Falsafah

Apa Epistemologi dari Kajian Islam di Kampus?

3 Mins read

Secara historis, sejak IAIN berdiri di Indonesia, salah satu ciri khas matakuliahnya adalah kajian tentang keislaman. Bagi alumnus Institut, universitas, dan sekolah tinggi baik negeri maupun swasta, seolah tidak asing mendengat mata kuliah Ilmu Al-Qur’an, Ilmu Hadis, Teologi, Akhlak Tasawuf, Sejarah Peradaban Islam, Tafsir, Hadis, Usul Fikih, dan Fikih. Atau bahkan 20 tahun ke belakang, sering pula diajarkan mata kuliah Metodologi Studi Islam.

Apapun program studinya, mata kuliah tersebut pasti harus diampu oleh mahasiswa. Bukan hanya karena tuntutan kurikulum, ia menjadi ciri khas perguruan tinggi keagamaan dengan perguruan tinggi umum.

Atau dengan kata lain, pembeda antara program studi yang dibina oleh Kemenag dengan yang dibina oleh Kemendikbud. Mata kuliah tersebut, bukan tanpa pertimbangan. Dalam desainnya terdapat sisi epistemologi yang dibangun.

Melihat Kembali Makna Epistemologi

Istilah ini identik dengan kajian filsafat. Epistemologi menjadi salah satu dari tiga kajian filsafat, selain ontologi dan aksiologi. Epistemologi secara bahasa berarti cabang ilmu filsafat tentang dasar-dasar dan batas-batas pengetahuan (KBBI, 2022).

Epistemologi dalam kamus Webster New International Dictionary daring, epistemology didefinisikan sebagai studi atau teori mengenai sifat dan dasar pengetahuan terutama dengan mengacu pada batas dan validitasnya. Epistemologi disebut pula sebagai teori pengetahuan.

Mungkin masih banyak pemikir yang membahas makna ini dari etimologis dan terminologis. Namun, mereka sepakat bahwa epistemologi berkaitan dengan dasar (sumber), batas, atau juga dihubungkan dengan cara untuk memperoleh pengetahuan.

Karena, batasan dapat dikaitkan dengan cara tertentu untuk memperoleh kebenaran sesuai dengan jenis pengetahuan. Bisa filsafat, ilmu, atau mungkin mistis, sebagaimana pendapat Ahmad Tafsir (2007).

Mata kulian keislaman tak terlepas dari dasar dan batasan. Ilmu Al-Qur’an misalnya, ia punya dasar yang kuat. Dasar terkait teologis, sejarah, sosiologis, juga pemikiran.

Baca Juga  Inilah Epistemologi Al-Jabiri Pendobrak Kejumudan Muslim

Batasannya secara an sich berkenaan dengan teori Al-Qur’an, teks Al-Qur’an, instrumen ilmu, penafsiran, juga produk yang berkenaan dengannya. Secara epistemologis, ia berada dalam ruang kajian yang dibidik oleh dasar dan batasan.

Tentunya, secara umum batasan keilmiahan seperti logis (dalam ilmu), juga empiris. Empiris ini berarti ada bukti kebenarannya baik melalui teks sebelumnya ataupun hasil riset yang teruji. Begitu pun, dengan mata kuliah keislaman lainnya.

Dasar atau Sumber Pengetahuan

Islam tidak hanya berdimensi teologis juga pengalaman. Ia memiliki ciri khas dalam pemikiran. Buktinya, sampai saat ini banyak sekali sumber-sumber rujukan kajian keislaman baik dalam cetakan maupun flatform elektronik.

Sisi pemikiran ini berkaitan dengan pentingnya ilmu dalam beragama. Tauhid dan implementasi kehidupan tidak berarti bila tidak dikuatkan dengan ilmunya. Sehingga, mata kuliah ini berdasar pada seluruh dimensi pemikiran dalam Islam.

Dasarnya bisa berkaitan dengan teks ajaran tentang pentingya ilmu dipelajari. Atau bisa pula untuk mengajegkan kembali tatanan ilmu berdasarkan referensi sebelumnya. Dasar ini bisa merujuk pula pada kaitan satu ilmu dengan lainnya.

Sebab, tidak bisa dimungkiri, contohnya ilmu fikih, ia berada dalam ruang dasar teks ajaran (Al-Qur’an dan hadis), pendapat ulama, bahasa Arab, sejarah, sosiologis masyarakat, juga dengan teknologi (apabila ia berhubungan dengan pengukuran).

Dasar kelogisan terdapat pada kaitan antara satu pernyataan dengan pernyataan lain. Pembahasan ilmu pasti memuat pernyataan ilmiah, yang kalau dilihat lebih dalam, ia dikaitkan dengan pernyataan lainnya.

