Oleh: Alfian Mubarok*
Islam adalah suatu agama yang dianut oleh mayoritas masyarakat di negara Indonesia dan beberapa negara lain. Sebagai sebuah agama, Islam memiliki pedoman dan kitab suci, yaitu Al-Qur’an yang merupakan wahyu dan kalam ilahi.
Untuk memahami Al-Qur’an, dibutuhkan hadis dan akal pikiran manusia mengenai beberapa hal yang membutuhkan perumusan. Maka dari itu, timbullah beberapa, bahkan berbagai pandangan dan pendapat untuk merumuskan suatu permasalahan hukum.
Sehingga muncul berbagai mazhab. Di antaranya; mazhab Maliki, mazhab Syafi’i, mazhab Hanbali, mazhab Hanafi, mazhab Dhohiri, dan lain sebagainya. Namun, yang menjadi catatan adalah, bukan berarti dengan itu umat Islam menjadi terpecah belah. Akan tetapi, perbedaan tersebut merupakan suatu warna yang dengannya kita dapat bertukar pikiran antar sesama umat muslim dan kemudian dapat melaksanakan berbagai amalan-amalan sesuai dengan kondisi di lingkungan sekitar.
Jadi, salah satu faktor yang menjadikan adanya berbagai mazhab adalah faktor geografis. Yang mana, suatu amalan dapat diterapkan di negara ataupun daerah tertentu. Namun tidak patut dan tidak etis bila diamalkan di negara ataupun daerah lain.
Seperti halnya kebudayaan di Arab. Di mana, seseorang dapat memanggil orang lain yang umurnya setara, beda beberapa tahun, bahkan terpaut jauh lebih muda ataupun lebih tua dengan panggilan “akhi” yang artinya adalah “saudaraku”.
Hal ini pastinya tidak dapat di praktikkan di Jawa. Karena bila diterapkan di Jawa, maka akan melanggar nilai-nilai kesopanan dari seorang yang umurnya lebih muda terhadap lawan bicaranya yang lebih tua. Karena di Jawa, memang memiliki kebudayaan yang disebut dengan “unggah-ungguh” yang artinya “sopan santun”.
Di Indonesia sendiri, terdapat berbagai macam ormas Islam. Di antaranya adalah; Muhammadiyah, NU, MTA, Persis, FPI, dan lain sebagainya. Lantas, apabila kita menilik hadis Nabi SAW, dari Abu Hurairah RA tentang perpecahan umat islam di akhir zaman, akan ditemukan beberapa riwayat.
Ada yang mengatakan 70 golongan dan yang masuk surga hanyalah 1 golongan. Ada juga yang mengatakan 73 golongan dan yang masuk surga hanya 1 golongan. Meskipun hadis tersebut masih dipertentangkan derajatnya, apakah dho’if ataupun hasan, namun yang menjadi catatan adalah bahwa yang selamat hanyalah satu golongan. Yaitu ahlus sunnah wal jama’ah.
Apabila dikembalikan kepada ormas Islam yang banyak jumlahnya, apakah mereka semua itu termasuk yang dimaksud dengan “golongan” sebagaimana disebutkan dalam hadis tersebut? Dari sini, penulis memiliki pandangan bahwasanya berbagai macam organisasi-organisasi Islam itu, selama berpegang teguh kepada Al-Qur’an dan sunah, maka mereka tetap dalam satu golongan. Yaitu ahlus sunnah wal jama’ah.
Istilah-istilah Muhammadiyah, NU, MTA, Persis dan yang lainnya, hanyalah sebatas organisasi masyarakat (ormas) yang tidak perlu mengklaim bahwa kelompoknya atau organisasinya adalah yang paling benar.
Tidak perlu juga menyalahkan bahkan menyesatkan kelompok ataupun organisasi masyarakat lainnya. Manusia diberi akal pikiran agar berusaha mencari kebenaran. Bukan untuk merasa paling benar di antara sesama saudara semuslim.
Hanya saja, membutuhkan sebuah keyakinan tentang mana yang sekiranya sesuai dengan islam yang sebenarnya. Tidak menutup kemungkinan, jika pengikut suatu ormas melakukan amalan yang dianjurkan oleh ormas lain, selama tidak menyimpang dari syariat Islam dan demi kemaslahatan sesama umat muslim, maka tentu tidak menjadi masalah apa pun.
Sebagai contoh ialah di dalam ormas NU, ada amalan yang dinamakan “yasinan”. Namun, di Muhammadiyah tidak ada yasinan. Terlepas dari pendapat masing-masing tentang amalan yasinan, alangkah baiknya apabila keduanya saling menghormati dan tidak menyombongkan diri masing-masing.
Tidak menutup kemungkinan dari anggota Muhammadiyah mendapat undangan yasinan dan menghadirinya selama amalan tersebut tidak menimbulkan madhorot. Begitu juga sebaliknya. Apabila dari anggota NU mendapat undangan pengajian dari ormas Muhammadiyah misalnya, maka alangkah baiknya untuk ikut berpartisipasi dalam pengajian tersebut selama tidak menimbulkan madhorot.
Begitulah kiranya pandangan penulis tentang adanya berbagai ormas Islam yang ada di Indonesia. Penulis mengajak kepada diri penulis pribadi dan umumnya kepada para pembaca, agar menanggapi sesuatu dengan pandangan yang luas dan tidak perlu ada rasa benci diantara sesama.
Bahkan tidak perlu saling menyalahkan dan mengklaim dengan kebenaran sepihak atas dirinya. Karena memang tugas manusia adalah mencari yang terbaik, bukan mengaku yang terbaik.
Dengan begitu, maka umat Islam akan mengetahui bahwasanya setiap manusia memiliki kesempatan untuk diterima seluruh amalannya di sisi Allah SWT. Begitu juga sebaliknya. Bahwa setiap manusia juga memiliki kesempatan untuk ditolak amalannya disisi Allah SWT.
Maka dari itu, tugas kita adalah menyibukkan diri dengan melakukan kebaikan-kebaikan yang diperintahkan dalam Al-Qur’an dan sunah. Serta kebudayaan dan perbuatan-perbuatan yang tidak di larang dalam Al-Qur’an dan sunah.
Sepatutnya, antar saudara seiman saling memberikan kebaikan tanpa memandang ormas dan aliran yang dianutnya. Bahkan antar manusia sepatutnya saling memberikan kebaikan tanpa memandang agama dan keyakinan serta bersama-sama menciptakan kebaikan-kebaikan yang tidak perlu memandang siapapun yang dijadikan objeknya.