Membahas persoalan pendidikan dan realitas keumatan di Indonesia merupakan pembahasan yang seakan tidak pernah akan ada habisnya. Betapa tidak, karena cakupan dimensinya selalu terkait dengan dimensi yang lain, seperti dimensi ekonomi, budaya, sosial, agama, termasuk juga di dalamnya dimensi politik. Semua dimensi tersebut memiliki pengaruh yang signifikan dalam membentuk kerangka dan pola, terutama di dalam kerangka dan pola pendidikan yang muncul.
Bukan berarti merupakan hal yang salah dengan fenomena tersebut. Tetapi yang perlu diperhatikan adalah bagaimana seharusnya dunia pendidikan mampu menjadi solusi atas berbagai persoalan yang ada di berbagai aspeknya. Bukan justru pendidikan malah menjadi sumber masalah baru yang kontroversial.
Oleh karena itu, dari sanalah seharusnya pendidikan dijalankan dengan arah tujuan yang tepat, sehingga menghasilkan pola pelaksanaan pendidikan yang tepat pula. Indikasinya akan melahirkan generasi lulusan yang solutif atas berbagai persoalan dan mencerahkan bagi kehidupan.
Problem Pragmatisme Pendidikan
Persoalan lain yang hari ini sering muncul di dalam dunia pendidikan adalah pendidikan hanya diarahkan pada program yang terlalu materialistis dan pragmatis. Bukan salah memang, kepentingan pragmatis dan materialistis ada di dalam dunia pendidikan, tetapi menjadi masalah, jika kedua hal itu menjadi core values di dalam pelaksanaan pendidikan.
Core values pendidikan yang seharusnya adalah mewujudkan insan manusia yang sempurna baik lahir maupun batin dapat melenceng arahnya, jika arah tujuan pendidikan hanya sekedar berorientasi pada dua hal itu.
Pendidikan adalah dunia yang menjadi wahana bagi peserta didik (generasi) untuk (1) belajar dan (2) melatih diri. Lebih lanjut dengan adanya kedua kegiatan inti tersebut di dalam dunia pendidikan diharapkan akan menghasilkan lulusan yang cerdas dalam berbagai ilmu dan terampil dalam mengamalkan ilmu tersebut. Hal ini yang nantinya akan sangat bermanfaat dalam upaya penyelesaiaan berbagai persoalan yang muncul dalam berbagai aspek kehidupan manusia. Entah itu persoalan sosial, ekonomi, budaya, agama maupun politik di negeri ini.
Prinsip Cinta Ilmu
Di lain sisi, pelaksanaan pendidikan bukanlah bagaimana seorang pendidik mampu membuat paham akan suatu ilmu, tetapi bagaimana seorang pendidik mampu menamamkan rasa cinta terhadap ilmu. Karena, akan membawa dampak siswa cinta pada dunia keilmuan.
Implikasinya siswa belajar tanpa paksaaan, membaca tanpa disuruh, dan apabila mereka berhasil, mereka akan merasa bahagia dengan hasil yang diraihnya. Bukan kekecewaan atau kesedihan apabila materi dan pekerjaan tidak tercapai karena terlalu pragmatis dan materialistis.
Tajamnya ketimpangan yang terjadi sekarang ini di dalam dunia pendidikan, tentu harus segera ditemukan solusinya. Sebagai contoh persoalan itu adalah terjadinya dikotomi antara sesuatu yang materialistis dan trasenden dalam pendidikan, berpisahnya antara pemahaman lahir dan batin, pendidikan yang kurang mengindahkan tata moral dan nilai, kepentingan politik terlalu tajam di dalam pendidikan, serta perilaku hilangnya budaya kearifan lokal dengan budaya kebaratan (westernisasi).
Indonesia yang kaya dengan berbagai sumber daya, seolah hanya sebuah sebutan saja yang tidak pernah berujung pada pensejahteraan bagi masyarakatnya. Hal ini mungkin, karena selama ini ada yang salah dalam pola pendidikan yang dilaksanakan di negeri ini.
***
Fazlur Rahman mengatakan pendidikan adalah pintu gerbang awal generasi memasuki sebuah peradaban, dan pendidikan adalah sebagai tempat penemuan atas berbagai solusi dari berbagai persoalan. Maka hendaknya mampu berperan dengan baik dan mampu menjadi pusat peradaban sebuah negara.
