Riset

Apresiasi Seni Musik dalam Khazanah Islam 

3 Mins read

Posisi seni musik di dalam Islam sangat diapresiasi oleh kalangan ulama. Berbeda dengan pandangan yang kini berkembang mengenai hubungan Islam dan seni musik yang dianggap tak akur. Faktanya dalam sejarah kebudayaan Islam, agama Islam sampai ke Nusantara tidak hanya melalui kitab-kitab dan dogma politik. Namun juga melalui jalur kesenian.

Mengenai kesenian, dari satu sisi merupakan lensa yang berpotensi memahami masyarakat Islam lebih mendalam. Dan dari sisi yang lain, seni dan kebudayaan manusia memang tak bisa dipisahkan. Di dalam kalangan Islam, perdebatan mengenai posisi keharaman seni musik lebih berdasarkan pada kerangka teologis ketimbang dalam kerangka kebudayaan.

Sehingga benturan-benturan narasi dalam kitab-kitab ulama mengenai musik begitu sengit. Dalil-dalil teologis yang diinterpretasi untuk mengharamkan musik melahirkan fenomena menarik tentang musisi-musisi yang ‘hijrah’ dan berhenti main musik secara total, pembubaran acara musik, penghancuran alat-alat musik dan lain-lain.

Seni Musik dalam Pandangan Fuqaha dan Ahli Hadis

Terlihat jelas pada ulama-ulama fiqh seperti Imam Syafi’i dan Imam Malik yang memakruhkan orang untuk mendengarkan musik. Bahkan Imam Abu Hanifah memberikan peringatan dosa jika mendengar musik. Lebih umumnya, Ibnu Taymiyyah menganggap orang yang mendengarkan musik bakal lalai dan berkurang ketertarikannya dengan al-Qur’an.

Kesepakatan ulama mengenai seni musik bukan hanya persoalan nada. Namun juga instrumen terlebih alat musik tiup dan petik. Pada dasarnya, hadis-hadis yang mengatakan musik haram terdapat pada hadis riwayat Imam Bukhari yang bersumber dari Abu Malik dimana Rasul berkata mengenai suatu kaum yang akan menghalalkan alat-alat musik.

Hadis tersebut ditolak oleh Ibnu Hazm melalui pertimbangan metodologi hadis. Meskipun hadis tersebut terdapat dalam Sahih Bukhari, setelah ditelusuri sanad hadis tersebut tidak terhubung langsung kepada Nabi Muhammad. Selain itu, Ibnu Hazm memberikan penjelasan bahwa sebenarnya hadis tersebut lemah dari segi penjelasan, alur, dan penyampai hadis.

Baca Juga  Cak Nun: Kriteria Keberhasilan Pendidikan Indonesia

Dalil-dalil teologis untuk mengharamkan seni musik juga diambil dari al-Qur’an. Namun lagi-lagi pengharaman seni musik tampak tidak jelas dan abstrak unsur pengharamannya. Tarik ulur hubungan senimusik dan Islam yang demikian dingin dan hitam putih tak bisa dianggap sepele.

Untuk itu, al-Ghazali kemudian memberikan jalan tengah. Tidak hanya melihat seni musik dari luar, al-Ghazali mencoba membagi karakter-karakter musik dan memetakannya melalui dalil-dalil teologis. Al-Ghazali memberikan dua belas kriteria musik dan tujuh diantaranya dihalalkan.

Semua jenis musik yang diharamkan tentu saja musik-musik vulgar, menimbulkan hasrat seksual dan lain sebagainya. Batasan yang diberikan al-Ghazali menjadi titik terang dalam kerangka teologi Islam dengan musik.

Seni Musik dalam Apresiasi Sufi, Filsuf dan Budayawan Islam

Berbeda dengan kebanyakan Fuqaha yang cukup keras atau setidaknya hati-hati dalam menjelaskan musik. Budayawan, Filsuf, dan bahkan Sufi dalam Islam menjadikan musik sebagai alat komunikasi dan penanda kemajuan peradaban Islam.

Jalaludin Rumi misalnya, bukan hanya menggunakan seni musik sebagai medium spiritual. Namun menggunakan instrumen musik seperti seruling yang bersuara lirih merindukan kampung halamannya sebagai analogi untuk menjelaskan hubungan kerinduan manusia dengan Tuhannya.

Filsuf Islam tidak hanya membuat rumusan teologis mengenai kesusastraan dan musik. Namun juga merumuskan dan menyusun teori-teori musik. Perkembangan kesenian Islam awal dari masa ke masa ditandai oleh penerjemahan musik Barat terutama Yunani ke dalam musik Arab yang telah ada.

