Inspiring

Arief Budiman: Cermin Intelektualitas Kita Saat Ini

3 Mins read

Sebagai pembaca, saya mengikuti dengan seksama sekaligus tanpa sadar menikmati obituari mengenai Arif Budiman, yang ditulis oleh muridnya langsung, kawan terdekat, maupun orang-orang yang tidak mengenalnya langsung tetapi membaca karya-karyanya. Kesimpulan saya dari sejumlah bacaan tersebut adalah ia sosok akademisi, intelektual publik, sekaligus juga aktivis yang hidup dalam peralihan Orde Lama ke Orde Baru.

Disebut peralihan, karena ia figur yang melawan kebijakan Orde Lama melalui pendatanganan Manifesto Kebudayaan. Ia juga penantang keras rezim Orde Baru yang bertumpu kepada pembangunan, tetapi mengabaikan kemiskinan struktural yang diciptakan oleh orang-orang dalam lingkaran rezim Suharto sendiri. Tidak hanya melalui tulisan di media massa, kritiknya diwujudkan dengan turun gelanggang mendatangi sejumlah forum-forum diskusi. Tautan dia rezim itu setidaknya yang menyelamatkan dirinya dari kekerasan rezim Orde Baru yang memungkinkan dirinya bisa hijrah dua kali; saat sekolah S3 di kampus Harvard dan menjadi dosen di Universitas Melbourne.

Dalam tulisan ini, saya tidak ingin mengenang Arief Budiman dan bagaimana kontribusinya bagi dunia akademik dan intelektual publik Indonesia, meskipun sejumlah karya-karyanya telah tuntas saya baca saat kuliah S2 di Sanata Darma. Di sini, saya ingin membahas bagaimana menjadi akademisi sekaligus intelektual publik di tengah zaman yang berubah, yang tidak bisa lagi mengimajinasikan diri seperti sosok Arief Budiman.

Pertama, perdebatan dalam ruang yang terbatas. Sebagaimana diakui, Arief Budiman hidup dalam dunia media yang tidak seperti sekarang. Radio, televisi, dan media cetak, baik koran dan majalah, adalah sumber informasi yang bisa diakses oleh sebagian besar masyarakat Indonesia. Tiga sumber ini yang selalu menjadi rujukan bagaimana sensor negara itu bekerja. Sedikit saja mengkritik, sebuah media bisa dibredel. Namun, keterbatasan media ini membuat orang yang bersuara lain memungkinkan untuk didengarkan. Kritik pedas atas kebijakan pembangunan rezim Orde Baru membuat orang-orang di sekitar rezim Suharto kepanasan.

Baca Juga  Pemikiran Jalaludin Rakhmat (1): Peran Agama di Era Modern

Situasi ini berbeda dengan sekarang, di tengah iklim demokrasi memungkinkan semua orang bisa mengkritik. Meskipun demikian, kritik itu bisa didengarkan sampai ke telinga Jokowi harus sampai terlebih dahulu kepada orang banyak. Dengan kata lain, harus ada suara-suara yang memungkinkan kritik itu menjadi viral di media sosial agar didengarkan. Di sini untuk membuat informasi viral itu seringkali bukan datang dari akademisi ataupun intelektual publik, melainkan mereka yang memang berani bersuara dan memiliki kesamaan frekuensi dengan yang lainnya sekaligus juga yang memiliki jumlah followers banyak.

Kedua, dunia scopus. Dengan sumber informasi terbatas sekaligus juga kewajiban akademisi, tidak ada tuntutan untuk menerbitkan tulisan di jurnal-jurnal internasional saat itu. Sebaliknya, banyak akademisi sekaligus intelektual publik menulis buku dan opini pendek di media sebagai bagian dari tanggungjawab seorang terpelajar. Banyak karya-karya mereka sangat berbobot sekaligus juga mencerahkan. Inilah masa di mana kadar intelektualitas seseorang benar-benar ditentukan oleh karya mereka untuk publik Indonesia.

