Dalam konteks ini, saya sepakat dengan filosofi:“Sedikit bicara, banyak bekerja.” Secara implisit makna yang bisa diambil dari filosofi ini ialah agar orang-orang berhijrah tidak perlu gembar-gembor melalui ucapan “saya sudah berhijrah!”, namun hendaknya berupaya secara maksimal agar tindak-tanduknya semakin baik. Wallahu A’lam