Jika sepanjang Pilkada Jakarta 2016 dan Pilpres 2019 para Indonesianis bersepakat bahwa Indonesia mengalami “conservative turn”, maka pasca Pemilu mereka melihat adanya gejala “authoritarian turn”. Apakah benar demikian?
Bangkitnya konservatisme keagamaan di tahun-tahun politik, pada mulanya diprediksikan oleh Martin Van Bruinessen, antropolog Belanda. Sementara itu, ilmuan sosial Australia seperti Greg Fealy dan Greg Barton juga mengamati hal yang sama.
Pada puncaknya, Vedi Hadiz dan Marcus Mietzner menerbitkan artikel berkala yang membahas secara lebih detil pengaruh pengerasan sikap keberagamaan kaum Muslim di musim politik elektoral.
Namun, pasca pemilu, apa yang mereka lihat berbeda. Respon terhadap pengerasan sikap keberagamaan, berwujud manuver politik yang tampaknya otoritarian. Bagaimana menjelaskan hal ini?
Otoritarianisme: Quo Vadis Kalahnya Oposisi
Memang di musim kontestasi politik yang lalu, kubu Jokowi dianggap didukung oleh Muslim moderat. Sementara Prabowo, yang saat ini menjabat sebagai Menteri Pertahanan, menjadi jago Muslim konservatif. Jokowi memenangkan perlombaan dan kelompok konservatif bingung bagaimana kini harus menggerakkan manuver politiknya.
Jika dulu kelompok ini, dengan mendukung Prabowo (dan jika menang), bertaruh bahwa akan mengupayakan formalisasi agama di level negara, sekarang jelas mereka harus gigit jari. Bukan sekadar karena Prabowo kalah telak. Tapi gerbong oposisinya telah berbelok arah, berkoalisi dengan para pemenang.
Ketika trend populisme Islam mengemuka, yang gelombangnya berjalan seiring dengan riuhnya trend realpolitik tanah air, kelompok konservatif merasa telah memiliki ruang untuk mengekspresikan aspirasinya.
Pada momen 212, 411, pelbagai pertemuan ijtima’ ulama dan lain sebagainya, kelompok konservatif dengan lihai dan penuh semangat mampu memanfaatkan keadaan. Meskipun dalam konteks realpolitik, mereka sendiri adalah kendaraan politik para aktor oligarkisme.
Ketika sudah tidak punya lagi media untuk menyalurkan pendapatnya, terlebih bahwa pemerintah (baca: kubu Jokowi) telah menghabisi eksistensi Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) sebagai salah satu kelompok konservatif, suara mereka semakin tidak terdengar di hadapan publik. Sayup-sayup memang pernah dilontarkan gagasan mengenai Indonesia Bersyariah. Tetapi, kini hal itu benar-benar tenggelam. Mungkinkah hanya untuk sementara waktu?
***
Sebenarnya, ketika kelompok konservatif berupaya menggalang dukungan massa untuk mendukung Indonesia Bersyariah, dalam proses demokratisasi tentu hal ini bagus. Terutama apabila pengusungnya, ijtima’ ulama, kemudian menginstitusionalisasikan gerakannya dan bahkan menjadi partai politik yang memiliki kesempatan turut serta dalam pemilu. Dengan begitu, kita bisa melihat apakah Indonesia Bersyariah benar-benar diminati kaum Muslim tanah air atau tidak.
Yang jelas, kubu konservatif kalah, semakin tertekan dan tidak lagi berani muncul ke permukaan karena dicap berbahaya. Meskipun demikian, sebagaimana prediksi yang diajukan oleh sebagian sarjana, konservatisme sebagai gerakan (sosial dan politik) memang sedang tiarap. Tetapi sebagai nilai dan ideologi, konservatisme akan senantiasa ada dan bahkan akan menguat. Apakah benar prediksi mereka? Kita belum menyaksikan jawabannya!
Kubu pemenang (pemerintah terpilih) menekan betul gerakan konservatisme keagamaan. Strategi yang digunakan adalah stigmatisasi bahwa mereka terpapar radikalisme (manipulator agama?) atau ekstremisme keagamaan. Pemenang menyebut bahwa, ekstremisme ini secara ideologis dianggap cenderung bertentangan dengan ideologi negara: Pancasila.
Wacana simbolik yang khas kaitannya secara kultural dengan ekstremisme keagamaan seperti cadar (niqab), jenggot, celana cingkrang, menjadi bidang garapan “popular” pemerintah. Terdapat ungkapan-ungkapan yang disampaikan oleh Menteri Agama, Fachrul Razi (berlatarbelakang Militer, ketua Tim Bravo pemenangan Jokowi) bahwa pegawai negara dilarang bercadar dan bercelana cingkrang ketika bekerja.
Wacana-wacana tersebut digunakan untuk membatasi penyebaran ekstremisme sekaligus mengidentifikasi (test the water) para pihak yang biasa menggunakan ekstremisme sebagai instrumen politik. Sekali dayung, dua tiga pulau terlampaui. Para pihak yang dianggap mengganggu status quo, harus dibereskan.
Otoritarianisme: Akankah Kembali Lagi?
Dalam konteks yang lain, Prabowo menempati posisi Menteri Pertahanan. Posisi politiknya sebenarnya sama persis dengan apa yang dimiliki Wakil Presiden Ma’ruf Amin.
Jika dahulu Ma’ruf Amin pro-konservatisme, kini menjadi corong suara Islam moderat (versi pemerintah) dan bahkan menjadi yang terdepan dalam menghadang konservatisme.
Sementara itu, Prabowo adalah mantan Capres yang dekat dengan Habib Rizieq (elit FPI) selaku tokoh konservatisme Islam. Kini, ia menjadi ujung tombak pertahanan negara. Jika suatu saat konservatisme menjadi isu keamanan nasional (national security) yang benar-benar dianggap berbahaya, maka Prabowolah orang terdepan yang akan membasminya.
Yang harus diperhitungkan adalah, pemerintahan Jokowi sedang berusaha menggenjot pertumbuhan ekonomi (setelah sebelumnya diawali dengan pembangunan infrastruktur). Demi mencapai target yang diinginkan, ada syarat-syarat yang harus dipenuhi. Syarat yang paling utama adalah negara memerlukan stabilitas sosial dan politik.
Politik alokatif dan kosolidatif melalui pembagian posisi strategis partai-partai di kabinet telah menjinakkan sebagian musuh yang ada. Kini, musuh yang tersisa adalah para aktor intelektual konservatisme dan populisme Islam. Jika tidak mau mereka mengganggu stabilitas, maka harus dibereskan.
Jadi, apakah kini Indonesia harus mundur ke belakang mengulang strategi beres-beres politik Orde Baru? Apakah cocok kiranya kita kali ini menghadapi arus balik otoritarianisme? Marilah kita lihat, seberapa bengis dan sewenang-wenang tangan kekuasaan menyingkirkan siapa saja yang dianggap mengganggu. Sudah siapkah kita menghadapi kemunculan neo otoritarianisme?