Review

Menyoal Tren Hijrah Kekinian: Masak Hijrah Begitu?

4 Mins read

“MASAK HIJRAH BEGITU” merupakan buku yang ditulis oleh Edi AH Iyubenu yang sebenarnya merupakan nama pena dengan nama asli penulis Edi Mulyono. Edi merupakan penulis produktif yang karya bukunya sudah terlampau banyak dan tulisannya di dunia maya telah beredar dimana-mana.

Edi memiliki latar belakang pendidikan pesantren dan telah menyelesaikan studi S3  Islamic Studies di UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. Dengan kecintaannya yang tinggi terhadap literasi, pada tahun 2001 Edi mendirikan penerbit yang bernama Diva Press, yang kini telah menjadi salah satu penerbit mayor di Yogyakarta. Selain itu, beliau juga membangun bisnis kafe yang sering dijadikan tempat untuk pengajian, maulidan, dan mengundang para penulis untuk membicarakan ilmu dan literasi.

Buku ini berisikan 21 esai yang memuat tanggapan penulis atas fenomena hijrah kekinian dan upaya penulis meluruskan makna asali dari Gerakan Hijrah yang tengah populer ini menjadi Gerakan Pertaubatan yang merupakan istilah lama yang kini beralih menjadi hijrah. Pada aspek syariat, keduanya sama bila diartikan sebagai pintu masuk atau pintu pulang berpindahnya kita dari kemungkaran menuju kesalehan.

Dalam buku ini tidak hanya mengulas tanggapan penulis atas praktik hijrah kekinian yang kerap mendapatkan glorifikasi berlebihan yang dirayakan dan diberitakan sedemikian riuh seolah-olah menjadi urusan semua orang. Bahkan istilah hijrah yang tengah hype ini dapat menisbatkan siapa yang belum berhijrah belum paripurna atau selesai dalam hidupnya.

Penulis juga mengangkat topik-topik yang relevan dengan judul buku seperti mengejar maqam tawadhu’, kerukunan manusia, dan sikap-sikap menghadapi perbedaan pendapat atau ikhtilaf yang terjadi di kalangan ulama dan masih banyak lagi poin-poin bahasan menarik yang bisa para pembaca baca dalam buku ini.

Taubat sebagai Makna Hakiki dari Hijrah Kekinian

Dilihat dari sisi historis, istilah hijrah mulanya muncul merujuk pada migrasinya Rasul dan Sahabat dari Makkah ke Yastrib (Madinah) karena faktor keamanan dan keselamatan. Sebelum mendapatkan sambutan baik oleh masyarakat Madinah, Rasulullah juga pernah berhijrah ke Thaif. Namun beliau tidak mendapat sambutan yang baik di sana. Istilah hijrah disini ditujukan untuk mengembangkan dakwah Islam.

Baca Juga  Membaca Sekilas Tasawuf dari Ilmu Sosial

Namun yang menjadi isu problem yang diangkat oleh penulis dalam buku ini ialah makna hijrah yang derajatnya menurun menjadi sekedar perayaan entertaining dan kemudian menyinyiri orang yang belum berhijrah untuk segera mengikuti tren hijrah layaknya mereka.

Menurut penulis, tren hijrah semacam ini sangat dapat memicu ketegangan, perselisihan dan permusuhan yang sama sekali bukan bagian dari akhlakul karimah yang diteladankan oleh Rasulullah dan misi kenabian Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam untuk menyempurnakan akhlak manusia.

Dengan istilah hijrah yang kini telah booming dan menjadi gerakan tren belakangan ini di sekitar kita. Bisa jadi yang dimaksud merupakan makna asali dari istilah lama yang sudah kita kenal yakni “Taubat” yang menurut Mulla Sadra hakikat dari taubat ialah al harakah al jauhariyah (transformasi pencerahan) atau sebagai pintu masuk dan sekaligus pintu pulang dengan berpindahnya kita dari kekurangbaikan menuju kelebihbaikan, dari dosa menuju pengampunan-pengampunan, dari kemungkaran menuju kesalehan.

Maka tujuan final rohani dari gerakan hijrah atau gerakan taubat ini ialah taqarrub ilallah (makin mendekatkan diri kepada Allah). Maka diejawantahkan dengan kepatuhan tinggi melalui jalan kesalehan dan diekspresikan ke sesama manusia dengan wujud akhlakul karimah.

***

Penulis mengutip tutur Syekh Abdul Qadir Al Jailani dalam Sirr al-Asrar Fima Yahtaj ilaihi al-Abrar soal tiga pilar yang dapat kita jadikan pedoman untuk menakar kualitas rohani diri;

Pertama, Iman. Meyakini dengan haq bahwa Allah sang maha kuasa yang menetapkan segala aturan hidup kepada kita dalam bentuk syariat yang telah diteladankan oleh baginda Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam.

Kedua, Takwa. Ialah wujud ekspresi dari iman dalam bentuk amal kepatuhan menjalankan perintah-Nya dan menjauhi larangan-larangan-Nya. 

