Sebagai muslim berdarah Indonesia, secara pribadi tentunya menyadari bilamana hidup di tengah-tengah perbedaan itu sudah biasa. Terutama masalah perbedaan rakaat shalat tarawih. Padahal, secara pelaksanaannya pun itu sama persis dengan shalat tahajud. Hanya saja, shalat tarawih dilaksanakan khusus di malam-malam bulan suci Ramadhan.
Sebut saja NU dan Muhammadiyah yang sudah mandarah daging kemajuannya, masing-masing di antarnya mempunyai pandangan-pandangan yang berbeda berdasarkan dalil dan ijtihadnya dalam menentukan rakaat shalat tarawih. Walaupun berbeda, pada dasarnya, secara implisit kedua ormas Islam ini saling memegang sunah Nabi Muhammad dan sunahnya Khulafa’ur Rasyidin.
Shalat Tarawih di Masa Rasulullah
Pada masa Rasulullah, shalat tarawih yang dilakukan bersama sahabat, bukanlah dengan jama’ah semacam sekarang ini. Biasanya, dalam pribadi Rasulullah, shalat tarawih itu dilakukannya secara sendirian di rumah. Sedangkan sebagian sahabat, shalat tarawih di masjid sendiri-sendiri, dan sebagiannya lagi shalat di rumah, sebagaimana yang dilakukan Rasulullah.
Hingga di suatu malam, Rasulullah keluar rumah dan tarawih di masjid. Lantaran demikian, para sahabat ikut nimbrung menjadi makmum di belakang. Pada keesokan harinya, berita menyebar luas bahwa Rasulullah telah melaksanakan shalat tarawih di masjid. Malam seterusnya, jama’ah tarawih di belakang Rasulullah semakin banyak.
Di hari keempat, masjid mulai sesak. Namun, pada hari itu pun Rasulullah justru tidak datang. Sementara di pagi harinya setelah shubuh, Rasulullah mengumpulkan para sahabat lalu bersabda, bahwa memang tidak ada yang menghalangi untuk keluar dan shalat di masjid, hanya saja Rasulullah takut kelak shalat ini malah mewajibkan bagi yang tidak mampu melaksanakannya.
Hingga esoknya dan seterusnya, para sahabat pun shalat tarawih seperti hari-hari sebelumnya dan Rasulullah kembali shalat di rumah. Pada akhir hayatnya, kondisi seperti itu masih tetap berjalan sedemikian rupa. Sementara para sahabat, tentunya shalat tarawih dengan sendiri-sendiri di rumah atau dengan berjama’ah kecil-kecil di masjid.
Inisiatif Shalat Tarawih di Masa Khalifah Umar
Sedangkan di era khalifah Umar bin Khattab, mengadakan jama’ah-jama’ah kecil di berbagai sudut masjid, bagi Umar dirasa kurang baik. Karena, seolah tidak menunjukkan kesatuan umat Islam. Maka, Umar pun mengumpulkan berbagai jama’ah tersebut menjadi satu. Kala itu dipimpin Ubay bin Ka’ab, sahabat penghafal sekaligus penulis Al-Qur’an di masa Nabi Muhammad dari kalangan Anshar.
Inisiatif demikian ternyata diterima oleh para jama’ah dan sahabat. Bahkan, umat Islam pun terlihat padu dalam satu barisan shalat. Seperti bangunan kokoh yang saling terikat dan menguatkan. Selain mengumpulkan menjadi satu jama’ah, Umar bin Khattab juga menambah jumlah rakaat terawihnya menjadi 20 rakaat dan 3 rakaat shalat witir.
Perihal Rakaat Tarawih yang Diperbincangkan
Dalam hadits riwayat Bukhari, yang sebagaimana diriwayatkan ‘Aisyah ra, memberi spesifikasi tentang rakaat shalat tarawih, yang berbunyi:
عن عائشة رضي الله عنها قالت ماكان رسول الله صلى الله عليه وسلم يزيد في رمضان ولافي غيره على إحدى عشرة ركعة، رواه البخارى
Artinya: Dari ‘Aisyah ra. ia berkata, “Rasulullah saw. tidak pernah menambah shalat malam pada bulan Ramadhan atau bulan lain melebihi sebelas rakaat” (HR. Bukhari).
Hadits di atas, sering dijadikan dalil shalat 11 rakaat. Namun menurut keterangan dalam kitab Tuhfah al-Muhtaj, yang mengutip pendapat Ibnu Hajar al-Haitim, mengatakan bahwa hadits tersebut bukanlah dalil shalat tarawih 11 rakaat, melainkan dalil shalat witir. Sebab, berdasarkan kebanyakan riwayat disebutkan bahwa Rasulullah melaksanakan shalat witir dan bilangannya maksimal 11 rakaat.
Termaktub dalam kitab Kasyfu at-Tabarih, sebagaimana dikatakan, yang berbunyi:
ولما كانت تلك الأحاديث متعارضة ومحتلمة للتأويل ولم تقم بها الحجة في إثبات ركعات التراويح لتساقتها فعدلنا عن استدلال بها إلى الدليل القاطع وهو الإجماع المسلمين في زمن عمر بن الخطاب رضي الله عنه على فعلها عشرين ركعة، رواه البيهقى بااسناد الصحيح عن السائب بن يزيد رضي الله عنه قال كانوا يقومون على عهد عمر بن الخطاب رضي الله عنه في شهر رمضان بعشرين ركعة
Artinya: Karena dalil-dalil tentang shalat rakaat shalat tarawih saling berlawanan dan memungkinkan adanya ta’wil, maka memungkinkan pula untuk tidak dijadikan hujjah dalam menetapkan rakaat shalat tarawih. Sebab, dalil-dalil tersebut saling menjatuhkan, maka dari itu tidak mengambil dalil tersebut, tapi menggunakan dalil qat’i yaitu ijma’ kebanyakan orang Islam (dilaman Sayyidina Umar ra.) yang melaksanakan shalat tarawih 20 rakaat berdasarkan hadits riwayat Baihaqi dari as-Saib bin Yazid ra dengan sanad yang shahih, Saib mengatakan: Mereka (orang-orang muslim) mengerjakan 20 rakaat shalat tarawih di bulan Ramadhan pada zaman khalifah Umar ra.
Kesimpulan
Maka dari itu, dapat ditarik kesimpulan bahwa entah dilaksanakan shalat tarawih 11 rakaat ataupun 23 rakaat, selagi mengikuti sunah Nabi Muhammad sekaligus sunahnya Khulafa’ur Rasyidin. Keduanya tentu terbilang abshah, karena di antara mereka semua, merupakan panutan sekaligus patokan utama sebagai uswatun hasanah. Akhir kata, wallahu a’lamu bishawab.