“Secara kebetulan, Muhammadiyah memiliki dua pemimpin yang sama-sama hebat, ialah Mansur dari Timur, yaitu Mas Mansur dan Mansur dari Barat, tak lain Sutan Mansur,” tulis Musthafa Kamal Pasha dan Ahmad Adabi Darban (2003: 152). Dua nama “Mansur” dari ‘Timur’ dan ‘Barat’ memang telah mengisi estafet sejarah kepemimpinan Muhammadiyah. Mas Mansur dari Jawa Timur adalah President Hoofdbestuur (HB) Muhammadiyah periode 1936-1942, sedangkan Sutan Mansur adalah Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah periode 1952-1959.
Putra Maninjau
Ahad petang, 15 Desember 1895 (bertepatan dengan 27 Jumadil Akhir 1313 H), seorang putra dari pasangan H. Abdul Samad dengan Siti Abbasyiyah lahir di Air Hangat, Maninjau, Sumatra Barat. Menurut pengakuan Aisyah Rasyid (2009: 22), bayi laki-laki itu prematur karena lahir belum masanya. Bayi laki-laki tersebut lantas diasuh oleh sang nenek, Andung Bayang, yang secara rutin dan cermat merawat sang bayi dengan limpahan kasih sayang. Bayi laki-laki tersebut kemudian diberi nama Ahmad Rasyid.
Memasuki usia sekolah, Ahmad Rasyid belajar di Sekolah Gouverntment sambil tetap mengaji kepada sang ayah. Dia termasuk murid yang cerdas. “Beberapa kali dia dipanggil oleh controleur Belanda, dijanjikan untuk dimasukkan ke Sekolah Raja (Kweekschool),” tulis Aisyah Rasyid. “Tapi Ahmad Rasyid kecil terus menolak, dan mengatakan akan sekolah mengaji, karena ia ingin jadi ulama, dan kalau bisa mau ke Mesir untuk memperdalam ilmu agama,” kenang Aisyah Rasyid tentang ayahnya.
Cita-cita Ahmad Rasyid untuk melanjutkan studi ke Mesir memang tidak tercapai, tetapi keinginannya untuk sekolah mengaji terwujud setelah sang ayah mengirimnya ke Surau Djembatan Besi, sebuah lembaga pendidikan Islam tradisional yang diampu oleh Syekh Abdul Karim Amrullah (Haji Rasul). Di sinilah Ahmad Rasyid belajar ilmu-ilmu agama, mulai dari ilmu kalam, manthiq, tarikh, fiqih, siyasah, mu’amalah, balaghah, dan lain-lain.
Karakter dan perilaku Ahmad Rasyid tampaknya menuai simpati dari sang guru. Haji Rasul yang dikenal sebagai sosok ulama yang disiplin, kuat kemauan, teguh pendirian—konon malah dinilai keras kepala—justru simpatik terhadap salah seorang muridnya ini. Akhirnya, Haji Rasul menjodohkan sang murid dengan salah seorang putrinya yang bernama Fatimah. Dalam tradisi adat Minang, setiap lelaki yang telah menikah, ia mendapat gelar adat. Ahmad Rasyid lalu mendapat gelar Sutan Mansur. Pernikahan Ahmad Rasyid Sutan Mansur dengan Fatimah binti Syekh Abdul Karim Amrullah dilangsungkan di Sungai Batang, Maninjau, pada tahun 1917 (Aisyah Rasyid, 2009: 24).
Sebagaimana tradisi adat Minangkabau, setiap orang laki-laki memang dituntut untuk merantau. Pada tahun 1921, Ahmad Rasyid Sutan Mansur merantau ke pulau Jawa, tepatnya di kota pesisir Pekalongan. Ia berdagang kain batik dan terbukti sukses di Pekalongan. Pada awal abad 20, industri batik memang sedang menggeliat, terutama di kota-kota besar seperti Semarang, Solo, dan Yogyakarta. Pekalongan yang berdekatan dengan kota Semarang menjadi jalur strategis untuk pengembangan bisnis batik.
Di Pekalongan, Ahmad Rasyid Sutan Mansur tidak semata-mata berbisnis. Ia yang sejak awal bercita-cita menjadi ulama menyelenggarakan pengajian rutin. Kelompok pengajian diberi nama Nurul Islam. Lewat kelompok pengajian ini, Sutan Mansur mengimplementasikan dakwah Islam yang selaras dengan dinamika masyarakat. Selang tak berapa lama, Sutan Mansur turut mengikuti kelompok pengajian yang digelar di Pekajangan (1922). Sang kyai bukan berasal dari kota setempat, tetapi didatangkan dari Yogyakarta. Kyai tersebut dikenal sebagai pemimpin sebuah organisasi Islam bernama Muhammadiyah. Sang kyai tersebut adalah K.H. Ahmad Dahlan, President Hoofdbestuur (HB) Muhammadiyah. Dalam buku Sejarah dan Perkembangan Muhammadiyah Pekajangan (2010) disebutkan bahwa kedatangan K.H. Ahmad Dahlan ke Pekajangan dalam rangka meresmikan perkumpulan Ambudi Agama pimpinan K.H. Abdurrahman yang berubah menjadi Cabang Muhammadiyah Pekajangan.