Kini tuntutan berubah. Seorang akademisi secara prosedural digiring untuk menjadi seorang profesional bekerja dibidangnya dengan menghadiri konferensi internasional dan menerbitkan jurnal internasional dengan ranking 1-4 untuk menunjukkan kualitas kelayakan tulisan seseorang. Berpengaruh atau tidak sebuah tulisan dilihat dari seberapa banyak orang mengutip. Big data, algoritma, dan tingginya kutipan menjadi bagian penting untuk menilai kadar intelektualitas seseorang.

Kondisi ini membawa dampak yang ketiga, kemunculan para mikro-selebriti di tengah hilangnya peran akademisi di ruang publik baru. Sibuknya para akademisi untuk menulis di jurnal bereputasi internasional membuat ruang publik di media sosial mengalami kekosongan. Sementara itu, media sosial menciptakan demokratisasi yang memungkinkan siapapun bisa menjadi berpengaruh. Dalam konteks dan momen-momen tertentu inilah yang membuat mikro-selebriti kemudian mengambil peran yang tidak bisa dimaksimalkan oleh para akademisi, yaitu menjadi intelektual publik yang dianggap mengerti persoalan dan menjawab kegelisahan publik.

Baca Juga  Cak Nun: Guru Bangsa yang Mengingatkan Bangsanya

Dalam aras ini, akademisi yang benar-benar profesional menjalankan perannya, suaranya hanya didengarkan oleh kolega dan lingkaran mereka saja. Intelektual publik yang menulis di media massa dan online serta menulis buku makin tampak menipisnya fungsi dirinya dihadapan perubahan platform digital ini. Di sisi lain, mikro-selebriti selalu melakukan inovasi dan eksperimen dengan gagasannya yang provokatif untuk tetap mendapatkan perhatian. Karena itu, mau tidak mau, jika ingin mengikuti spirit Arief Budiman, ketiga hal itu harus terus dimainkan dan dijaga secara seimbang. Meskipun di antara ketiga itu, ada satu hal yang bisa dijadikan cermin oleh semua: tidak gila dengan kekuasaan.

Ya, di tengah perubahan rezim yang memungkinkan Arief sebenarnya bisa mengambil keuntungan dengan menjabat sebagai sosok birokrat pemerintahan di tengah banyak teman- temannya yang menjabat. Namun, itu tidak dilakukan. Sebaliknya, ia justru tetap menjadi pengkritik yang teguh dan sebenar-benarnya.

Tentu saja, sikap itu tampak seperti ‘pahlawan kesiangan’ saat ini di tengah banyaknya akademisi dan intelektual publik yang merasa berkeringat untuk memenangkan sebuah calon tapi ngambek ketika dirinya tidak mendapatkan kue kekuasaan atas orang yang didukungnya. Jauh sebelumnya, orang-orang ini lebih banyak bicara tentang nilai dan apa itu kebenaran kepada publik.

84 posts

About author
Peneliti di Research Center of Society and Culture LIPI
Articles
Related posts
Inspiring

Kenal Dekat dengan Abdul Mu'ti: Begawan Pendidikan Indonesia yang Jadi Menteri Dikdasmen Prabowo

3 Mins read
Abdul Mu’ti merupakan tokoh penting dalam dunia pendidikan dan organisasi Islam di Indonesia. Ia dikenal sebagai Sekretaris Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah periode…
Inspiring

Beda Karakter Empat Sahabat Nabi: Abu Bakar, Umar, Utsman, dan Ali

4 Mins read
Ketika berbicara tentang sosok-sosok terdekat Nabi Muhammad SAW, empat sahabat yang paling sering disebut adalah Abu Bakar ash-Shiddiq, Umar bin Khattab, Utsman…
Inspiring

Spiritualitas Kemanusiaan Seyyed Hossein Nasr

3 Mins read
Islam memiliki keterikatan tali yang erat dengan intelektual dan spiritual. Keduanya memiliki hubungan yang sangat dekat dan merupakan dua bagian realitas yang…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

This will close in 0 seconds