Oleh: Dedy Firmansah*
Telah kita ketahui bersama praktek umum pernikahan yang berlaku di masyarakat masih mempersoalkan masalah status sosial dan ekonomi. Seringkali kali menjadi kebiaasaan masyarakat kita dalam memilih pasangan itu membeda-bedakan status sosial dan ekonomi calon mempelai. Si kaya hanya mau kepada meraka yang kaya, anak pejabat harus dengan anak pejabat dan seterusnya.
Intinya nikah itu harus dengan keluarga yang selevel, sepadan dan sederajat baik dari segi status ekonomi maupun status sosialnya. Si kaya dengan leluasa bisa memilih dan menikahi pasangan yang mereka inginkan, sedangkan si miskin dengan inferior mereka akan lebih pasrah menikah dengan siapa saja.
Ujaran Pak Menteri
Persepsi semacam inilah (kalau boleh dikatakan mungkin, dan mudah-mudahan juga salah) menjadi salah satu faktor penyebab masalah kesenjangan sosial itu muncul. Sebab yang kaya makin kaya dan yang miskin sudah pasti tetap miskin. Apabila pernikahan itu hanya urusan level dan harus sederajat, maka yang namanya sharing kekayaan tidak akan pernah terjadi dalam kehidupan masyarakat.
Upaya Menteri Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (PMK) dalam menanggapi persoalan masalah kemiskinan di Indonesia salah satu solusi alternatif yang diatawarkannya adalah dengan menikah beda status ekonomi dan sosial atau lintas status beberapa waktu yang lalu. Dikarenakan isu kemiskinan inilah yang menjadi PR (Pekerjaan Rumah) bagi negara yang sedang berkembang, seperti Indonesia.
Tujuh puluh empat tahun kita sudah merdeka. Tetapi negeri ini masih saja belum dapat dikatakan sebagai negara yang “berkembang” jika kita merujuk pada pendapat Soesilo Toer seorang pengiat literasi. Ia mengatakan “Negara dikatakan berkembang jika masyarakatnya sejahtera dan terjamin kehidupannya secara primer dan skunder”. Secara primer seperti kebutuhan pokok sehari-hari dan tempat tinggal memadai, sedangkan yang skunder adalah mendapatkan pendidikan yang layak dan lain sebagainya.
Berdasarkan problem di atas, Maka Pak Menteri Muhajir Efendy berupaya menganjurkan kepada Menteri Agama (Menag) RI agar mengeluarkan fatwa mengenai pernikahan beda status sebagai salah satu solusi untuk mengurangi angka kemiskinan di Indonesia. Sebab dengan adanya resolusi seperti ini paling tidak angka kemiskinan akan dapat teratasi meskipun belum tentu efektif.
Paling tidak ini bentuk ijtihad pemikiran dari Pak Menteri untuk menyelesaikan masalah kemiskinan saat ini di tengah-tengah kesibukan para elit penguasa yang hanya memikirkan diri sendiri dan kelompoknya. Meskipun anjuran tersebut telah menimbulkan berbagai tanggapan di masyarakat baik yang pro maupun yang kontra. Bahkan ada yang bersikap reaktif, dengan serampangan mengatakan bahwa pernyataan Pak Menteri tersebut dianggap tidak sesuai dan berlawanan dengan budaya yang sudah berjalan di masyarakat, yaitu mau menikah dengan siapa saja itu bebas dan itu urusan masing-masing individu
Pernikahan dan Masalah Kemiskinan
Pada dasarnya jika mau dipahami secara komprehensif, anjuran yang telah disampaikan oleh Pak Menteri sebenarnya bermakna seruan moral bagi masyarakat Indonesia secara umum. Dimaksud mengandung seruan moral sebab menurut hemat penulis, di balik anjuran tersebut bersemayam nilai-nilai emansipatif atau kesetaraan dan keadilan (saling berbagi/sharing) bagi seluruh rakyat Indonesia.
Bagaimana tidak, jika pernikahan beda status ekonomi itu benar-benar terjadi dengan catatan antar kedua belah pihak (keluarga) yang akan menikahkan calon mempelai harus saling menerima apa adanya, lapang dada, dan ikhlas. Maka kita akan melihat bagaimana solusi untuk mengatasi kemiskinan ala Pak Menteri ini bekerja.
Oleh karenanya, seruan itu harus menjadi motivasi bagi kita. Agar kita mau berusaha dan mengupayakan untuk lebih meningkatkan status dan kualitas ekonomi dan sosial kita, dengan cara lebih giat bekerja dan berusaha ditengah-tengah ketidak pastian perkembangan perekonomian global. Sehingga anjuran Pak Menteri tersebut tidak lagi disalah pahami dan tidak lagi disalah artikan. Karena ujung-ujungnya bermuara pada perdebatan liar tak berkesudahan.
Jika masalah kemiskinan ini adalah masalah negara, maka pernikahan lintas status itu adalah salah satu solusi yang ditawarkan negara untuk rakyatnya untuk mengatasi persoalan kemiskinan yang tidak ada ujungnya ini. Sebab setiap tahunnya yang namanya kemiskinan mengakibatkan timbulnya persoalan-persoalan sosial baru di masyarakat.
Dengan demikian secara tidak langsung, persoalan kemiskinan telah mendorong keinginan Pak Muhadjir Effendy untuk menciptakan keseimbangan dan pemerataan status ekonomi di masyarakat. Dengan tujuan agar tidak ada lagi kesenjangan dan marjinalisasi dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
Menghapus Status Quo
Model pernikahan yang menjadikan status sosial dan ekonomi seseorang sebagai tolak ukur, pada kenyatannya telah melanggengkan status quo dalam praktik pernikahan di masyarakat. Sebab pemilihan calon pasangan dalam pernikahan yang hanya berdasarkan status sosial dan ekonomi sudah ada sejak zaman dahulu kala dan berglangsung hingga saat ini. Maka upaya Pak Menteri di atas menurut saya bisa dikatakann sebagai usaha untuk memangkas dan bahkan menghapus lajunya status quo dalam pernikahan yang terjadi di masyarakat.
Upaya dekonstruksi status quo dalam proses pernikahan ini menurut saya tak lepas dari cita-cita mulia beliau yang ingin menjunjung tinggi prinsip-prinsip keadilan. Karena status quo dalam pernikahan merupakan perilaku yang tidak baik bagi masa depan generasi muda.
Oleh karenanya mau tidak mau para generasi pra menikah atau yang belum menikah harus berupaya keras untuk keluar dari jeratan ini, sebagai bentuk perlawanan terhadap status quo dalam pernikahan. Dengan cara apa? Dengan merubah pola pikir atau cara pandang yang baru yang berkemajuan, bahwa menikah itu hak bagi semua manusia, dan menikah bukan soal strata, tapi soal ikatan jiwa. Pernikahan harus mampu memberikan maslahat bagi manusia, dan pernikahan yang bermanfaat yaitu pernikahan yang memanusiakan manusia.
*) Mahasiswa S1 Sosiologi UMM, Aktivis IMM Renaissance UMM & Alumni Kolokium Nasional Interdisipliner — Cendekiawan Muda Muhammadiyah UMM.
Editor: Nabhan