Masih dalam suasana Hari Pendidikan Nasional (Hardiknas) yang jatuh pada tanggal 2 Mei, tahun ini kita merayakan Hardiknas di tengah Pandemi Covid-19. Namun, bukan berarti aktivitas untuk membincang pendidikan berhenti.
Berkenaan dengan hal itu, kita tahu bahwa perguruan tinggi adalah puncak sekaligus cerminan wajah pendidikan di sebuah negara. Dalam konteks Indonesia, perguruan tinggi disokong oleh banyak pihak agar bisa tetap eksis untuk kemudian dapat merealisasikan tujuan pendidikan nasional kita, yakni mencerdaskan kehidupan bangsa. Keberadaan Persyarkitan Muhammadiyah dengan banyaknya amal usaha, terutama di bidang pendidikan, jadi salah satu tiang penyangga serta nafas tambahan bagi pendidikan negeri ini.
Karenanya sebagai bagian dari persyarikatan, mari kita bicara tentang potret pendidikan tinggi, dalam hal ini adalah Perguruan Tinggi Muhammadiyah (PTM). Sudah sejauhmana PTM melangkah dan terus menerus berlomba dalam kebaikan? Sudahkah persyarikatan yang kita banggakan ini menyiapkan sumber daya manusia unggul, pengajar yang hebat untuk kemudian mencetak generasi yang juga unggul?
Persaingan Global
Kemajuan teknologi tak ubahnya seperti buah simalakama, alih-alih membawa kemudahan dan manfaat, teknologi justru bisa mengancam eksistensi manusia. Oleh karena itu, penting untuk mengambil ancang-ancang, semacam bersikap awas pada segala kemungkinan.
Setiap zaman membawa tantangannya masing-masing. Ketika sebuah kampus baru berdiri, berjalan satu tahun, lima tahun, sepuluh tahun, dan seterusnya, sudah pasti berbeda dengan hari ini. Tantangan itu semakin sulit untuk diurai, selain karena lebih kompleks, perguruan tinggi pada abad ini, memang harus makin cermat berhitung resiko, mencetak seorang lulusan yang siap kerja tentu tidak cukup. Persaingan hari ini sudah tidak lagi di tingkat lokal, melainkan pada tataran global. Dunia kini sudah berubah dan determinisme teknologi membantu percepatan itu.
Sebelum meneruskan tema bahasan pada hal yang lebih jauh, saya akan coba membagi problematika yang tengah dihadapi umumnya institusi pendidikan tinggi, masalahnya ada pada dua hal. Pertama, secara kuantitatif pendidikan tinggi kita mencapai angka yang menggembirakan, tetapi sayangnya belum cukup memadai. Data terakhir dari Kemenristekdikti yang disampaikan langsung oleh Dr. Misbah Fikrianto menunjukan gejala tidak baik. Laki-laki yang menjabat sebagai Kasubdit Penalaran dan Kreativitas itu menjelasakan tingkat partisipasi yang rendah. Misalnya saja mahasiswa untuk jenjang pendidikan S1 rata-rata berusia antara 19-23 tahun. Sedangkan populasi usia pendidikan tinggi di Indonesia adalah 80 sampai 107 juta jiwa. Dari sejumlah angka itu, pendidikan tinggi di Indonesia hanya bisa menampung sekitar 7-8 juta orang, sementara jumlah kampus di Indonesia berkisar 4.898, hampir menyentuh angka 5 ribu.
Kedua, secara kualitas pendidikan tinggi kita masih harus terus berkaca dan berbenah diri. Di kancah global berdasarkan World University Ranking 2019-2020, kampus-kampus di Indonesia hanya berada di peringkat 600-1000. Tentu saja itu sudah diwakili oleh sekaliber Universitas Indonesia dan Universitas Gadjah Mada. Agaknya memang sulit untuk mendongkrak citra kampus di Indonesia. Belum lagi jika dilihat dari segi inovasi, teknologi dan publikasi riset, jelas berada di urutan yang lebih buncit.
Mengenai point pertama, Muhammadiyah sedikit banyak telah membantu pemerintah dalam menyerap sejumlah mahasiswa. Point kedua, sebagai warga persyarikatan, pernahkah kita berpikir atau melempar pertanyaan, berada di angka berapa kampus-kampus di bawah naungan Perguruan Tinggi Muhammadiyah? Mampukah Muhammadiyah lewat PTM tampil menggedor di tengah persaingan global?
Meninjau Perguruan Tinggi Muhammadiyah
Kiprah Muhammadiyah untuk negeri dan umat tak perlu diragukan lagi. Seabad lebih persyarikatan yang didirikan oleh KH Ahmad Dahlan telah berkhidmat, dan sampai kapan pun rasanya tidak akan berhenti berkontribusi menebar kebaikan dan manfaat. Elan vital Muhammadiyah tercermin dari kalimat “ Fastabiqul Khairat” yang merupakan penerapan dari teologi Al-Maun.
Tak mengherankan jika Antropolog Amerika Serikat, James L. Peacock, menyebut Muhammadiyah sebagai organisasi reformis Islam dengan jumlah amal usaha terbesar di Asia Tenggara, bahkan di seluruh dunia. Tak terbilang besarnya peran Muhammadiyah, satu contoh saja, misal di bidang pendidikan tinggi data yang ditampilkan di Suara Muhammadiyah hingga November 2018 jumlahnya mencapai 174 perguruan tinggi, baik dalam bentuk institut, sekolah tingggi, akademi, hingga universitas, dan sebarannya merata 34 Provinsi di Indonesia.
Hal tersebut bukan berarti tanpa persoalan, dari banyaknya kampus-kampus itu, relatif hanya PTM yang berada di wilayah Sumatra-Jawa saja yang memiliki infrastruktur pendidikan lebih baik ketimbang di luar wilayah di atas. Persoalannya jadi berlapis, sebutlah UMY, UMM, UMJ, UHAMKA, UAD, UMS, dan lainnya. Belum cukup mampu untuk menghadirkan iklim belajar yang mendorong ke arah persaingan global, baik pada tataran kampus atau secara ke individuan mahasiswanya. Diagnosis ini bisa dengan cepat dan sederhana saja cara mendeteksinya.
Sebelum itu, mari kita patok batasan, syarat apa saja yang harus terpenuhi untuk bisa masuk ke dalam persaingan kampus global atau World Class University (WCU). Jika kita merujuk penilaian ala lembaga pemeringkatan Times Highes Education, faktor-faktor berikut ini adalah titik kunci : sistem pengajaran, kualitas penelitian, kutipan, dan pandangan Internasional.
Maksud dari dua point terakhir adalah seberapa sering hasil penelitian sebuah universitas disebutkan atau jadi bahan rujukan akademisi universitas lain. Dengan kata lain, berapa banyak kontribusi sebuah universitas terhadap pengetahuan manusia.
Dan tentu saja, simpul yang mengikat itu semua ada dan bermula di point awal, yakni sistem pengajaran. Ini juga kaitannya dengan ketersediaan dan pengoptimalan teknologi dalam kegiatan perkuliahan. Rasanya, tak perlu saya jelaskan panjang lebar bagaimana kita melewati proses itu, cukuplah jadi refleksi masing-masing.
Tapi apa boleh dikata, sedikit saja menyinggung soal itu, perspektif saya sebagai mahasiswa, yang masih dominan dari cara penyajian ilmu selama ini. Ringkasnya, gaya mengajar yang masih kolosal dan tidak dialektik akan sangat menghambat proses belajar mengajar dan sudah pasti tidak lagi relevan dengan semangat zaman.
Sebuah Refleksi
Besar harapan agar capaian PTM tidak hanya berhenti di tingkat Indonesia. Di sela-sela itu ada banyak sekali platform digital yang menawarkan akses terhadap keilmuan dan informasi tanpa harus berpayah-payah masuk lembaga pendidikan tinggi formal.
Jika kita masih mempertahankan cara atau model lama, tidaklah mustahil pengetahuan dan keahlian diambil alih oleh alat bernama teknologi, bahkan kelihatannya sedang menuju ke arah sana.
Namun, terlepas dari canggih dan betapapun mempesonanya teknologi, tetapi inovasi terbaik adalah tetap sumber daya manusia. Sebab, teknologi tak lebih dari alat yang harus dioperasikan. Dan kampus terutama seluruh PTM se-Indonesia harus jeli melihat ini.
Jadi, sampai kapan kita harus menunggu untuk berbenah? Saya pikir, tak ada waktu untuk melempar pertanyaan balik, sila merenungi kembali teologi Al-Ma’un dan segera bekerja. Dengan cara itu, potret pendidikan di PTM akan jauh lebih indah. Semoga.
Editor: Arif