Malam-malam kemarin, saya melihat update-an status WhatsApp dari Kak M. Hasnan Nahar, senior saya semasa di Madrasah Mu’allimin Muhammadiyah Yogyakarta. Kak Hasnan, begitu saya biasa menyapa, membagikan link tulisannya yang mencoba mendiskusikan fenomena pernikahan online, yang beberapa waktu lalu tayang di IBTimes. “Wow!” Demikian keterkesimaan saya berbicara, sedetik sebelum melahap ulasannya.
Keresahan yang dibawa Kak Hasnan, setelah saya baca habis, lebih menempatkan jangkar pikiran hukum Islam saat menyoal absahnya pernikahan online. Barangkali ini karena latar belakang Kak Hasnan sebagai teolog yang kerap menyentuh persoalan tersebut. Ringkas cerita, Kak Hasnan lantas sampai pada kesimpulan bahwa pernikahan online menjadi tiada mengapa, pasal terpenuhinya rukun dan syarat sahnya.
Syahdan, saya tidak cukup kompeten melanjutkan percakapan tersebut dalam poros ilmu Kak Hasnan. Tapi atas nama peradaban pemikiran, saya tertarik untuk menanggapi keresahan Kak Hasnan soal pernikahan online dari kajian budaya digital.
Berayun di antara Realitas dan yang Virtual
Izinkan saya memulai semuanya, dengan membedah konseptualisasi yang ditawarkan Yasraf Amir Piliang, perihal realitas dan Yang Virtual. Pertama, yang perlu kita ketahui dari Piliang, manusia maklum untuk lebih dekat dengan realitas. Sebabnya, realitas itu dianggap sebagai sesuatu yang mampu memberikan kepastian. Beda halnya dengan keabsurdan yang selalu membuat manusia enggan atau paling tidak ragu menghadapinya, lantaran beragam kemungkinannya yang kompleks.
Tapi persoalan realitas menjadi menarik ketika ia dihadapkan dengan Yang Virtual. Adapun yang disebut Yang Virtual ini, secara mendasar, merujuk pada kemampuan imajinasi manusia, yang membuatnya mampu membayangkan sesuatu tanpa harus sempat terlibat dalam persentuhan dengan sesuatu itu.
Piliang memberi satu contoh sederhana. Meskipun seseorang belum pernah melihat gajah secara langsung, ia tetap bisa mengimajinasikan gajah sebagaimana yang juga diketahui orang lain. Itu karena imajinasi selalu berpijak dari kendali referensi. Kalau menurut saya, mungkin seseorang itu bisa membayangkan gajah karena dia pernah melihat gambar hewan tersebut. Dari situ, dia kemudian mulai bisa memproyeksikan tubuh gajah dan gerak-geriknya secara komprehensif, seolah-olah seseorang itu sedang berjumpa dengan gajah.
Dengan keadaan seperti itu, Yang Virtual akan memiliki kecakapan untuk mengkonstruksi realitas. Orang bisa menikmati sesuatu secara real, tanpa harus mendayagunakan aspek inderawinya di waktu maupun tempat yang bersamaan, melalui konsep Yang Virtual. Pasal pandangan bahwa realitas adalah yang harus hadir di depan kita, itu dikarenakan konstruksi pemahaman yang saklek tentang realitas itu sendiri.
Kita melihat gajah secara langsung dan menyatakannya sebagai dasar: “Saya tahu gajah yang real”, sebenarnya karena persepsi yang kita konstruksi. Maksud saya, mengadaptasi penjelasan Piliang, konsep realitas tentang gajah di pikiran kita saat melihatnya secara langsung, terjadi setelah indera mata kita mengirim impuls-impuls elektrik ke otak –yang membawa pengalaman kita melihat belalai sampai ekor gajah.
***
Otak, kemudian, menyimpannya sebagai persepsi realitas. Itu akan sama artinya ketika kita melihat video tentang gajah, di mana otak kita juga saat itu menangkap sebuah proyeksi tentang hewan tersebut. Darinya, kita mampu mengimajinasikan lebih jauh bagaimana gajah ada, berjalan, dan membuatnya satu tempat bersama kita.
Lagipula, sebagaimana yang saya kutip dari Piliang, Jacques Lacan memberi satu pemahaman bahwa manusia tidak mengadaptasi dirinya pada realitas. Sebaliknya, manusia mengadaptasi realitas ke dalam dirinya. Kalau sedikit saya perjelas, eksistensi realitas itu an sich –ia bukan merupakan deskripsi buah kesadaran kita. Gajah ya gajah. Dia ada realitasnya sendiri. Tapi realitas gajah setelah kita melihatnya –langsung atau termediasi– itu adalah sensasi yang diturunkan otak kita.
