Perspektif

Antara Bank Konvensional dan Syariah: Beda Kosmetik Saja!

4 Mins read

Apakah bank syariah berhasil menjadi alternatif terhadap bank konvensional? Tak ada keraguan bank tersebut memang dimunculkan sebagai alternatif dari praktik bunga bank konvensional, tapi apakah tujuan tersebut berhasil diwujudkan bisa diperdebatkan.

Tampaknya, tujuan menjadikan bank syariah sebagai alternatif tidak cukup berhasil.

Alasan utama ketidakberhasilan tersebut ialah karena kenyataannya produk-produk bank syariah menyerupai bank konvensional. Perbedaan keduanya hanya bersifat kosmetik belaka.

Yakni, beda dalam bentuk, tapi substansinya sama. Misalnya, menggunakan istilah-istilah berbeda seperti “keuntungan” bukan “bunga” atau menyebut “jual-beli” terhadap akad yang secara esensial bersifat pinjaman.

Tulisan ini akan memberikan argumen tambahan atas poin di atas. Saya cenderung sepakat dengan Timur Kuran, ahli ekonomi Islam asal Turki yang kini mengajar di Universitas Duke, bahwa menjamurnya bank syariah sejak paruh kedua abad ke-20 hingga sekarang merupakan implikasi dari menguatnya identitas Islam, yang dipersepsikan sedang terancam. Kata Kuran, “Islamic economics was primarily a vehicle for reasserting the primacy of Islam and secondarily a vehicle for radical economic change” (2004:5). 

Keadaan atau, lebih tepatnya, perasaan terancam dan insecure itu menyebabkan para pendukung bank syariah bersandar pada rumusan fikih klasik.

Walaupun tak menggunakan cara-kerja berbeda, mereka memperkenalkan terminologi berbeda terutama dengan istilah-istilah Arab, sehingga terkesan syar’i sebagai jawaban atas praktik bunga bank produk Barat.

Ilustrasi Perbedaan Kosmetik

Untuk memberikan gambaran yang mudah dipahami bahwa perbedaan bank syariah dan konvensional bersifat kosmetik, berikut akan didiskusikan contoh praktik yang umum dilakukan di bank syariah.

Jika Anda sebagai klien bank Syariah, bermaksud meminjam uang ke bank untuk membeli rumah, maka petugas bank akan bilang bahwa mereka tidak meminjamkan uang.

Bank syariah akan membeli rumah yang Anda inginkan tersebut, dan kemudian menjualnya ke Anda dengan harga yang dinaikkan. Tampaknya ini semata praktik jual-beli.

Baca Juga  Kapitalisasi Media Massa pada Televisi Menuai Dampak Negatif

Namun demikian, karena Anda akan mencicil bayaran selama beberapa tahun, maka bank akan menghitung nilai/harga rumah sesuai dengan berapa uang muka (DP) yang Anda bayarkan sekaligus waktu yang dibutuhkan untuk melunasinya. Sebuah proses yang sebenarnya sama dengan pelunasan di bank konvensional.

Dalam hal ini, bank syariah mengombinasikan akad murabahah dan jual-beli biasa (bai’ bi-tsaman ‘ajil)Bank syariah mengaku ada perbedaan substansial antara jual-beli di atas dan praktik bank konvensional, karena rumah sebelum dilunasi masih atas nama bank dan bank menanggung risiko jika ada kerusakan.

Jika Anda pinjam ke bank konvensional, rumah itu atas nama Anda dan Anda menanggung risiko jika terjadi sesuatu dengan rumah tersebut. Kenyataannya, bank syariah akan mengasuransikan rumah yang sebenarnya milik bank, tapi membebankan biaya asuransi ke Anda.

Ilustrasi konkritnya seperti ini. Jika Anda membeli rumah seharga Rp500 juta dan hanya punya uang Rp100 juta (yakni, 20% dari harga rumah), bank konvensional akan meminjamkan uang Rp400 juta. Jika pinjaman ini dilunasi dalam waktu 30 tahun, dengan bunga yang ditetapkan bank, Anda akan membayar total Rp700 juta, misalnya. Artinya, bank mendapat keuntungan Rp300 juta.

Dalam bank syariah, untuk menghindari riba, bank akan membeli rumah itu seharga Rp500 juta dan menjualnya ke Anda Rp800 juta. Anda membayar Rp100 juta dan sisanya (Rp700 juta) dibayar secara cicilan selama 30 tahun. Dengan demikian, bank syariah akan menerima uangnya yang dipakai untuk membeli rumah (Rp500 juta) plus untung sebesar Rp300 juta.

Jadi, setelah 30 tahun, Anda akan membayar jumlah uang yang sama dan bank syariah dan konvensional juga akan meraup keuntungan yang sama pula.

