Falsafah

Antropologi Agama: Kritik Talal Asad terhadap Clifford Geertz (Bagian 2)

4 Mins read

Oleh:Muhamad Rofiq*

 

Kritik Talal Asad terhadap Clifford Geertz muncul pada tahun 1983, atau hampir dua puluh tahun sejak Geertz menuliskan gagasannya tentang definisi dan pendekatan antropologi dalam memahami agama. Pada saat itu, nama Geertz sedang berada di puncak popularitas. Idenya tentang agama banyak mempengaruhi penelitian-penelitian antropologi sesudahnya.

Secara umum, tesis Asad tentang antropologi agama yang sekaligus juga kritiknya terhadap Geertz dapat dipetakan menjadi dua hal. Pertama, menurut Asad, tidak ada satupun definisi tentang agama yang bersifat universal dapat diterima. Semua definisi semestinya bersifat partikular.

Asad juga menolak adanya ada esensi agama yang berlaku secara universal. Kedua, menurutnya, agama apapun tidak bisa dilepaskan dari kekuasaan. Simbol agama memiliki efikasi dan melahirkan makna tidak dengan sendirinya, melainkan karena ada peran kekuasaan di dalamnya.

Tesis umum tersebut dapat dijabarkan sebagai berikut. Asad berpendapat bahwa definisi yang dibuat oleh Clifford Geertz adalah definisi yang mencerminkan cara pandang masyarakat Barat yang telah mengalami fase modernity. Geertz, menurut Asad, telah membawa bias cara pandang Barat Kristen masa kini dan menjadikannya sebagai tolak ukur yang bersifat universal untuk melihat fenomena agama di luar masyarakat Barat. Dengan kata lain Geertz telah me-universal-kan sesuatu yang bersifat partikular.

Geertz menurut Asad mengabaikan satu fakta bahwa agama di Barat telah mengalami transformasi yang luar biasa. Apa yang disebut sebagai agama pada masa lalu (Kristen abad pertengahan) menurut definisi Barat hari ini bukan lagi masuk kategori agama. Lebih dari itu, menurut Asad, bahkan kepercayaan orang-orang Kristen hari ini tentang Tuhan, kehidupan setelah mati dan alam semesta, berbeda dengan apa yang dipercayai oleh orang Kristen 800 tahun yang lalu.

Asad menunjukkan secara konkrit beberapa bias cara pandang spesifik Barat terhadap konsepsi Geertz tentang agama. Pertama, Geertz memisahkan antara domain agama dengan domain politik, hukum, dan sains. Cara pandang dikotomis seperti ini, kata Asad, adalah tipikal cara pandang Barat modern yang sekuler dan liberal.

Baca Juga  Jacques Derrida: Teori Dekonstruksi, Agama, dan Sains

Kerangka berfikir dikotomis seperti ini tidak selayaknya diuniversalisasi dan digunakan untuk melihat agama lain. Ketika digunakan untuk melihat agama lain, konsekuensinya adalah fenomena ketiadaan independensi agama dari domain lainnya akan dianggap sebagai abnormal atau bahkan penyimpangan.

Sebagai contoh, dengan kerangka pikir yang memisahkan agama dan politik, fenomena Islam politik akan cenderung dibaca sebagai kepentingan politik yang terselubung agama (disguise for political power).

Selain tidak layak untuk dijadikan sebagai kerangka berfikir untuk melihat agama lain, perspektif otonomi dan independensi agama ini juga tidak bisa digunakan secara anakronistik untuk melihat ke belakang fenomena sejarah Kristen pra zaman modern. Pada periode pra reformasi Protestan, agama bersifat all-encompassing (mencakup semua), tidak hanya persoalan belief (iman kepada yang bersifat metafisik) sebagaimana dirumuskan oleh Clifford Geertz.

Kedua, Geertz mengidentifikasi esensi agama ada dalam persoalan keyakinan dalam hati (inwardness), dengan mengabaikan aspek lainnya. Menurut Asad melakukan esensialisasi terhadap agama lalu kemudian memproyeksikannya sebagai kerangka berfikir universal tidak bisa diterima. Hal itu disebabkan karena esensi dari setiap agama berbeda-beda satu dengan yang lainnya.