Baca Juga  Merawat Khazanah Sastra Indonesia Lama yang Hampir Terkubur

Ketiga, Akhlakul Karimah. Buah dari iman dan takwa yang terpancarkan dalam relasi antar sesama manusia sebagaimana yang dituturkan oleh Rasulullah “Innama bu’itstu liutammima makarimal akhlaq (sesungguhnya aku diutus untuk menyempurnakan akhlak manusia)”,

Dengan kata lain, menurut Syekh Abdul Qadir Al Jailani, pertaubatan merupakan kunci terbukanya segala bentuk kebaikan sebagai bentuk dari kesalehan individu (hablum minallah) dan kesalehan sosial (hablum minannas). Maka pedoman ini dapat kita jadikan pegangan untuk mengukur sembari bermuhasabah dengan tujuan untuk senantiasa meningkatkan kualitas rohani dalam diri kita dan sekaligus perilaku sosial kita.

Bersikap Bijak kepada Orang yang Baru Kembali Belajar Ilmu Agama

Menjadi kelaziman mereka yang sudah bertaubat kemudian merubah penampilannya menjadi lebih tertutup dan semangat menghadiri kajian atau liqa’ dan kerap menukil kalimat-kalimat thayyibah dalam caption tiap unggahannya. Bagi penulis itu hak mereka dan sah-sah saja.

Penulis menganalogikan seperti orang yang baru belajar bersepeda dan dengan gembiranya setiap saat bersepeda kemana-mana, orang yang baru memiliki hobi baru akan senang membicarakan hobi barunya. Begitupun euphoria orang yang baru bertaubat atau berhijrah dalam konteks sekarang.

Jika ada orang terdekat kawan atau kerabat menyatakan sudah berhijrah, hargailah bila masih di awal fase euphoria yang baru belajar dan sedang menuju kedewasaan atau kematangan rohaninya.

Bukan kah bagus?  Dulu gemar berjudi kemudian berhenti dan rajin beribadah. Dulu gemar berzina kini beristighfar siang malam. Meski nantinya ada dinamika naik turunnya iman, mari kita doakan semoga dapat istiqomah dan berakhir husnul khotimah.

***

Semenjulang apa pun kualitas rohani kita sekarang, sama sekali bukan jaminan husnul khotimah. Begitu pun mereka yang kini masih jauh dari tuntunan syariat, bukan tidak mungkin di kemudian hari akan mendapatkan sebuah pencerahan atau akan terus tenggelam hingga berakhir su’ul khatimah.

Baca Juga  Hijrah Rasulullah (2): Sebuah Romantika Kisah

Penulis mencoba mengingatkan pembacanya dengan mengutip nasihat dari Mbah Maimoen Zubair “Jadilah orang baik yang berilmu, itu paling mulia. Jika tidak bisa, lebih baik jadilah orang baik yang awam, jangan menjadi orang pintar tapi tidak baik.”

Nasihat ini mengingatkan kita untuk senantiasa berhati-hati perkara ilmu dan kerawanannya agar tidak tergelincir pada jurang hawa nafsu yang membuat kemerosotan level kita di mata Allah dan makhluk-Nya.

Rasul tidak pernah memandang rendah orang yang beribadah dengan ala kadarnya, Rasul tidak memandang picik orang yang menghadiahi anggur kecut kepadanya, Rasul juga berlaku baik kepada pengemis Yahudi buta yang senang mengata-ngatai buruk atas dirinya.

Jadi meningkatkan kualitas iman dan ketakwaan akan berjalan secara paralel dengan kualitas akhlakul karimah. Bukan berpindah dari kezaliman ke kezaliman baru. Karena secara lahiriah atau tampilan luarnya telah berubah religius.

Sebab yang diikhtiarkan bukan kostum gamis baju syar’i dan kelihaian kita dalam mengutip ayat dan hadis semata. Tren gerakan hijrah kekinian harus bisa menjadi jalan taubat dari keburukan menuju kebaikan dan minadzulumati ilan nur (dari kegelapan menuju cahaya).                   

Identitas Buku

Judul Buku: MASAK HIJRAH BEGITU?

Penulis: Edi AH Iyubenu

Penerbit: DIVA PRESS, Yogyakarta

Cetakan: Pertama, Januari 2020

Jumlah halaman: 264 halaman

ISBN: 978-602-391-837-9

Editor: Soleh

Fahris Haria Febrilian
2 posts

About author
Anggota Majelis Pustaka, Informasi dan Digitalisasi PDM Kabupaten Pasuruan. Penerjemah Mandarin.
Articles
Related posts
Review

Madzahibut Tafsir: Meneliti Madzhab Tafsir dari Klasik hingga Kontemporer

4 Mins read
Prof. Abdul Mustaqim menulis buku berjudul “Madzahibut Tafsir, Peta Metodologi Penafsiran Al-Qur’an Periode Klasik Hingga Modern”. Buku ini terbit cetakan pertama pada…
Review

Debat Bergengsi Epikureanisme vs Stoikisme Tentang Tuhan

3 Mins read
Wacana mengenai ketuhanan bukanlah persoalan yang baru muncul pada zaman kontemporer ini. Jauh sebelum Islam dan Kristen lahir di dunia ini, manusia…
Review

Pasang Surut Politik Islam dalam Gelanggang Sejarah Bangsa Indonesia

5 Mins read
Islam sebagai sumber moralitas dan idealitas tidak mungkin dipisahkan dari wawasan kekuasaan. Kekuasaan tanpa didasari moralitas hanya akan melahirkan banalitas sebagaimana yang…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *