Melihat statement Prof. Dr. Haedar Nashir, M.Si, Ketua Umum PP Muhammadiyah melalui flyer yang bertuliskan, “Ada di dalam Muhammadiyah, tetapi tidak paham Muhammadiyah. Bahkan boleh jadi ada yang sudah jadi pemimpin lama, tapi tidak paham betul apa sesungguhnya esensi, hakikat, dan hal-hal mendasar dari ideologi itu,” membuat penulis semakin bertanya-tanya.
Apa Muhammadiyah tak lagi Bermuhammadiyah, Pak Haedar? Sebuah tanya yang sebenarnya sedari dua tahun lalu penulis pertanyakan. Sejak himbauan maklumat larangan Shalat Id di tahun 2019 lalu, yang di mana banyak warga Muhammadiyah yang seakan abai dengan perintah atasannya.
Lebih dari seabad, tak membuat Muhammadiyah surut. Namun terus berlanjut membangun manusia dan juga bangsa, melalui amal usaha yang dipunya. Bahkan akhir-akhir ini, baru saja mendirikan sekolah di beberapa negara, belum lagi komitmennya dalam membantu mengatasi pandemi Covid-19, membanggakan memang.
Tetapi, Prof. Haedar yang sangat penulis kagumi personalnya serta kepemimpinannya setelah Prof. Din Syamsuddin ini, sering sekali menegaskan dan mengingatkan ideologi Kemuhammadiyahan dari Persyarikatan yang beliau nahkodai.
Tentunya, apa yang beliau sampaikan pastilah ada sebabnya. Penulis menduganya seperti itu. Di tengah kesuksesan dan kebesaran nama Muhammadiyah, dengan berbagai prestasi dan perannya, namun mungkin, sekali lagi mungkin, hanya dugaan, rapuh di dalam tubuhnya.
Apakah iya? Di tengah era digital dengan kemajuan yang dicapai, Muhammadiyah kropos di dalamnya? Coba kita analisa Bersama. Tentunya, analisa bisa benar bisa juga salah. Karena penulis hanya menduga, serta menjadi sebuah keresahan tersendiri demi rasa cinta kepada Persyarikatan.
Politik, Jabatan, dan Ideologi Muhammadiyah
Sejak dahulu, Muhammadiyah menegaskan tidak akan terjun bebas ke dalam ranah politik praktis, apalagi sampai mengincar jabatan strategis di Pemerintahan.
Namun, sering sekali kita jumpai kegiatan-kegiatan Persyarikatan, lebih memilih mengundang politisi daripada praktisi yang ahli dibidangnya. Memang, wakil rakyat yang diundang kebanyakan masih kader ataupun warga Muhammadiyah.
Namun, terkadang yang plot hanya satu dua partai. Padahal, kader Muhammadiyah banyak di berbagai partai. Apa Muhammadiyah identik dengan satu partai? Atau partai tersebut benar-benar berpihak pada Persyarikatan atau hanya dibuat bantu loncatan?
Muhammadiyah tidak alergi dengan partai A, B, atau C, termasuk juga penulis. Namun, sebagaimana yang sering disampaikan oleh Prof. Haedar, politik Muhammadiyah adalah politik kebangsaan. Tidak memihak salah satu partai, apalagi memakai nama Muhammadiyah demi melenggang duduk di kursi dewan.
Muhammadiyah bisa mandiri dengan kekuatan jamaahnya. Maka seharusnya, tidak berharap dan bergantung kepada bantuan dari kader atau warganya yang sedang jadi anggota DPR. Kalaupun mereka memberi, wajar saja karena merasa bagian dari rumah besar bernama Muhammadiyah. Namun jika Muhammadiyahnya yang bergantung, maka akan mereduksi ideologi Muhammadiyah.
Lalu jabatan. Ketika kita sebagai kader ataupun pimpinan sudah silau akan jabatan, akan lebih mudah hilang kepahaman akan prinsip dari Muhammadiyah. Ingin jadi Menteri, Komisaris, dan lainnya, memang hak setiap pribadi masing-masing.
Tetapi ketika menggapainya karena memiliki posisi di Persyarikatan, maka sama halnya dengan yang sebelumnya kita bahas, yakni hakikat Bermuhammadiyah.
Sehingga yang ada pikiran kita hanya ada materi dan cenderung untuk memperkaya diri, padahal pendahulu kita seperti Pak AR Fachruddin sudah memberikan teladan bagaimana tentang kesederhanaan.
Tentunya hal ini akan sangat miris ketika sudah terjadi di dalam tubuh Persyarikatan ataupun ortom, dari tingkat Ranting hingga Pusat.
