Fikih

Sekali Lagi, Tidak Ada Masalah Shalat Jumat Secara Online

4 Mins read

Dalam suasana musibah pandemi virus corona Covid-19 yang menurut ahli virus diduga paling segera berakhir di bulan akhir juni dan awal juli 2020, beberapa organisasi kemasyarakatan termasuk Muhammadiyah sudah memfatwakan tuntunan ibadah di tengah situasi covid-19.

Muhammadiyah menggariskan ketentuan pelaksanaan seluruh shalat wajib termasuk shalat jumat untuk diselenggarakan di rumah. Shalat jumat yang ditunaikan di rumah diganti dengan shalat zhuhur empat raka’at. Jika shalat wajib dilaksanakan di rumah, apatahlagi dengan shalat sunah tarawih. Bahkan untuk shalat hari raya diusulkan untuk sementara ditiadakan.

Khususnya tentang penggantian shalat jumat di masjid menjadi shalat zhuhur di rumah  diberikan argumentasi yang sangat kuat untuk mendukung alasan keabsahan penggantian itu.

Pertama, argumentasi mafhum awla dari ketentuan pemindahan shalat jumat ke rumah dengan alasan hujan. Ketentuan ini dipahami dari hadis yang diriwayatkan oleh Abdullah bin Abbas riwayat Muslim yang menyatakan bahwa Nabi saw mengajarkan untuk menunaikan shalat jumat di rumah dengan alasan keadaan hujan.  

Jika dengan alasan hujan saja Nabi saw membolehkan pelaksanaan shalat jumat untuk dikerjakan di rumah, maka alasan pandemi virus corona yang lebih kuat level alasannya sangat absah untuk dijadikan pertimbangan pemindahan shalat jumat di masjid menjadi shalat di rumah.

Sedangkan untuk penggantian shalat jumat menjadi shalat zhuhur didasarkan pada parktik Nabi saw saat tunaikan zhuhur dan ashar dijamak dalam situasi musafir saat ibadah haji. Dalam situasi saat ini, diberlakukan pula kaidah fikhiyah yang menyatakan, manakala hukum asal tidak bisa dilaksanakan, maka beralih pada ketentuan penggantinya (idza ta’adzdzaral ashlu yushaaru ilal badali).      

Tulisan ini bertujuan untuk pengembangan pemikiran ke arah kemungkinan at-Tanawwu’ fil Ibadah, keragaman dalam pelaksanaan Ibadah di tengah tuntunan ummat yang tidak tunggal.

Baca Juga  Relawan Juga Manusia: Cerita dari Makam ke Makam

Usulan Opsi Shalat Jumat Online

Terhadap ketentuan fatwa hukum di atas ternyata ada sebagian kecil ummat yang tidak dapat menerima dengan beragam alasan yang utamanya menjadi dua alasan. Pertama alasan meninggalkan shalat jumat tiga kali mengakibatkan pelakunya kafir. Kedua, alasan pandemik virus corona itu alasan subjektif di mana setiap masjid bisa berbeda-beda situasinya.

Alasan pertama sama sekali alasan yang tidak kuat. Karena hadis-hadis terkait meninggalkan shalat jumat sama sekali tidak menyebutkan menjadi kafir. Lebih dari itu hadis-hadis yang ada tegaskan tinggalkan jumat itu dilakukan secara enteng dan tanpa alasan. Sementara tuntuntan yang difatwakan itu menyebutkan penggantian shalat jumat menjadi sahalat zhuhur. Tentu saja mengganti shalat jumat menjadi shalat zhuhur karena alasan kedaruratan tidak akan dihukumi pelaku kejelekan.

Alasan subjektif yang dilekatkan pada kondisi kedaruratan pandemik global saat ini pun merupakan alasan spekulatif. Karena dalam situasi mewabahnya virius corona secara pandemik, dalam perspektif maqashid asy-syariah, mengajarkan dalam pelaksanaan ibadah yang diperintahkan agama tetap harus memperhatikan aspek menjaga keselamatan jiwa dan raga (hifz an-nafs). Jika itu tidak dilakukan sama dengan bagian dari tindakan bunuh diri yang dilarang agama.

Dalam kaitan itu bersikap antisipatif dengan berkalkulasi bahwa virus itu ada di sekitar tempat ibadah karena ada kerumunan jamaah lebih baik daripada bersikap kuratif, meunggu menjadi korban. Sementara opsi memaksakan shalat di masjid dengan cara merenggangkan shaf jamaah hingga satu meter mengisyaratkan pilihan setengah hati yang masih memperhitungkan kekhawatiran adanya virus.

Soal yang mengemuka adalah jika ada rasa khawatir terkena virus mengapa memilih shalat jumat di masjid daripada memilih shalat zhuhur di rumah yang relatif lebih aman?

Baca Juga  Lupa Mengucapkan Niat Puasa Ramadhan karena Ketiduran, Apakah Sah Puasanya?