Asad menyebut bahwa mendefinisikan esensi agama sebagai sistem keyakinan kepada Tuhan, atau kepercayaan kepada yang transedental, akan meng-anak-emas-kan satu agama dan menegasikan agama-agama lain. Sebagai contoh, menekankan pentingnya Tuhan dalam definisi agama, jelas akan meng-exclude agama Buddha yang tidak mengenal konsep Tuhan. Demikian pula dengan menekankan pentingnya keyakinan, seperti yang dilakukan oleh Geertz, akan berdampak pada penegasian agama lain yang menganggap praktek atau ritual adalah juga bagian dari esensi agama. Ini sama sekali bukan kerangka berfikir antropologi.

Asad berpendapat bahwa agama dengan esensi berupa keyakinan (belief) sebenarnya adalah agama Kristen produk zaman modern yang telah mengalami privatisasi atau telah menjadi urusan individu (a modern privatised Christian). Perspektif Kristen modern tersebut tidak dapat ditarik keluar dari lingkup spesifiknya sebagai kerangka universal untuk melihat agama lain.

Bagaimana simbol bekerja

Baca Juga  Melanjutkan Perjuangan Plato dan Aristoteles Melawan Kaum Sofis 4.0

Kritik Talal Asad lainnya terhadap Clifford Geertz adalah terkait dengan pandangan bahwa simbol adalah “vehicles for meaning (kendaraan yang mengantarkan pada makna). Asad berpendapat bahwa simbol agama tidak memiliki efikasi dengan sendirinya. Yang berperan melahirkan makna dan menanamkan watak keagamaan (religious disposition) bukanlah simbol itu sendiri, melainkan kekuasaan (power). Dengan demikian, hubungan simbol dengan efeknya atau makna tidak bersifat langsung, tapi melalui intervensi atau perantara.

Terkait dengan peran kekuasaan dalam menciptakan efikasi sebuah simbol, Asad sebenarnya terpengaruh oleh Michel Foucault, filosof post-modern dari Perancis yang melihat bahwa setiap discourse (wacana) selalu terikat dengan power. Tidak ada wacana yang terlepas dari peran kekuasaan. Kekuasaan tersebut bisa berbentuk dominasi atau hegemoni, bisa juga berbentuk resistensi atau perlawanan.

Dengan mengikuti alur konsep Foucault, Asad juga berpandangan bahwa kekuasaan ada di mana-mana dalam domain agama. Kekuasaan tersebut dispersed (terpencar) dan tidak terkonsentrasi pada tangan tertentu. Ia melekat baik dalam pengetahuan agama (misalnya dalam doktrin mengenai hari pembalasan dan azab kubur), tindakan pendisiplinan yang dilakukan oleh lembaga sosial (gereja, masjid, keluarga, sekolah, dan negara) atau tindakan yang dilakukan pada fisik manusia seperti puasa, shalat, dan penebusan dosa dalam tradisi Kristen.

Asad secara khusus menunjukkan bagaimana agama Kristen pada masa lalu tidak terlepas dari kekuasaan. Asad menyebut bahwa tindakan coercion (pemaksaan) dan discipline (pendisiplinan) adalah bagian inheren dalam sejarah Kristen. Ia mengutip perdebatan antara St Augustine dengan kelompok heretik Donatist. Augustine menekankan pentingnya tindakan pemaksaan untuk menyikapi ‘penyimpangan’ kelompok Donatist. Sementara Donatist sendiri menginginkan kebebasan dalam beragama tanpa ada kontrol.

St Augustine berpendapat bahwa pikiran manusia semata tidak bisa menghantarkan pada kebenaran agama. Kekuasaan yang diterapkan oleh pemilik otoritas lah yang bisa melakukannya. Oleh karena itu, pemilik kekuasaan, menurut St. Augustine berkewajiban mengatur paham dan praktek beragama. Mereka bisa menerima doktrin atau praktek beragama tertentu dan bisa pula menolak sebagian yang lainnya yang dianggap menyimpang atau bidah.