Maka tugas kita bersama adalah menjaga agar semangat Khittah Perjuangan, Ideologi, serta Kepribadian Muhammadiyah tetap terjaga. Tidak terpengaruh jabatan, tidak dicampur baur politik praktis, sehingga Muhammadiyah mampu bertahan karena ada pondasi kuat di dalamnya, yakni ideologi Kemuhammadiyahan.
Kader Berijazah dan Tanpa Ijazah
Selain itu, pertanyaan selanjutnya adalah sukseskah perkaderan di Muhammadiyah dalam mencetak kader yang kuat dalam segi ideologinya? Sedari ortom, kita sering dan aktif mengikuti kegiatan perkaderan.
Taruna Melati di Ikatan Pelajar Muhammadiyah (IPM), Darul Arqom dan Baitul Arqom di Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah (IMM) dan Pemuda Muhammadiyah, serta lainnya. Namun apakah hanya syahadah/sertifikat yang kita dapat? Atau benar-benar ilmu dan keteguhan hati dalam Bermuhammadiyah? Perkaderan secara formalitas memang harus dan penting dilakukan, guna menjaga keberlangsungan organisasi yang benar-benar memegang teguh ideologi.
Tapi, tak sedikit pimpinan di tingkat ranting bahkan mungkin sampai wilayah atau pusat tidak pernah mengenyam perkaderan. Tak kenal ortom Muhammadiyah, tetapi bisa jadi pimpinan.
Memang sah-sah saja, namun apakah bisa menjamin yang seperti itu mampu menjaga kepribadian Persyarikatan? Atau hanya dijadikan batu loncatan?
Bahkan tak jarang ada yang dulunya aktif di organisasi lain, tanpa pernah merasakan berorganisasi di ortom bisa jadi pimpinan Muhammadiyah, ajaib! Mungkin Muhammadiyahnya karena faktor keturunan atau lingkungan, namun selayaknya kader-kader otentik yang lebih ideal yang memimpin Muhammadiyah ataupun amal usahanya.
Sehingga ia tau seperti apa Muhammadiyah, tau sejarahnya, mengerti kepribadiannya, memahami ideologinya. Bukan hanya hafal marsnya lalu bisa jadi ketua, maka wajar jika apa yang disampaikan Prof. Haedar mungkin benar adanya.
Tentunya ini menjadi PR besar. Jangan sampai Muhammadiyah besar badannya, namun kropos tulangnya. Hal seperti ini semoga tak terjadi, jika sudah terjadi, maka tugas kita bersama terutama pimpinan untuk merapikannya.
***
Muhammadiyah lahir dari sebuah pemikiran yang berasal dari pikiran KH. Ahmad Dahlan, didirikan dengam hati yang ikhlas. Beliau jadi pimpinan lebih banyak mengeluarkan, bukan malah meminta fasilitas.
Dari situlah semangat ta’awun, spirit Al Ma’un dalam rangka amar ma’ruf nahyi munkar terbangun. Ribuan sekolah, ratusan rumah sakit, berdiri atas dasar memberi pada negeri dari pemahaman ayat suci. Namun, semua itu bisa ternoda ketika ada satu dua orang yang menduduki kepemimpinan, kemudian punya kepentingan, dan memanfaatkan Persyarikatan.
Tahun 2022 insyaAllah akan dilaksanakan Muktamar yang sebelumnya tertunda, tanpa maksud menjagokan siapa, karena tak punya hak suara.
Tetapi, jika nanti tak terpilih kembali, kepemimpinan Prof. Haedar memang berat. Namun beliau mampu menghadapi dengan arif dan bijak, serta banyak meninggalkan jejak (legacy). Keresahan Prof. Haedar melalui statement-nya tersebut, membuat kita semua harus mengoreksi diri kembali dalam Bermuhammadiyah.
Tidak merasa paling, tidak merasa berjasa. Tapi lebih banyak bertanya, sudah sampai dimana Kemuhammadiyahan kita seperti tulisan penulis beberapa waktu lalu.
Karena ketika kita merasa paling Muhammadiyah, akan semakin terlihat kita jauh dari Muhammadiyah. Hanya mementingkan kepentingan diri, namun memakai nama organisasi. Oleh karena itu, mari bersama membangun Muhammadiyah bukan hanya secara fisik saja.
Tetapi juga secara ideologi, sering-sering mengadakan kegiatan perkaderan agar semakin kuat pondasi kita dalam Bermuhammadiyah. Bukan sering mengadakan kegiatan dengan bintang tamu anggota dewan, bukan bergantung pada partai politik melalui bantuan. Muhammadiyah dari lahir mampu mandiri melalui keikhlasan hati, Muhammadiyah mampu membangun lewat kedermawanan para warganya.
Editor: Yahya FR