Baca Juga  KPK Dilemahkan dan Upaya Cegah Korupsi Sejak Dini

Tentu saja, ilustrasi di atas bukan satu-satunya yang dipraktikkan bank syariah, walaupun itu yang paling umum digunakan.

Ada model akad lain, seperti ijarahmudharabahbai’ salam, dan lain-lain yang dapat ditemukan padanannya dalam bank konvensional. 

Strategi Mengakali

Apa yang diilustrasikan di atas bukan tidak disadari para pendukung bank syariah. Mereka berdalih persamaan antara bank konvensional dan syariah merupakan fase transisi dari lahirnya bank Islam yang distingtif dari praktik perbankan modern, yang menerapkan suku bunga.

Tapi, hingga kini tak ada terobosan baru dalam perbankan syariah yang membedakannya dari bank konvensional. Perlu dicatat, munculnya bank syariah bukan fenomena baru.

Memang, di Indonesia masih relatif baru, tapi di belahan dunia Muslim lain sudah berkembang cukup lama. Misalnya, Uni Emirat Arab memperkenalkan bank syariah pada 1975, Arab Saudi pada 1978, Pakistan pada 1981, Iran dan Malaysia pada 1983. Namun, sampai sekarang tak ada tanda-tanda bank syariah sudah melewati masa transisi itu.

Alih-alih mengajukan alternatif terhadap perbankan modern, para pendukung bank syariah malah sibuk mencari alasan untuk menghalalkan cara-kerja bank yang sebenarnya tidak berbeda dari bank konvensional dengan mengakalinya supaya terkesan sesuai dengan syariah, yang mereka yakini anti-bunga. Misalnya, menyebut transaksi standar kegiatan hutang-piutang sebagai akad jual-beli.

Hampir semua produk bank syariah melibatkan trik tertentu supaya tidak digolongkan praktik haram. Dalam nomenklatur fikih klasik, strategi mengakali seperti ini disebut “hilah” (jamaknya, hiyal). Yakni, cara untuk mengatasi dan mengakali hal-hal yang dilarang oleh agama.

Salah satu ulama awal yang menulis kitab soal hilah ialah al-Khashshaf (w. 261/874), berjudul Kitab al-Hiyal wal-Makharij. Ia mendefinisikan hilah sebagai berikut: “Sebuah cara yang bisa digunakan oleh seseorang untuk keluar dari sesuatu yang dilarang dan berdosa menjadi diperbolehkan.”

Baca Juga  Sejarah Haji Indonesia (1): Muhammadiyah Pelopor Perbaikan Haji

Kata “hilah” sebenarnya berkonotasi negatif. Karenanya, di kalangan ulama Hanafi metode itu lebih dikenal dengan sebutan “makharij” (jalan keluar).

Perbincangan soal hilah cukup luas dalam fikih, terutama dalam mazhab Hanafi, namun konsep tersebut tidak banyak mendapatkan perhatian. Kita berhutang budi pada orientalis Joseph Schacht yang menyunting empat kitab karya ulama klasik, tiga dari mazhab Hanafi yakni Syaibani (w. 189/805), Sarakhsi(w. 448/1056), dan Khashshaf, dan satu dari mazhab Syafi’i yakni Qazwini (w. 440/1048).

Semoga ada kawan penulis yang mengulas konsep hilah ini secara detail. Kepentingan saya ialah mempersoalkan urgensi menggunakan strategi klasik untuk mengatasi keharaman bunga bank, jika yang sebenarnya dilakukan bank syariah modern itu sama saja dengan praktik bank konvensional.

Bukankah keharaman bunga bank itu adalah pendapat mereka, yang kemudian mereka hendak siasati supaya menjadi halal?

Saya masih berharap para pendukung bank syariah mampu menawarkan alternatif bank syariah yang betul-betul berbeda dari bank konvensional. Jika tidak, saya khawatir strategi mengakali bunga bank adalah bentuk penipuan terhadap diri mereka sendiri. Sebab, perbedaannya bersifat de jure, bukan de facto.

Selengkapnya, klik di sini
Editor: Yahya FR
Related posts
Perspektif

Tak Ada Pinjol yang Benar-benar Bebas Riba!

3 Mins read
Sepertinya tidak ada orang yang beranggapan bahwa praktik pinjaman online (pinjol), terutama yang ilegal bebas dari riba. Sebenarnya secara objektif, ada beberapa…
Perspektif

Hifdz al-'Aql: Menangkal Brain Rot di Era Digital

4 Mins read
Belum lama ini, Oxford University Press menobatkan kata Brain Rot atau pembusukan otak sebagai Word of the Year 2024. Kata yang mewakili…
Perspektif

Pentingkah Resolusi Tahun Baru?

2 Mins read
Setiap pergantian tahun selalu menjadi momen yang penuh harapan, penuh peluang baru, dan tentu saja, waktu yang tepat untuk merenung dan membuat…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

This will close in 0 seconds