Hasilnya, al-Kindi menemukan musik sebagai alat meditasi dan penyembuhan penyakit kejiwaan bahkan kelumpuhan. Selanjutnya, Ibnu Khaldun dalam Muqaddimah melihat tak ada dikotomi antara seni Musik dan semangat Islam. Sebab perkembangan manusia nomaden dalam berkomunikasi menurut Ibnu Khaldun ialah melalui syair, termasuk masyarakat Islam.

Baca Juga  Konflik Sunni Syiah itu Warisan Elit Politik Arab 14 Abad Silam

Al-Farabi dalam Kitab al-Musiqa al-Kabir, mengembangkan pitch dalam sistem musik serta menjelaskan hubungan mendetail teoritikal dalam musik. Al-Farabi menunjukkan bagaimana teori musik Arab awal bermula dari urutan matrik dari puisi klasik. Yang dimana teori-teori ini sangat berpengaruh kuat pada khazanah seni musik di dunia.

Sekelompok filsuf anonim, Ikhwan al-Safa abad ke-8 atau 10 lebih mendasar lagi. Mereka melihat karakter dari seni musik lalu merespon sikap alamiah manusia yang diekspresikan melalui kebiasaan, bahasa dan praktik yang berbeda. Sekilas mirip dengan apa yang dikembangkan al-Farabi mengenai konsep sistem suara.

Namun, yang membuat Ikhwan al-Safa berbeda adalah kemampuan melihat seni musik sebagai bagian tak terpisahkan dari tubuh manusia dan arsitektur Islam. Abu al-Faraj al-Isbahani menyebutkan Khalifah Harun ar-Rasyid yang mempunyai inisiatif mengidentifikasi dan merumuskan musikalisasi puisi beberapa bunyi-bunyi.

***

Penjelasan lebih lanjut, Ibnu Sina mengemukakan logika ilmiah dalam menjelaskan musik. Salah satunya adalah metode hitungan matematis seperti perputaran nada pada harkat al-bina’ maupun harkat al-I’rab dalam tradisi Arab. Dan juga penandaan vokal dalam pembacaan bahasa Arab sepeti fatha, damma, kasra dan suara-suara yang mengutamakan keheningan (sukun).

Semangat seni musik dan Islam dalam sejarah, adat-istiadat, dan hukum, merupakan sarana yang sangat penting dalam pendidikan moral dan ilmu pengetahuan. Tak hanya itu, Prof. Dr. Nyoman Kutha Ratna melihat masyarakat Islam klasik justru mempertahankan keutuhan bangsanya melalui pepatah, perumpamaandan irama dalam kehidupan sehari-hari.

Hal tersebut juga didukung oleh hadis-hadis Nabi yang sangat menghargai tradisi syair. Ini terlihat dari perkataan beliau yang memuji puisi-puisi Hasan bin Tsabit, seperti “Sesungguhnya Ruh Kudus telah memancar dari lidahnya”. Dalam kesempatan lain, Nabi bahkan menanggalkan jubahnya dan kemudian memberikannya kepada Ka’ab ibnu Zubair sebagai pujian atas puisinya dan bersabda, “Sesungguhnya dalam puisi memancar hikmah”.

Baca Juga  Haedar Nashir: Kebencian Merebak di Media Sosial tanpa Panduan Moral

Alhasil, musik menjadi sarana penyebaran agama Islam ke seluruh dunia. Sayyed Hossein Nasr mengapresiasi peran seni musik dan sastra. khususnya yang dikembangkan oleh pujangga-pujangga Persia, yang tanpanya Islam tidak akan pernah menyebar ke wilayah-wilayah seperti India, Asia Tengah, atau Asia Tenggara seluas sekarang ini.

Editor : Rifqy N.A./Nabhan

Avatar
2 posts

About author
mahasiswa Pusat Studi Agama dan Lintas Budaya (CRCS) UGM
Articles
Related posts
Riset

Membuktikan Secara Ilmiah Keajaiban Para Sufi

2 Mins read
Kita barangkali sudah sering mendengar kalau para sufi dan bahkan Nabi-nabi terdahulu memiliki pengalaman-pengalaman yang sulit dibuktikan dengan nalar, bahkan sains pun…
Riset

Lazismu, Anak Muda, dan Gerakan Filantropi untuk Ekologi

2 Mins read
“Bapak ini kemana-mana bantu orang banyak. Tapi di kampung sendiri tidak berbuat apa-apa. Yang dipikirin malah kampung orang lain,” ujar anak dari…
Riset

Pengorbanan Ismail, Kelahiran Ishaq, dan Kisah Kaum Sodom-Gomoroh

4 Mins read
Nabi Ibrahim as. yang tinggal Hebron mendapat berusaha menjenguk putra satu-satunya. Sebab pada waktu itu, Sarah sudah uzur dan belum juga hamil….

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

This will close in 0 seconds