Kiprah di Muhammadiyah
Ahmad Rasyid Sutan Mansur—lebih populer disebut AR Sutan Mansur—mengenal Muhammadiyah lewat pengajian yang disampaikan K.H. Ahmad Dahlan di Pekajangan. Aisyah Rasyid (2009: 26) mencatat perdebatan dalam pengajian tersebut seputar tafsir surat Al-Ma’un. Seorang peserta pengajian bertanya, mengapa pembahasan tentang tafsir surat Al-Ma’un dilakukan berulang-ulang? Pada saat itulah, Sang President HB Muhammadiyah menyampaikan ayat 104 surat Ali Imran, bahwa untuk mengimplementasikan maksud tafsir surat Al-Ma’un dibutuhkan gerakan yang sistematis dan terencana, yaitu lewat Muhammadiyah. Konon, penjelasan rasional inilah yang telah menarik hati AR Sutan Mansur untuk bergabung dalam Muhammadiyah. Ia kemudian melebur perkumpulan Nurul Islam menjadi Muhammadiyah Cabang Pekalongan.
AR Sutan Mansur tidak hanya aktif di Muhammadiyah, tetapi juga terjun aktif di Kongres Al-Islam dan Sarekat Islam (SI). Pada ‘Zaman Bergerak’ (1912-1926)—peta perpolitikan di tanah air sedang mengalami infiltrasi ideologi Sosialisme-Marxis lewat kelompok SI Semarang (Takashi Shiraishi, 2005). Gerakan Muhammadiyah dan Kongres Al-Islam tidak lepas dari infiltrasi ideologi kiri. AR Sutan Mansur termasuk tokoh yang berdiri di barisan terdepan dalam membentengi Muhammadiyah dari rongrongan ideologi kiri.
Pada tahun 1925, Haji Rasul berkunjung ke beberapa kota di Pulau Jawa, dengan kunjungan utama ke Pekalongan dalam rangka menjenguk putri dan menantunya. Namun, beberapa literatur menyebutkan bahwa kunjungan Haji Rasul ke pulau Jawa sebenarnya dalam rangka menghindari pengaruh ideologi komunisme yang sedang bergerak massif di Sumatera Barat. Tokoh penggerak komunisme di Sumatera Barat adalah Datuk Batuah, yang berhasil memprovokasi para santri dan pemuda Sumatera Barat untuk bergabung dalam Serikat Rakyat (SR).
Di Pekalongan, Haji Rasul mendapati sang menantu tumbuh menjadi tokoh umat Islam yang berpengaruh. Gerakan dakwahnya menggunakan jalur organisasi modernis bernama Muhammadiyah yang terus menebar amal usaha yang bermanfaat secara langsung di kalangan masyarakat. Praktik keagamaan yang praksis telah menjadi contoh menarik bagi Haji Rasul sehingga ia tertarik untuk berkunjung ke Yogyakarta, bertemu dengan President Muhammadiyah (K.H. Ahmad Dahlan). Pasca pertemuan dengan K.H. Ahmad Dahlan, Haji Rasul kembali ke Minangkabau menjadi aktor utama perintisan Muhammadiyah setempat. Perkumpulan Sandi Aman yang dipimpin oleh Dja’far Amrullah (Marah Intan)—adik kandung Haji Rasul—diubah menjadi Cabang Muhammadiyah Minangkabau.
Sukses merantau di Pekalongan, pada tahun 1926 AR Sutan Mansur diminta kembali ke kampung halamannya. Ia aktif sebagai guru dan muballigh Muhammadiyah di Minangkabau. Pada waktu itu, pergulatan ideologi komunisme di antara kaum muda Minang semakin runcing, tetapi AR Sutan Mansur mampu merangkul mereka. Begitu juga kasus penyebaran paham Ahmadiyah yang sedang massif di Minangkabau, tetapi AR Sutan Mansur mampu meredam gejolak di kalangan umat Islam. Sebagai Konsul Muhammadiyah Minangkabau, AR Sutan Mansur termasuk aktor utama yang menyukseskan Kongres Muhammadiyah di Minangkabau sebagai kongres yang pertama kali diselenggarakan di luar pulau Jawa.
Puncak karir organisasi AR Sutan Mansur di Muhammadiyah ketika ia terpilih sebagai Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah dalam kongres ke-32 (muktamar) di Purwokerto untuk periode 1953-1959.