Apabila kita melihat di negara-negara maju, betapa pendidikan selalu menjadi pusat peradaban dan penemuan solusi di negara itu. Maka, nampaknya di Indonesia perlu ada semacam kerangka pendidikan atau “epistemologi pendidikan” yang tepat untuk diterapkan agar terwujud generasi yang mencerdaskan dan solutif bagi berbagai persoalan.
Agus Purwanto, D.Sc salah seorang dosen di ITS Surabaya, lulusan Universitas Hiroshima Jepang pernah menyampaikan, bahwa kerangka keilmuan yang diterapkan di dalam dunia pendidikan Indonesia dirasa kurang tepat. Hal ini disebabkan karena lulusan yang dihasilkan hanya bisa menjadi pemakai suatu produk, belum bisa menjadi pembuat suatu produk. Dengan demikian, hal ini yang menyebabkan kenapa negara Indonesia menjadi pasar yang sangat menguntungkan bagi produk-produk impor dari berbagai negara. Karena hanya baru bisa menjadi pemakai belum bisa menjadi pembuat.
Contoh sederhananya hp, laptop, televise, dan sepeda motor, hampir kebanyakan didominasi oleh produk luar negeri. Kita akrab dan sangat dekat dengan barang-barang di atas, tetapi kita baru bisa menjadi pemakai belum pernah tahu bagaimana cara kerjanya, bagaimana cara membuatnya, apalagi sampai mengetahui bagaimana menciptakannya. Paling jauh kita hanya bisa menjadi perakit dan pembelajar saja, belum bisa menjadi pembuat dan pencipta.
Sebuah Paradigma Baru Pendidikan
Inilah persoalan sederhana yang rasanya sangat perlu menjadi fokus di dalam dunia pendidikan. Pendidikan yang memiliki kerangka epistemologi untuk bisa membuat, menciptakan, dan menemukan sebuh temuan baru, dan seperti itulah seharusnya orientasi kurikulum yang diterapkan di dalam dunia pendidikan. Paradigma ini yang nampaknya menyebabkan dunia pendidikan di Indonesia masih kalah saing bahkan dengan negara tetangga sendiri sekalipun seperti Malaysia dan Singapura.
Selanjutnya, dunia pendidikan harus diorientasikan pada tumbuhnya kesadaran akan pentingnya nilai tambah suatu produk (baca: sumber daya). Sebagaimana disampaikan oleh Prof. B.J. Habibie (Presiden RI ke-3). Beliau mengatakan bahwa, “Negara kita menjadi pengekspor barang mentah dengan jumlah yang sangat banyak dengan harga murah, tetapi di lain sisi kita membeli barang dari luar negeri (impor), meskipun dengan jumlah sedikit tetapi dengan harga yang mahal”. Kemudian Beliau melanjutkan, “Kenapa terjadi perbedaan jumlah dan harga yang demikian? Karena di sana ada pengolahan nilai tambah barang yang berbeda. Dan nilai tambah itu dibentuk di dalam pendidikan”.
Melihat ungkapan-unkapan di atas maka, Konsep Pendidikan yang Menggerakkan yang seharusnya menjadi bentuk trasnformasi dunia pendidikan kita hari ini. Pendidikan yang berorientasi pada sikap hidup untuk mampu menjadi pencipta dan pembuat, serta mampu menambah nilai yang tepat guna suatu barang (kemanfaatan) dalam proses pengentasan berbagai persoalan yang ada.
Hasil akhirnya akan tercipta lulusan insan manusia yang berkarakter, beradab dan cerdas dengan ilmunya, serta terampil dalam mengamalkan ilmu tersebut di masyarakat. Sehingga mampu menjadi solusi dari berbagai persoalan, termasuk di dalam persoalan ekonomi, politik, budaya, agama, kenegaraan, teknologi dan pasti persoalan yang lainnya.
Itulah hakikat pendidikan yang solutif, atau dalam istilah penulis disebut sebagai pendidikan yang menggerakkan. Pendidikan yang mampu membebaskan manusia dari belenggu kebodohan dan mampu keluar dari berbagai belenggu persoalan kehidupan. Termasuk pendidikan yang nantinya sangat tepat diterapkan di tengah-tengah masyarakat majemuk seperti di Indonesia.
Editor: Yahya FR