Tafsir

Apakah Prinsip “Konsen” Dikenal dalam Islam?

4 Mins read

Suatu ketika Tuhan bertanya kepada seluruh makhluk mengenai siapa diantara mereka yang berkenan untuk menanggung amanat suci selaku wakil diri-Nya (Q.S. Al-Ahzab [33], 72). Tidak satupun diantara langit, gunung, dan Bumi yang siap. Mereka khawatir tidak akan mampu untuk mengembannya. Bagi mereka tugas itu terlampau berat.

Ternyata ada satu golongan yang siap memikul. Mereka tidak seluas langit, tidak setegak gunung dan tidak sebesar Bumi. Namun mereka memiliki pengetahuan yang hanya dimiliki mereka dan Sang Pemberi pengetahuan itu. Meskipun demikian mereka ini tetap disebut-Nya ‘zalim dan sangat bodoh’ (Q.S. Al-Ahzab [33], 72). Mereka itulah manusia.

Epoch yang tercatat dalam Al-Qur’an itu menunjukkan suatu proses negosiasi antara Tuhan dan manusia. Di mana Tuhan memberi kesempatan bagi setiap makhluk untuk menyatakan kesediaan, persetujuan, sebelum suatu perjanjian dipertalikan antara umat manusia dan diri-Nya.

Sejatinya kisah itu menunjukkan bahwa Tuhan Maha Kuasa, namun ia juga Maha Bijaksana dan Maha Penyayang. Kekuasaan-Nya tidak menjadikan dirinya congkak untuk secara mutlak mengatur hidup manusia. Melainkan pengaturan itu dilakukan dalam dialog yang melahirkan kesepakatan bersama antara diri-Nya dan manusia.

Prinsip Konsen dalam Islam

Sejarah konsen manusia itu menjadi bukti bahwa telah diberlakukan oleh Tuhan suatu hukum kesediaan, persetujuan atau keridhoan yang menghasilkan halal atau sah perjanjian antara semua makhluk. Demikian itu misalnya dinyatakan dalam hukum jual beli yang tercantum pada Q.S. An-Nisa [4], 29 sebagai berikut:

“Wahai orang-orang yang beriman! Janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil (tidak benar), kecuali dalam perdagangan yang berlaku atas dasar suka sama suka di antara kamu. Dan janganlah kamu membunuh dirimu. Sungguh, Allah Maha Penyayang Kepadamu.”

Kerelaan yang setara diantara penjual dan pembeli itu merupakan suatu penghargaan pada individualitas yang telah Tuhan anugerahkan. Individualitas yang mengandung subjektivitas atau kemampuan untuk menyadari pilihan dan kemudian memutuskan diantara pilihan. Itulah salah satu rahmat Tuhan yang begitu luar biasa.

Baca Juga  Konsep Penciptaan Perempuan Menurut Para Mufassir

Tuhan sendiri memperingatkan bahwa jika syarat kerelaan atau ‘suka sama suka’ itu tidak dipenuhi, maka sesungguhnya manusia sedang ‘membunuh’ dirinya (perhatikan kalimat ‘Dan janganlah kamu membunuh dirimu’). Sebabnya, mereka mengingkari individualitas dengan menjadikan manusia sekedar objek mati yang tidak memiliki kehendak bebas.

Hal yang sama dapat berlaku dalam pemerkosaan. Pelaku yang memaksakan terjadinya hubungan itu dihukumi bersalah. Sedangkan, korban yang tidak menghendaki dan karena kelemahan pada diri sehingga tidak berdaya atas kejadian itu adalah korban yang harus diangkat dan dilindungi.

Jangan sampai ini disalahartikan. Meskipun dua sejoli telah suka sama suka, mereka tetap tidak dapat melangsungkan hubungan seksual begitu saja. Sebab, hubungan seksual di luar nikah itu mengabaikan dua persetujuan lain yang telah diatur. Persetujuan itu antara lain oleh wali si perempuan dan oleh Tuhan semesta alam.

Pun pasca menikah jangan sampai dilupakan bahwa ada pula suatu etika pergaulan yang berlaku di antara suami dan istri. Etika itu, lagi-lagi, meliputi konsen di antara mereka. Tidak diperkenankan terdapat pemaksaan sekalipun mereka sudah diikat dalam pernikahan.

“Wahai orang-orang yang beriman! Tidak halal bagi kamu mewarisi perempuan dengan jalan paksa….Dan bergaullah dengan mereka menurut cara yang patut. Jika kamu tidak menyukai mereka (maka bersabarlah) karena boleh jadi kamu tidak menyukai sesuatu, padahal Allah menjadikan kebaikan yang banyak padanya.” (Q.S. An-Nisa [4], 19).

Prinsip Konsen ala Islam Lekat di dalam Musyawarah

Terdapat sebuah surat dalam Al-Qur’an yang memiliki nama As-Syura. Surat itu adalah surat nomor urut 42, dan ia memiliki sebanyak 53 ayat. Dinamakan As-Syura, tak lain sebagai isyarat bahwa orang-orang yang beriman kepada Tuhan adalah mereka yang senang dan senantiasa memutuskan sesuatu dalam musyawarah.

Baca Juga  Melawan Objektivikasi Wanita: Harta, Tahta, Siapa?

Tentu, setiap orang bisa saja membuat sebuah keputusan atas pertimbangan pribadi. Ia bisa menganggap bahwa ia telah memiliki kecukupan dalam wawasan pengetahuan dan kemampuan akal. Namun, Tuhan lebih senang bila seseorang itu melibatkan yang lain dan menjalani musyawarah dalam proses memutuskan.

