Sejarah politik Jawa abad ke-16 adalah sebuah drama besar yang dipenuhi darah, cinta, pengkhianatan, dan doa. Dari reruntuhan Majapahit, Demak berdiri sebagai kerajaan Islam pertama yang berusaha menata ulang peradaban Jawa dengan ruh baru. Namun, seperti riwayat politik di mana pun, konflik perebutan tahta segera menjadi bayang-bayang yang tak terelakkan. Salah satu episode paling epik sekaligus getir adalah kisah Arya Penangsang, penguasa Jipang yang kuat secara fisik tetapi rapuh oleh kemarahan, berhasil tercatat sebagai tragedi moral dan politik.
Arya Penangsang dan Kekuasaan dengan Amarah
Arya Penangsang adalah putra Pangeran Sekar Seda Lepen, yang terbunuh dalam perebutan kekuasaan. Sejak itu, dendam menjadi bara yang membakar jiwanya. Ia digambarkan sebagai sosok perkasa: mahir strategi, kuat secara fisik, bahkan ditakuti lawan. Namun, di balik otot baja, ada api kemarahan yang membutakan nurani.
Tatkala Sultan Trenggana wafat, tahta Demak jatuh ke tangan Sunan Prawoto. Penangsang yang merasa berhak karena garis keturunan menolak keputusan itu. Kemarahan berubah menjadi tindakan: ia membunuh Sunan Prawoto bahkan Pangeran Hadlirin, suami Ratu Kalinyamat. Namun, darah yang ia tumpahkan justru menambah panjang daftar dendam, mempersempit jalan menuju kekuasaan.
Kekuatan fisiknya tak mampu menandingi beban batin yang ia pikul. Dalam pertempuran terakhir melawan pasukan Pajang, ia tewas bukan hanya oleh keris yang menembus tubuhnya, melainkan juga oleh amarahnya sendiri yang membutakan strategi. Kekalahannya menjadi bukti bahwa kekuatan tanpa kendali hati adalah jalan menuju kehancuran.
Sunan Kudus: Ulama dalam Pusaran Politik
Di tengah pusaran darah dan dendam itu, berdirilah Sunan Kudus, ulama sekaligus penasihat kerajaan. Ia berperan penting sebagai penengah, pengajar, sekaligus pengawal nilai moral di tengah hiruk-pikuk politik. Menariknya, Sunan Kudus sempat condong mendukung Penangsang karena secara genealogis ia pewaris sah Demak. Namun, sejarah mencatat bahwa akhirnya Sunan Kudus lebih memilih menjaga kemaslahatan umat daripada sekadar mengagungkan garis keturunan.
Di sinilah kebijaksanaan seorang ulama diuji. Ia tahu, kekuasaan yang dibangun di atas dendam hanya akan melahirkan penderitaan baru. Penangsang boleh saja cucu dari keturunan Demak yang sah, tetapi bila moralnya dipenuhi amarah, tak ada yang bisa ia wariskan selain kehancuran.
Sunan Kudus memilih berpihak pada politik moral, sebuah posisi yang dekat dengan prinsip siyāsah syar’iyyah dalam tradisi Islam: bahwa inti politik bukanlah legitimasi darah, melainkan kemaslahatan umat.
Politik Garis Keturunan vs Politik Moral
Kisah ini adalah cermin abadi. Dalam politik Jawa abad ke-16, garis keturunan sering dijadikan alasan utama perebutan tahta. Namun, Sunan Kudus memperlihatkan bahwa politik tidak boleh hanya soal siapa “putra mahkota” atau siapa yang “berhak” karena darah bangsawan. Politik harus dilihat dari siapa yang bisa memimpin dengan hati, dengan akhlak, dengan keberanian menahan amarah demi rakyatnya.
Dalam teori politik modern, kita mengenal gagasan virtue politics (politik kebajikan) yang ditegaskan Aristoteles maupun Al-Farabi. Keduanya sepakat bahwa negara hanya akan bahagia bila dipimpin oleh sosok yang berilmu sekaligus bermoral. Kekuasaan tanpa moral adalah tirani. Kekuasaan yang dikuasai dendam adalah bencana.
Tak heran bila Sunan Kudus lebih memilih berpihak pada Hadiwijaya, penguasa Pajang, yang meski bukan darah biru Demak murni, memiliki peluang lebih besar menjaga stabilitas politik. Bagi Sunan Kudus, moral lebih tinggi daripada garis keturunan.
Kisah Arya Penangsang juga memberi pelajaran lain: kemarahan adalah musuh utama dalam politik. Sebagaimana dikatakan Imam al-Ghazali, amarah yang tidak dikendalikan akan menyeret manusia pada kebinasaan. Penangsang adalah contoh nyata. Ia punya kekuatan, legitimasi genealogis, bahkan dukungan sebagian pihak, tetapi kalah oleh dirinya sendiri.
Sejarah ini membisikkan pesan keras kepada generasi kini: kekuasaan bukan soal siapa yang paling kuat atau paling berhak menurut garis keluarga, melainkan siapa yang paling mampu mengendalikan nafsu, menahan amarah, dan menata diri.
Politik Dinasti dan Moral Publik
Kini, berabad-abad setelah tragedi Demak–Pajang, kita masih menyaksikan pola serupa dalam politik Indonesia. Politik dinasti terus berulang. Anak, menantu, cucu, atau kerabat para elite berlomba naik tahta, seakan garis darah lebih penting daripada kapasitas dan moralitas.
Namun, sebagaimana Sunan Kudus pernah memperlihatkan, ulama, cendekiawan, dan kaum intelektual hari ini punya tugas penting: menjadi penjaga moral publik. Mereka harus berani bersuara bahwa yang utama dalam politik bukan sekadar siapa anak siapa, tetapi siapa yang benar-benar mampu menghadirkan maslahat.
Dalam konteks demokrasi modern, peran ulama atau intelektual itu mirip dengan fungsi civil society—penjaga agar kekuasaan tidak terseret pada dendam, keserakahan, atau amarah kolektif.
Kisah Arya Penangsang juga sarat simbolisme. Ia gugur dengan keris pusaka Kyai Setan Kober yang menembus tubuhnya sendiri. Senjata yang ia agungkan justru menjadi alat kematiannya. Inilah karma politik: kekerasan yang dipelihara akan kembali menghancurkan pemiliknya.
Cinta yang dibutakan dendam, pusaka yang diagungkan melebihi nurani, dan strategi yang ditentukan emosi, semua kembali sebagai bumerang. Dari titik ini, kita belajar: politik yang tidak dilandasi etika akan selalu berbalik menggigit para pelakunya.
Membaca Sejarah Arya Penangsang
Sejarah bukan sekadar catatan masa lalu, melainkan cermin bagi masa depan. Kisah Arya Penangsang, Hadiwijaya, dan peran Sunan Kudus memperlihatkan pertarungan abadi antara garis keturunan dan moralitas, antara dendam dan kebijaksanaan.
Bila generasi kini masih memuja politik dinasti, masih menuhankan garis darah, maka kita sedang mengulang babak kelam masa lalu. Namun, bila kita berani menegakkan politik moral seperti Sunan Kudus, ada harapan bagi bangsa ini untuk menemukan jalan yang lebih terang.
Politik adalah seni menahan amarah, menjaga hati, dan mengutamakan maslahat. Sejarah Jawa memberi kita pelajaran mahal: bahwa ulama sejati lebih memilih keluhuran moral daripada garis keturunan. Masih adakah ulama seperti Sunan Kudus?
Editor: Assalimi

