Riset

Antara Peradaban Timur dan Barat

4 Mins read

Setiap peradaban yang terbentuk dalam sejarah manusia memiliki dinamika dan pola yang berbeda antara satu sama lain. Namun, di antara perbedaan yang beragam tersebut, ada satu kesamaan yang pasti dimiliki oleh setiap peradaban.

Yakni, ia tidak mungkin dapat bertahan atau berkembang tanpa adanya kontak ataupun interaksi dengan kebudayaan atau peradaban lain.

Dinamika Peradaban Timur dan Barat yang Kompleks

Di antara berbagai macam peradaban dan kebudayaan yang masih bertahan hingga saat ini, mungkin tidak ada yang pola interaksi serta dinamikanya lebih kompleks daripada peradaban “Barat” dan peradaban “Timur”.

Peradaban Barat yang dicirikan dengan individualisme dan rasionalismenya yang kuat. Serta peradaban Timur yang dicirikan dengan komunalisme dan penekanannya terhadap spiritualitas yang tinggi.

Stereotipe antara peradaban Timur dan Barat ini pun berkembang tidak hanya sebatas definisi geografis semata. Tetapi berkembang lebih luas menjadi semacam cara pandang terhadap dunia, norma, budaya, pola masyarakat, dan sebagainya. Kedua peradaban tersebut memiliki perbedaan yang seolah-olah bertentangan dan tidak dapat bersatu satu sama lain.

Pada tahun 1996, terbit sebuah buku yang berjudul “Clash of Civilization” yang ditulis oleh seorang akademisi politik, Samuel Huntington.

Dalam isi bukunya, dikotomi antara Timur dan Barat bahkan menjadi lebih sempit menjadi dikotomi antar agama. Dalam hal ini, Barat adalah yang dicirikan oleh Kristen, dan Timur yang dicirikan oleh Islam.

Hal ini dikarenakan dalam diskursus orientalisme dan oksidentalisme, daerah Timur merupakan negara-negara wilayah jajahan dan mayoritas penghuninya adalah orang-orang muslim. Sedangkan wilayah Barat adalah negara-negara penjajah yang mayoritas penduduknya beragama Kristen.

Perbedaan kedua peradaban tersebut semakin meruncing setelah memasuki abad ke-21 paska terjadinya peristiwa 911.

Peradaban Timur yang mayoritas merupakan wilayah Timur Tengah dan dataran Mediterania, khususnya dalam hal ini agama Islam, secara salah dipersepsikan sebagai sumber kekacauan dan terorisme. Akibatnya, muncul sikap Islamofobia yang muncul di sebagian masyarakat Barat.

Baca Juga  Memurnikan Agama, Membangun Peradaban

Begitu juga sebaliknya bagi masyarakat Timur. Barat secara salah juga dipersepsikan sebagai musuh agama yang harus diperangi. Semua yang berasal dari Barat adalah keburukan. Bahkan dalam tingkat yang ekstrem pola pikir seperti ini, dapat menimbulkan sikap ekstremisme yang melahirkan perbuatan terorisme.

Peradaban Kosmopolitan yang Diidam-idamkan

Konflik akibat salah persepsi seperti ini seharusnya tidak terjadi apabila kedua peradaban dapat berdialog secara terbuka dan saling memahami satu sama lain.

Konflik ini dapat diselesaikan apabila keduanya duduk bersama dan meluruskan kesalahpahaman, mispersepsi, serta kecurigaan yang selama ini ada di antara keduanya.

Jika kita melihat sejarah, sebenarnya di antara kedua peradaban ini memiliki sejarah panjang dalam interaksinya. Dari sejak zaman Yunani kuno hingga era kontemporer saat ini.

Peradaban Islam berhutang kepada gagasan dan pemikiran yang dikembangkan oleh para filsuf Yunani seperti Plato dan Aristoteles.

Peradaban Islam mengambil metode logika dan filsafat mereka, yang kemudian dikembangkan oleh ilmuwan muslim dalam pengembangan pemahaman teologi mereka.

Sebelum kemudian merintis metode baru, yaitu empirisme, yang kelak menjadi dasar metode observasi, yang sekarang lumrah dikenal dalam metode penelitian ilmiah saat ini.

Metode empirisme ini kemudian dikembangkan oleh orang-orang Barat dan menjadi dasar lahirnya revolusi industri dan penemuan-penemuan besar lainnya. Tidak hanya dalam bidang ilmu pengetahuan. Interaksi antar peradaban juga diwujudkan dalam bentuk kebudayaan, sistem politik, dan hukum yang berlaku dalam masyarakat.

Persilangan di antara keduanya melahirkan suatu bentuk peradaban kosmopolitan. Di mana setiap orang dari semua latar belakang, baik agama maupun ras, dapat secara aktif menyumbang gagasan dan pemikirannya secara timbal balik. Dan ciri kosmopolit inilah yang menjadi tonggak majunya sebuah peradaban.

Baca Juga  Kasyfi dan Ladunni: Klasifikasi Ilmu Pengetahuan dalam Islam

Akan tetapi, semangat untuk membentuk peradaban kosmopolit seperti itu, saat ini mengalami tantangan di tengah menguatnya populisme dan politik identitas di setiap negara. Masing-masing ingin menegaskan identitasnya dan menarik diri dari kelompok atau golongan yang berbeda darinya.