Terhadap situasi penolakan sebagian kecil ummat tersebut di atas penulis sempat usulkan untuk memilih melaksanakan shalat jumat secara online. Shalat jumat secara online intinya jamaah sebagai makmum shalat jumat berada di rumah masing-masing sementara imam dan khathib berada di masjid. Pengajuan usulan ini semata-mata untuk mewadahi keinginan ummat tetap shalat jumat tetapi dengan cara yang tidak biasa.

Alasan yang dikedapankan untuk usulan ini adalah: Pertamamemposisikan rumah sebagai masjid dengan merujuk hadis Nabi saw yang menyebutkan bahwa salah satu keistimewaan yang dianugerahkan Allah kepada Rasulullah saw adalah menjadikan seluruh tanah suci yang karenanya dapat dijadikan tempat sujud untuk shalat. Rumah sebagai salah satu entitas yang menempati tanah dapatlah dimasukan kategori tempat sujud itu.

Kedua, alasan analogi pada hukum pelaksanaan akad nikah secara online. Akad nikah adalah peristiwa sakral (mitsaqan ghalizha) yang berkualifikasi ibadah dan disaksikan sekian banyak orang. Sementara shalat jumat pun peristiwa ibadah yang melibatkan lebih dari satu orang. 

Ada yang mengatakan bahwa akad nikah itu bukan ibadah itu bidang muamalah. Tentu saja pandangan ini bermasalah karena jika akad nikah itu masalah muamalah maka unsur-unsur dalam akad nikah itu bisa diutak-atik. Misalnya wali nikah dan mahar yang menyertai akad.

Setelah usulan itu dipulish ke public, ternyata ada seorang sahabat intelektual dari Sayogyo Institute yang memberitahu penulis bahwa ide yang diajukan penulis itu sejalan dengan tulisan pikiran soerang faqih dari Maroko yang bernama Abul Fayd Ahmad bin Muhammad bin ash-Siddiq yang menuliskan pikirannya enampuluh enam tahun yang lalu dalam karyanya yang berjudul al-Iqna’ bi Shihhati Shalat al-Jumu’ah fil Manzili Khalfal Midzya’ (Menegaskan Keabsahan Shalat Jumat di Rumah [Yang dilaksanakan]  di Depan Radio)    

Baca Juga  Aturan dan Pelaksanaan Dam dalam Haji

Beberapa argumentasi yang dimuat kitab al-Iqna bisa digunakan untuk menguatkan alasan pelaksanan shalat jumat secara online. Yang paling relevan adalah pandangan para ulama tekstualis seperti Ibnu Qudamah dari Mazhab Zhahiri dan Ahmad bin Hanbal dari Mazhab Hambali. Kedua tokoh yang sering dikualifikasikan tekstulis menariknya memberikan tempat terhadap kemungkinan terjadinya adanya jarak antara makmum dengan imam di masjid.

Bahkan Ibnu Qudamah mengilustrasikan, andaikan posisi rumah tempat berjamaah makmum dengan masjid itu dipisah oleh sungai yang luas sepanjang suara imam dapat dipastikan terdengar oleh makmum maka shalat berjamaah sedemikian sah adanya. Penulis al-Iqna’ menambahkan karena inti dari pelaksanaan jumatan itu mendengarkan khutbah jika mendengarkan khutbah dapat dilakukan dengan radio maka jarak sejauh apapun sepanjang waktunya bersamaan dan di satu kota yang sama maka dimungkinkan makmum tunaikan berjamaah jumat dengan cara menunaikannya di rumah di depan radio.

Dalam konteks saat ini spirit kitab al-Iqna itu bermakna bahwa dimungkinkan untuk ditunaikan shalat jumat secara online di mana makmum berada di rumahnya masing-masing dan terhubung secara online dengan imam dan khatib yang berada di masjid.

Semoga bermanfaat.

Editor: Azaki Kh
Desainer: Galih QM
Avatar
15 posts

About author
Alumni Angkatan Pertama Ponpes Darul Arqam Muhammadiyah Garut (1978-1984)
Articles
Related posts
Fikih

Bolehkah Mengucapkan Salam kepada Non-Muslim?

3 Mins read
Konflik antar umat beragama yang terus bergelora di Indonesia masih merupakan ancaman serius terhadap kerukunan bangsa. Tragedi semacam ini seringkali meninggalkan luka…
Fikih

Apa Hukumnya Membaca Basmalah Saat Melakukan Maksiat?

2 Mins read
Bagi umat muslim membaca basmalah merupakan hal yang sangat penting dalam melakukan segala aktivitas. Mulai dari hal kecil hingga hal besar sangat…
Fikih

Bagaimana Hukum Mengqadha' Salat Wajib?

4 Mins read
Dalam menjalani hidup tak lepas dari lika liku kehidupan. Ekonomi surut, lapangan pekerjaan yang sulit, dan beberapa hal lainnya yang menyebabkan seseorang…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *