Banyak hal yang telah berubah seiring berkembangnya teknologi informasi, sehingga tren yang berkembang juga cepat bergeser. Contoh saja, sebuah tagar yang memuncaki trending topic di Twitter hanya bertahan bulanan saja, setelah itu berganti lagi dengan tagar baru yang tak kalah hebohnya.
Cepatnya perkembangan teknologi yang mendorong cepatnya perubahan tren membuat situasi dunia menjadi serba tidak pasti. Perubahan yang akan terjadi di masa-masa selanjutnya menjadi sulit diterawang, terutama oleh para ilmuwan sosial.
Posisi Tauhid di Era Saat Ini
Pertanyaannya, bagaimana posisi tauhid di tengah gonjang-ganjing era digital tersebut? Saya kira, apa yang dijabarkan Ahmad Syafii Maarif dalam Al-Quran, Realitas Sosial, dan Limbo Sejarah (1985) cukup menarik untuk membicarakan posisi ideal tauhid di era digital ini.
Sebelum bicara lebih lanjut soal tauhid di era penuh gonjang-ganjing ini, ada bagusnya kalau kita paham dulu bagaimana Al-Quran menjelaskan perubahan sosial. Al-Quran memberi kebebasan pada manusia untuk memilih beriman atau ingkar. Kebebasan ini diikuti dengan konsekuensi atas pilihan manusia itu (h. 23).
Sebagaimana firman Allah dalam surat Al-Kahfi ayat 29, “Dan katakanlah: “Kebenaran itu datangnya dari Tuhanmu; maka barangsiapa yang ingin (beriman) hendaklah ia beriman, dan barangsiapa yang ingin (kufur) biarlah ia kufur.” Sesungguhnya Kami telah sediakan bagi orang orang zalim itu neraka, yang gejolaknya mengepung mereka…..”
Kebebasan Serampangan, Aturan Liar
Buya Syafii menjelaskan, kehendak bebas yang diberikan berikut konsekuensinya merupakan isyarat kepada manusia bahwa penggunaannya haruslah bertanggungjawab dan menciptakan maslahat bagi umat manusia. Kebebasan yang serampangan akan berakibat liarnya kehidupan manusia dari hari ke hari.
Perubahan tren teknologi informasi dewasa ini berhubungan kuat dengan kehendak bebas sebagai fitrah manusia. Upaya manusia dalam menundukkan alam dengan pendekatan induktif (observasi dan eksperimen) terbukti sukses melahirkan kemajuan IPTEK (h. 24).
Meskipun demikian, kadang perubahan yang tercipta dari upaya tadi, justru merupakan perubahan yang tidak diharapkan. Sebabnya, perubahan yang tercipta malah menjadi senjata makan tuan alias jadi bumerang bagi manusia itu sendiri.
Saya kira premis “mendekatkan yang jauh dan menjauhkan yang dekat” cukup menggambarkan eksis dari kemajuan teknologi digital. Banyak di antara kita yang, alih-alih mengobrol dengan kanan kirinya, malah lebih memilih menatap layar ponsel ketika sedang berkumpul dengan teman atau keluarganya.
Banyak di antara kita yang hari ini lebih suka menghabiskan waktunya untuk sekedar bermain game online ketimbang membaca buku. Bahkan, banyak di antara kita yang lebih sering memakai gawainya untuk mengakses situs film porno yang jelas-jelas sukses merusak produktivitas dan isi otak anak bangsa.
Teknologi digital yang tadinya bertujuan untuk memudahkan interaksi manusia berubah menjadi sarana ujaran kebencian dan hoax seiring menguatnya tensi politik. Benturan dikotomi antara agama dan negara ataupun agama dan budaya makin menguat. Istilah ‘kadrun’ dan ‘cebong’ adalah salah satu indikasi utamanya.
Ujaran kebencian yang menyasar pemerintah ataupun oposan makin tak terkendali. Akibatnya, antara pendukung pemerintah dan oposan saling lapor ke polisi karena tidak terima dengan ujaran kebencian yang dialamatkan pada setiap dari mereka.
Jauhnya Ummat Islam dari Tauhid
Mengapa perkembangan teknologi bisa sedemikian eksesifnya? Jawabnya, karena demikian jauhnya kehidupan umat Islam hari ini dari tauhid. Boleh saja telah mengaku mengesakan Allah. Namun, keseharian sebagian umat Islam hari ini seolah memarjinalkan sifat Maha Melihat dan Maha Mengetahuinya Allah.
Bagaimana mengaplikasikan tauhid dalam menghadapi dampak negatif perkembangan teknologi informasi? Tauhid dalam tinjauan Al-Quran adalah bergantungnya manusia kepada Allah semata. Spirit tauhid adalah membebaskan manusia dari ketergantungan materi, termasuk ketergantungan terhadap teknologi (h. 27).
Terbebas dari ketergantungan terhadap materi berarti hendaknya teknologi berfungsi sebagai pelayan manusia, bukan manusia yang menjadi budak teknologi. Dengan tauhid, hendaknya manusia dapat menemukan solusi atas ketidakpastian karena efek domino kemajuan teknologi informasi.
Semisal pisau, akan bermanfaat jika jatuh ke tangan seorang jurumasak dan akan mencelakakan jika jatuh ke tangan seorang pembunuh. Demikian pula teknologi yang bebas nilai. Baik buruknya teknologi bergantung pada bagaimana manusia memakainya.
Oleh karena itu, pemahaman tauhid yang benar hendaknya mendorong manusia dalam memberikan arah moral dalam setiap perubahan yang terjadi. Memberi arah moral yang benar bisa dilakukan jika paham hakikat perubahan dan ke mana arah moral akan bergerak (h. 28).
Sukses atau gagalnya pemahaman tauhid dalam menghadapi perubahan sosial bisa dilihat dari bagaimana penegakan keadilan di tengah masyarakat. Tauhid baru dapat disebut tegak berdiri jika keadilan telah dirasakan oleh semua kalangan dari beragam latar belakang sosial (h. 35).
Kini, pilihan berada di tangan umat Islam seluruhnya. Apakah mau kembali mengaplikasikan nilai-nilai Quran atau, meminjam istilah Buya Syafii, masih tetap menelantarkan Al-Quran di pinggiran sejarah meskipun mengaku mengimaninya?
Editor: RF Wuland