Tapi, yang perlu ditegaskan, dengan menyebut ‘Yang Virtual’ sebagai jalan termudah untuk mengkonstruksi realitas, sepertinya terlalu berlebihan juga. Lacan, seperti yang saya sarikan dari Piliang, lebih ingin menyampaikan bahwa perkembangan kemampuan untuk memahami realitas tak semata berlangsung dalam pengalaman yang tak termediasi.
Namun dalam proses-proses pengimajinasian pun, terjadi proses redefinisi realitas. Saya akhirnya sepakat dengan Piliang, ketika ia menyimpulkan jika keluwesan berimajinasi lebih tepat disebut sebagai alat yang membolehkan seseorang berayun di antara realitas dan Yang Virtual.
Imajinasi: Gramatika Realitas Termutakhir
Persoalan menarik selanjutnya hadir saat imajinasi itu, nyatanya, tidak betul-betul asing di setiap percakapan kita sehingga kita sendiri, sadar tidak sadar, biasa mengonsumsi ‘realitas baru’ itu tadi. Anda mungkin akan mengatakan bahwa mendapatkan realitas adalah melulu berkat kerja rasionalitas –bagaimana sebuah realitas semestinya didapat dari struktur pengetahuan yang logis-akademis.
Tapi kalau kita periksa sekali lagi, bahkan yang disebut sebagai rasionalitas itu mulanya lantaran imajinasi. Tedjoworo, lewat Piliang, karenanya menyuratkan bahwa imajinasi merupakan cikal bakal bahasa, pengetahuan, hingga ‘kebenaran’.
Misalnya begini. Dalam rapat kebijakan pemerintah, persoalan yang dibawa pasti akan memantik perdebatan tentang kemungkinan-kemungkinan dari persoalan tersebut, dari bayangan pihak-pihak yang terlibat. ‘Bayangan’ itulah yang jadi kuncinya, di mana ia merupakan identitas lain dari imajinasi.
‘Bayangan’ itu pada ujungnya menginisiasi kebijakan-kebijakan pemerintah, untuk menuntaskan persoalan tadi. Sebetulnya ada beberapa bentuk turunan lain dari imajinasi di samping kebijakan pemerintah itu tadi. Istilah saintifik, teori pengetahuan, juga keputusan dewan agama adalah segelintir contohnya.
Yang menjadi ironis, imajinasi, menurut Piliang, sering pula dilupakan. Hemat Piliang, akar dari dilupakannya imajinasi adalah ketaksadaran akan salah satu fungsinya sebagai penyerta proses pengetahuan, konseptualisasi, dan formulasi pengetahuan. Ramalan Piliang maka mesti diamini ketika keadaan demikian membuat manusia bisa frustrasi karena imajinasi belum menjadi tata bahasa baru, yang betul disadari, bagi realitas kita sehari-hari.
Kontroversi tentang pernikahan online katakanlah, yang lokus masalahnya adalah kelaziman. Kalau anda mau menikah, adakanlah pesta atau paling tidak datangilah KUA. Tapi pernikahan online kemudian ‘mengacaukan’ realitas tentang birokrasi pernikahan itu.
***
Orang jadi ragu –bahkan mungkin tidak mau percaya- kalau pernikahan dapat ditunaikan dalam tempo waktu dan tempat yang sedemikian sederhana. Kak Hasnan saya kira menjadi orang yang turut mengkampanyekan imajinasi sebagai cara termutakhir untuk menjalankan syari’at pernikahan.
Tentu saja saya paham bahwa hal itu tidak serampangan diputuskan –ada beberapa poin yang menjadikan pernikahan online layak diterapkan dan setara dengan pernikahan pada umumnya. Namun, menurut saya, poin kritisnya adalah imajinasi menjadi bentuk pembacaan mendalam atas realitas syari’at pernikahan itu tadi.
Dengan meminjam apa yang ditulis Piliang, dalam khazanah psikoanalisis, hal itu merupakan metode menarasikan ulang jalan hidup untuk mendapat pemaknaan baru yang lebih bisa diterima. Apalagi jika itu diterapkan dalam situasi mendesak seperti saat virus corona menghantui manusia sekarang ini.
Informasinya seputar dunia virtual dan realitas bermanfaat dan menarik. Teknologi untuk berbagai bidang selalu berkembang dari zaman ke zaman. Jasa AR Jakarta merupakan salah satu bentuk jasa teknologi basis Augmented Reality yang dapat dimanfaatkan untuk berbagai bidang.