Saking pentingnya, prinsip musyawarah ini diberlakukan di semua jenis dan tingkatan hubungan sosial. Baik dalam hubungan yang bersifat privat seperti dalam rumah tangga (Q.S. Ali Imran [3], 159), maupun dalam hubungan lain yang lebih luas dan publik, seperti politik dan perniagaan (Q.S. Al-Baqarah [2], 233).

Sejatinya Tuhan mencintai musyawarah karena musyawarah memberi kesempatan untuk semua orang mengungkapkan pandangan terkait konsen, atau persetujuan mereka. Boleh jadi ada sesuatu yang kurang berkenan pada satu atau dua orang dalam sebagian atau seluruh keputusan. Nah, musyawarah itu akan membantu mereka menyesuaikan, atau mencari jalan yang terbaik yang dapat diterima semua orang.

Dalam Islam juga dikenal istilah mufakat atau kesepakatan seluruh peserta musyawarah. Disini suatu keputusan dinilai terbaik jika dapat disetujui oleh semua orang, tanpa terkecuali. Voting atau suara terbanyak adalah cara paling akhir yang sangat dihindari. Mufakat menunjukkan bahwa persetujuan atau konsen yang bahkan hanya dari satu orang sama pentingnya dengan seluruhnya.

Konsen, Kehendak Bebas, dan Hukum

Dengan demikian konsen merupakan suatu yang bernilai tiga sekaligus: legal, spiritual, dan eksistensial. Nilai spiritual-eksistensial tersematkan karena konsen adalah manifestasi dari kehendak bebas manusia. Kehendak bebas sendiri adalah suatu potensi unik yang dianugerahkan Tuhan secara khusus hanya kepada manusia.

Kemudian, nilai legal pada kehendak bebas terjadi karena ia menjadi landasan moral dan hukum. Mustahil dapat diputuskan apa seseorang dapat dihukumi penjara atau di penghargaan di dunia, serta surga atau neraka di akhirat jika mereka tidak memiliki kendali atas amal perbuatannya.

Baca Juga  Kembali Fitrah, Kembali Ekologis

Fatalitas atau keyakinan bahwa manusia tidak berdaya secara total atas takdirnya merupakan sesuatu yang bertentangan dengan konsep azab-pahala dari Tuhan. Fatalitas yang sering dipahami oleh manusia sebagai konsekuensi dari sifat Maha Tahu Tuhan, bukan lantas menjadikan manusia kehilangan pilihan-pilihan.

Bahwa Tuhan mampu menjangkau pengetahuan mengenai yang dulu, sedang dan yang akan merupakan suatu keniscayaan dari dzat-Nya. Akan tetapi kemampuan Tuhan itu tidak lantas menganulir kehendak bebas manusia untuk berpartisipasi dalam menciptakan takdirnya.

Justru yang ada bahwa takdir tercipta dari andil Tuhan dan manusia secara bersamaan. Sifat kolaboratif dari konstruksi takdir itu tergambar jelas dalam Q.S. Ar-Rad [13], 11: “…Sesungguhnya Allah tidak mengubah keadaan suatu kaum sebelum mereka mengubah keadaan diri mereka sendiri…”. Dus, perubahan apapun itu merupakan gabungan dari karsa manusia dan Tuhan.

***

Akhirnya kami kembali tegaskan disini bahwa menolak konsen sama saja dengan mengingkari berbagai prinsip yang menyangga peradaban manusia. Prinsip yang dilanggar itu meliputi perjanjian agung antara Tuhan-manusia, fitrah penciptaan manusia sebagai makhluk berkehendak bebas, dan hukum pencatatan dan pembalasan amal perbuatan. Begitulah prinsip konsen dalam Islam.

Editor: Nabhan

Avatar
32 posts

About author
Alumni Flinders University, Australia yang sehari-hari berprofesi sebagai Dosen Psikologi di Universitas Muhammadiyah Malang. Bidang Kajian Ahmad meliputi Kognisi dan Pengembangan Manusia, Epistemologi Islam dan Anti-Neoliberalisme. Ia juga seorang Aktivis Jaringan Intelektual Muda Muhammadiyah (JIMM), Co-Founder Center of Research in Education for Social Transformation (CREASION) dan Sekretaris Umum Asosiasi Psikologi Islam (API) Wilayah Jawa Timur.
Articles
Related posts
Tafsir

Apakah Allah Bisa Tertawa?

4 Mins read
Sebagaimana menangis, tawa juga merupakan fitrah bagi manusia. Hal tersebut sesuai dengan firman Allah dalam QS. al-Najm [53]: 43 mengenai kehendak-Nya menjadikan…
Tafsir

Kontroversi Tafsir Ayat Pernikahan Anak dalam Qur’an

4 Mins read
Pernikahan, yang seharusnya menjadi lambang cinta dan komitmen, kerap kali terjebak dalam kontroversi. Salah satu kasus terbaru yang menarik perhatian publik adalah…
Tafsir

Sepintas Sejarah Gagasan Tafsir Modern di Indonesia

4 Mins read
Pada subbab yang ditulis oleh Abdullah Saeed berjudul “The Qur’an, Interpretation, and the Indonesian Context” merupakan bagian dari bukunya Saeed sendiri, yaitu…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

This will close in 0 seconds