Dikotomi antara “kelompok kami” dan “kelompok kalian” inilah yang menyebabkan dialog antar sesama menjadi sulit dilakukan; dan semakin memperuncing perbedaan di antara kedua sisi.

Dikotomi antara Timur dan Barat

Padahal, dikotomi antara Timur dan Barat itu tidak ada dalam pandangan Islam.

Bahkan Al-Qur’an secara eksplisit menegaskan bahwa baik di Timur mau pun Barat, seorang muslim dapat menemukan hikmah di sana. Pandangan ini ditegaskan dalam firman-Nya:

وَلِلَّهِ الْمَشْرِقُ وَالْمَغْرِبُفَأَيْنَمَا تُوَلُّوا فَثَمَّ وَجْهُ اللَّهِ ۚ إِنَّ اللَّهَ وَاسِعٌ عَلِيمٌ

Dan kepunyaan Allah-lah Timur dan Barat, maka ke mana pun kamu menghadap maka di situlah wajah Allah. Sesungguhnya Allah Maha Luas (rahmat-Nya) dan Maha Mengetahui.” (QS. Al Baqarah (2): 115)

Ayat ini secara eksplisit menegaskan bahwa di mana pun seorang muslim berada, nilai-nilai kebaikan selalu ditemukan di mana pun, tanpa memandang baik itu di Timur maupun di Barat.

Sejalan dengan konsep Islam yang memandang seorang muslim sebagai orang yang berdiri di tengah (wasatiyyah). Serta sebagai penghubung dan fasilitator dialog antara dua peradaban tersebut, dan mengambil kebaikan dari keduanya.

Seorang muslim yang baik adalah dia yang tidak mencaci maki peradaban Barat, tapi di sisi lain juga tidak terlalu mengagungkan peradaban Timur. Keduanya punya kelebihan dan kekurangan, sehingga masing-masing perlu dialog secara terbuka dan saling melengkapi satu sama lain.

Peradaban kosmopolit di mana semua orang dapat saling menyumbang gagasan dan memandang positif satu sama lain, itulah yang menjadi cita-cita ideal peradaban di masa depan.

Baca Juga  Adab Bukan di Atas Ilmu

Latar belakang ras, suku, budaya, bahkan agama, bukanlah penghalang dalam bekerja sama untuk menyelesaikan permasalahan sosial yang sekarang semakin mendesak untuk diselesaikan bersama.

Alih-alih berfokus kepada perbedaan yang ada dalam masing-masing peradaban, perlahan-lahan pola pikir kita harus diubah agar mencari titik temu di mana kedua peradaban dapat bertemu dan memiliki tujuan yang sama-sama dapat diwujudkan.

Setiap peradaban pasti memiliki aspek universal di mana ia memiliki kesamaan dengan peradaban yang lain. Selain di sisi lain, mereka memiliki sifat partikular yang berbeda masing-masing.

Aspek kesamaan dalam menjawab persoalan-persoalan kemanusiaan merupakan misi utama yang lebih besar daripada mempertahankan ego dan identitas masing-masing.

Berperan sebagai Orang-orang Pertengahan

Sesuai dengan tujuan agama sebagai rahmatan lil ‘alamin dan posisinya sebagai orang-orang pertengahan (wasatiyyah), seorang muslim harusnya dapat berperan sebagai jembatan yang membuka dialog dan kerja sama antar peradaban ini.

Sebagai orang-orang yang ada di pertengahan, seorang muslim dapat mengambil nilai-nilai kebaikan dari kedua sisi. Dan kemudian mengintegrasikannya menjadi sebuah nilai peradaban yang bisa diterima dan berlaku untuk semua orang.

Ke mana pun kita berjalan, baik ke Timur maupun ke Barat, di situlah kita akan menemukan hikmah dan nilai-nilai kebaikan darinya. Tidak perlu ada dikotomi yang memisahkan antara keduanya. Karena baik Timur dan magrib adalah kepunyaan-Nya; dan ke mana pun kita hadapkan wajah kita, di sanalah kita akan menemukan wajah-Nya.

Hikmah adalah barang yang hilang dari kaum beriman. Maka di mana saja kalian menemukannya, maka ambillah.” (HR. Tirmidzi)

Editor: Zahra

9 posts

About author
Mahasiswa Biasa di Kampus yang Biasa-Biasa Saja
Articles
Related posts
Riset

Di mana Terjadinya Pertempuran al-Qadisiyyah?

2 Mins read
Pada bulan November 2024, lokasi Pertempuran al-Qadisiyyah di Irak telah diidentifikasi dengan menggunakan citra satelit mata-mata era Perang Dingin. Para arkeolog baru…
Riset

Membuktikan Secara Ilmiah Keajaiban Para Sufi

2 Mins read
Kita barangkali sudah sering mendengar kalau para sufi dan bahkan Nabi-nabi terdahulu memiliki pengalaman-pengalaman yang sulit dibuktikan dengan nalar, bahkan sains pun…
Riset

Lazismu, Anak Muda, dan Gerakan Filantropi untuk Ekologi

2 Mins read
“Bapak ini kemana-mana bantu orang banyak. Tapi di kampung sendiri tidak berbuat apa-apa. Yang dipikirin malah kampung orang lain,” ujar anak dari…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

This will close in 0 seconds