Setiap tahun ketika memasuki bulan desember, tepat pada tanggal 25. Kita selalu dipersoalkan dan dihadapkan dengan masalah dan konsekuensi mengucapkan selamat Natal dari seorang Muslim kepada non-Muslim. Porsoalan ini tidak pernah selesai, ibarat air laut, muaranya tidak tahu entah di mana mau ke mana.
Oleh sebab itu, tulisan ini mencoba menginformasikan masalah ucapan selamat Natal dalam pandangan pluralisme. Ini penting, mengingat kita negera Indonesia terdiri dari bermacam-macam budaya, dan keberagaman. Sehingga seyogyanya kita saling menghormati keberagaman itu.
Membaca Pluralisme Sosial dan Selamat Natal
Dalam kamus webster’s Revised Unabridged Dictionary, Pluralisme Sosial diartikan suatu kondisi sosial yang meliputi keberagaman budaya, etnis, ras, bahasa, suku dan sebagainya.
Mereka yang memiliki ciri khas masing-masing bersedia untuk mempertahankan ciri khasnya itu, dan bersedia bercimpung dalam masyarakat yang majemuk. Di sisi lain, tepatnya pada tanggal 28 juli 2005, MUI menerbitkan fatwa yang melarang pluralisme.
Dalam fatwa tersebut, “Pluralisme Agama” sebagai objek persoalan yang ditanggapi, didefenisikan sebagai” suatu paham yang mengajarkan bahwa semua agama adalah sama dan karenanya kebenaran setiap agama adalah relatif. Oleh sebab itu, setiap pemeluk agama tidak boleh mengklaim bahwa agamanya saja yang paling benar, sedangkan agama yang lain salah.
Sampai saat sekarang ini, sependek pengetahuan penulis, belum ada fatwa mengenai Pluralisme Sosial. Padahal menurut penulis, ucapan selamat Natal oleh Muslim kepada non-Muslim itu sebagai hubungan sosial.
Perbuatan baik (Ihsan) kepada siapa saja itu tidak dilarang, selama mereka tidak memerangi dan mengusirnya dari negerinya. Mengucapkan selamat Natal merupakan salah satu bentuk perbuatan baik Muslim kepada orang non-Muslim.
Menyikapi Pluralitas di Indonesia
Suka tidak suka, kenyataanya, Indonesia ialah pluralitas. Meskipun secara menyeluruh hampir semua penduduknya beragama Islam. Pluralitas berlangsung tidak hanya masalah berlainan agama dan budaya, tetapi jauh ke bawah. Satu agama yang sama, pun juga berlangsung perbedaan ideologi dan tafsir atas ajaran agama secara berlainan.
Adapun yang disampaikan oleh Buya Syafi’i, sesungguhnya dalam hal ajaran iman, Islam memang satu. Dalam artian, Islam ditegakkan di atas pondasinya tauhid yang jelas dan tegas. Tetapi sebagai ekspresi kultural, Islam di Indonesia muncul dalam keanekaragaman wajah.
Keanekaragaman ini sebagai akibat yang logis dari hasil dialogis perjalanan panjang sejarah Indonesia. Dan itu harus diakui sebagai suatu hal yang alamiah. Akan tetapi, yang perlu dijaga ialah keanekaragaman ekspresi keislaman tersebut. Jangan sampai merusak bangunan tauhid dan persaudaraan universal sebagai suatu idealisme.
Pandangan di atas mengindikasikan bolehnya umat Islam menjalin hubungan yang baik dengan penganut agama lain. Bukan hanya komunitas non-Muslim, tetapi juga dengan komunitas-komunitas agama lainnya.
Hubungan Muslim dan Non Muslim Dua Tahun Terakhir
Dua tahun terakhir ini, kita masih bergerak secara terbatas untuk mengurangi penyebaran virus corona. Banyak pelajaran yang bisa diambil, salah satunya adalah hubungan sosial Muslim dan non-Muslim. Fakta nyata di lapangan semuanya saling bahu membahu. Muslim menginfakkan sebagai hartanya untuk mereka non-Muslim yang tetap di rumah, begitupun sebaliknya, agar mereka jangan keluar rumah selama pandemi.
Kemudian juga rumah ibadah; masjid dan gereja banyak digunakan untuk mereka yang terpapar virus. Betul apa yang dikatakan Charles Kimball, seorang ahli di bidang teoritikus agama-agama dunia, dia memberikan pandangan ialah; agama ibarat mata uang, satu permukaan yang mampu betul- betul menjadi penempel sesama anak manusia. Namun pada saat berbarengan, agama dapat menjadi malapetakan (evil) bagi umat manusia.
Agama menjadi perekat solidaritas pada saat terjadi musibah atau tempat mengadu, berkeluh kesah bagi tiap individu pada Sang Pencipta bagi yang meyakininya. Agama dapat menjadi bencana, tatkala ia dijanjikan alat kekuasaan sekaligus manipulasi politik oleh elit terhadap kekuasaannya.
Mengucapkan Selamat Natal Dapat Merusak Iman?
Pengalaman pribadi, saya sering mengucapkan selamat Natal kepada dosen-dosen senior saya yang menjadi rektor. Sampai sekarang “alhamdulillah” saya tidak menjadi rektor. Ini jelas hubungannya, bahwa mengucapkan selamat Natal tidak mempengaruhi jabatan kita, apalagi keimanan.
Permasalahan bagi umat Islam saat ini, ketika mengucapkan selamat Natal, dirinya pun ikut berubah secara iman menjadi non- Muslim. Ini yang berbahaya, padahal ucapan ialah keadaan yang tampak dari luar gambaran hubungan kepentingan umum dan hadiah.
Perbuatan baik terhadap serupa itu juga sangat diapresisasi dalam doktrin Islam. Misalnya, sebagaimana tertuang di dalam Al-Qur’an surah al-Baqarah: 83, an- Nahal: 90, dan al-Mumtahanah: 8. Namun, pada ayat ayat tersebut menyampaikan PR supaya berhati-hati dalam memberikan ucapan selamat Natal, agar tetap dalam koridor dan tidak keluar dari syariat Islam.
Dalam konteks pluralisme atau interaksi sosial tersebut, Nabi kerab menerima dan memberi hadiah kepada non-Muslim. Seperti disebutkan oleh Ahmad dan Tirmidzi, bahwasannya “memberi hadiah untuk non-Muslim termasuk pekerjaan mulia”.
Sementara Syekh Yusuf al- Qardhawi berkomentar, tentang diperbolehkannya mengucapkan selamat Natal. Baginya, ini adalah bagian etika baik kepada sesama manusia. Umat non-Muslim merupakan patner kita, dalam kebaikan. Non-Muslim yang baik tidak akan mengangu orang Muslim, begitu juga Muslim yang baik tidak akan mengangu non-Muslim.
Wallahu a’lam
Editor: Saleh