Hubungan ini mengajegkan sebuah pernyataan logis dalam satu objek kajian, atau yang biasa disebut koherensi. Kita biasa menemukan hal ini dalam beberapa teks pada sumber rujukan tertentu.

Pada mata kuliah usul fikih, teori tentang perintah (al-amr), tidak an sich pada maknanya. Ia berkaitan dengan kelogisan pernyataan bahasa (Arab), rujukan ajaran Islam, dan pendapat ulama yang berbeda antara satu dengan lainnya.

Baca Juga  Dekonstruksi Islam Arkoun: Kritik Keras Atas Ortodoksi Islam
***

Kajian tentang dasar pun berkaitan dengan sumber. Setiap ilmu pasti ada sumbernya. Secara filosofis, sumbernya adalah logis dan empiris. Secara fakta kajian ketika ilmu tertentu dibahas, sumbernya berasal dari dua hal, yaitu kewahyuan dan kemanusiaan.

Kewahyuan merujuk pada ajaran Islam (Al-Qur’an dan Hadis). Rujukan Al-Qur’an pasti benar karena kalam Allah Swt, begitu pula pernyataan Nabi Saw dalam hadis mengandung kebenaran. Dari dua rujukan ini muncul bahan kajian penting untuk dibahas.

Sumber yang sifatnya kemanusiaan merupakan produk pemikiran manusia terhadap sumber kewahyuan, hasil ijtihad, juga pernyataan sebelumnya. Sumber ini dipandang relatif kebenarannya dibandingkan dengan rujukan utama ajaran, karena ia adalah hasil dari pengerahan kemampuan manusia untuk memahami dan mendalami atau memutuskan hakikat dari bahan kajian.

Sehingga antara satu teks dengan teks lainnya ada yang saling mendukung, menjelaskan, bahkan ada yang menentang. Hal ini sudah menjadi tradisi ilmiah dalam pemikiran keislaman. Kita bisa menemukannya dalam ikhtilaf dalam fikih.

Dalam hal dasar atau sumber, mata kuliah keislaman diarahkan pada sisi kewahyuan dan kemanusiaan. Kewahyuan dan kemanusiaan menjadi landasannya. Sehingga, bahan kajian yang disajikannya memuat turunan konsep dari kewahyuan dan kemanusiaan.

Batasan Pengetahuan

Setiap ilmu memiliki bahan kajian. Isinya memuat materi-materi yang sesuai dengan konteks ilmu. Ilmu fikih misalnya, memiliki kajian yang berbeda dengan ilmu akidah. Ilmu tafsir memiliki kajian yang berbeda dengan ilmu hadis. Juga ilmu lainnya, masing-masing memiliki batasan tertentu. Meskipun, konsep integrasi antar ilmu sedang digalakan. Namun tetap, bahan kajiannya memiliki distingsi dengan ilmu lain.

Batasan ilmu tidak hanya pada materi. Ia berkaitan dengan prinsip dalam ilmu, yaitu logis dan empiris. Kelogisan bahan kajian diuji berdasarkan teori. Sebab teori menjadi pernyataan sesuatu yang telah diuji oleh pakar bukan sekedar pernyataan bisa.

Baca Juga  Kritik Talal Asad Terhadap Sekulerisme

Empiris pada batasan pengetahuan dibuktikan dengan kenyataan yang ada di lapangan, atau real of the text, bersifat nyata dalam teks sebelumnya. Wallahu A’lam.

Avatar
38 posts

About author
Pembelajar Keislaman, Penulis Beberapa buku, Tim Pengembang Kurikulum PAI dan Diktis
Articles
Related posts
Falsafah

Deep Ecology: Gagasan Filsafat Ekologi Arne Naess

4 Mins read
Arne Naess adalah seorang filsuf Norwegia yang dikenal luas sebagai pencetus konsep “ekologi dalam” (deep ecology), sebuah pendekatan yang menggali akar permasalahan…
Falsafah

Sokrates: Guru Sejati adalah Diri Sendiri

3 Mins read
Dalam lanskap pendidikan filsafat, gagasan bahwa guru sejati adalah diri sendiri sangat sesuai dengan metode penyelidikan Sokrates, filsuf paling berpengaruh di zaman…
Falsafah

Homi K. Bhabha: Hibriditas, Mimikri, dan Ruang Ketiga

4 Mins read
Homi K. Bhabha, salah satu tokoh terkemuka dalam teori pascakolonial, berkontribusi membangun wacana seputar warisan kolonialisme secara mendalam, khususnya melalui konsepnya tentang…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

This will close in 0 seconds