Baca Juga  Ibnu Rusyd, Memadukan Ilmu Agama dan Metode Filosofis

Dengan mengutip polemik antara St. Agustine dan kelompok Donatis di atas, Asad menunjukkan bahwa proses pengesahan (authorizing process), yang merupakan manifestasi bagaimana kekuasaan dijalankan, sangat signifikan dalam sejarah Kristen pra modern.

Pengesahan tersebut, lanjut Asad, bahkan dapat dikatakan melekat dalam kekristenan itu sendiri. Pengesahan dilakukan terkait dengan banyak hal, seperti absah atau tidaknya klaim mukjizat, klaim tempat suci dan benda suci, dilakukan untuk menolak atau menerima ritual paganisme, untuk menentukan siapa yang layak disebut santo, untuk menentukan kelompok mana yang heretic dan mana yang tidak, dan ada dalam praktek pengampunan dosa oleh para pendeta. Singkatnya, disiplin sosial adalah bagian tak terpisahkan dari ruang beragama.

Pada periode paska reformasi Protestan, wajah agama Kristen tersebut kemudian mengalami transformasi yang radikal. Proses pengesahan sebagaimana disebut di atas diamputasi. Penggunaan kekuasaan dan pendisiplinan yang tadinya sangat melekat dengan agama paska reformasi gereja, dihilangkan. Agama akhirnya berubah menjadi urusan privat yang tidak ada urusannya dengan pemilik otoritas atau kekuasaan.

Mempertimbangkan peran kekuasaan dalam agama, oleh karena itu, tugas antropologi agama menurut Asad bukanlah sekedar melihat bagaimana simbol membawa makna. Melainkan meneliti bagaimana kekuasaan dimainkan untuk membuat sebuah simbol agama menjadi efektif, melahirkan makna, dan membentuk tradisi. Dengan kata lain, kata Asad, tugas para antropolog adalah melihat simbol agama dan simbol non agama (power) bekerja secara bersamaan dalam melahirkan makna.

Kelemahan konsep Geertz tentang antropologi agama, menurut Asad, adalah terlalu menekankan pada pencarian makna di balik sebuah simbol, tetapi mengabaikan proses diskursif (politis) dibalik terbentuknya makna itu sendiri. Pertanyaan yang tidak diajukan oleh konsep antropologi Geertz adalah: bagaimana peran kekuasaan dalam membentuk agama dan apa kondisi sejarah (ideologi, institusi, dan pergerakan) yang menciptakan doktrin dan praktek agama?

Bagi Asad, inilah pertanyaan-pertanyaan yang harus dijawab bagi siapa saja yang melakukan penelitian antropologi terhadap agama.

* Alumni PCIM Mesir dan anggota PCIM Amerika Serikat

Muhamad Rofiq
22 posts

About author
Alumni PCIM Mesir dan saat ini anggota PCIM USA
Articles
Related posts
Falsafah

Deep Ecology: Gagasan Filsafat Ekologi Arne Naess

4 Mins read
Arne Naess adalah seorang filsuf Norwegia yang dikenal luas sebagai pencetus konsep “ekologi dalam” (deep ecology), sebuah pendekatan yang menggali akar permasalahan…
Falsafah

Sokrates: Guru Sejati adalah Diri Sendiri

3 Mins read
Dalam lanskap pendidikan filsafat, gagasan bahwa guru sejati adalah diri sendiri sangat sesuai dengan metode penyelidikan Sokrates, filsuf paling berpengaruh di zaman…
Falsafah

Homi K. Bhabha: Hibriditas, Mimikri, dan Ruang Ketiga

4 Mins read
Homi K. Bhabha, salah satu tokoh terkemuka dalam teori pascakolonial, berkontribusi membangun wacana seputar warisan kolonialisme secara mendalam, khususnya melalui konsepnya tentang…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

This will close in 0 seconds