Falsafah

Konsep ‘Ashabiyah Ibnu Khaldun: Solusi Ampuh Pemersatu Bangsa

3 Mins read

Biografi Ibnu Khaldun

Ibnu Khaldun bernama lengkap Waliyuddin Abu Zaid Abdurrahman bin Muhammad Khaldun al-Hadrami al-Ishbili. Beliau lahir di Tunisia tanggal 27 Mei 1332 (Khaldun, 1951).

Keluarga Ibnu Khaldun berasal dari Hadramaut yang kemudian bermigrasi ke Spanyol. Keluarga ini pro-Umayyah dan menduduki posisi tinggi dalam politik di Spanyol selama bertahun-tahun sampai akhirnya pindah ke Maroko. Setelah dari Maroko, mereka berpindah lagi ke Tunisia. Ibnu Khaldun wafat pada tanggal 17 maret 1406 di Kairo.

Ibnu khaldun adalah seseorang yang sangat cerdas, bahkan tidak sedikit yang menjulukinya Ensikopedis (kamus berjalan).

Beliau dikenal sebagai sejarawan dan bapak sosiologi Islam yang hapal Al-Qur;an sejak usia dini. Pemikiran Ibnu Khaldun terlahir karena studinya yang sangat dalam, pengamatan terhadap berbagai masyarakat yang dikenalnya dengan ilmu dan pengetahuan yang luas, serta beliau hidup di tengah-tengah masyarakat dalam pengembaraannya.

Karya Ibnu Khaldun

Salah satu karya Ibnu Khaldun yang paling terkenal adalah Muqaddimah. Dalam karya tersebut, dijelaskan ilmu al-‘umran (ilmu tentang organisasi sosial). Karyanya ini masih terus dikaji hingga sekarang.

Beberapa pemikir sosial menganggap Muqaddimah sebagai risalah dalam sosiologi. Sebagai contoh, Heinrich Simon yang merupakan sarjana asal Jerman, mengatakan bahwa Ibnu Khaldun adalah orang pertama yang merumuskan hukum-hukum sosial. Karena karya tersebut, Ibnu Khaldun dipandang sebagai pendiri sosiologi.

Konsep ‘Ashabiyah Ibnu Khaldun

Konsep ‘Ashabiyah merupakan konsep terpenting Ibnu Khaldun. Istilah ‘Ashabiyah berasal dari bahasa Arab ashabah yang artinya semangat golongan atau partai. Adapun secara harfiah ‘Ashabiyah berarti rasa satu kelompok.

Kemudian menurut Charles Issawi dalam buku Wendy Melfa, menyatakan bahwa ‘Ashabiyah adalah faktor penggerak kekuasaan dan para pendukungnya untuk maju terus ke depan (Siddiq, 2007).

Baca Juga  Franz Rosenthal, Orientalis yang Terjemahkan Muqaddimah Ibnu Khaldun

Sementara, ‘Ashabiyah menurut Ibnu Khaldun sendiri adalah rasa/ fanatisme terhadap keturunan, keluarga, dan golongan.

Perasaan ini merupakan sifat dasar manusia yang timbul secara alami dan merupakan anugerah dari Allah SWT (khaldun, 1986).

‘Ashabiyah atau solidaritas biasanya timbul karena adanya interaksi sosial yang kuat dan akan menimbulkan rasa simpati ataupun empati dari pelaku interaksi sosial tersebut.

Perasaan cinta dan kasih tersebut menimbulkan perasaan senasib, sepenanggungan, rasa saling membutuhkan, terlebih saat menghadapi musibah.

‘Ashabiyah yang paling banyak ditemui adalah solidaritas dalam keluarga. Memang tidak mengherankan karena adanya faktor keturunan serta adanya waktu yang tidak singkat dalam berinteraksi.

Contoh ‘Ashabiyah Ibnu Khaldun dalam Kehidupan Sehari-Hari

Tetapi, ada juga di mana ‘Ashabiyah terbentuk dengan tanpa adanya faktor-faktor tersebut. Umat Islam sebagai contohnya. Siapa yang tidak mengetahui penderitaan anak-anak di Palestina?

Semua umat Islam, saat mendengarkan berita tentang anak-anak tersebut, pasti timbul rasa simpati. Umat Islam tidak rela jika saudaranya menderita. Perasaan tersebut termasuk ‘Ashabiyah, baik dituangkan melalui tindakan maupun tidak.

Menurut Ibnu Khaldun, dalam uraiannya tentang peran sosial ‘Ashabiyah, beliau mengatakan bahwa ‘Ashabiyah merupakan suatu jalinan sosial yang membuat bangsa bersatu padu, terlepas ‘Ashabiyah itu timbul karena ikatan kekeluargaan atau persekutuan.

Kemudian ‘Ashabiyah mempunyai dua peran sosial, yaitu; pertama, menumbuhkan solidaritas sosial dan kekuatan dalam jiwa kelompoknya. Kedua, mempersatukan berbagai ‘Ashabiyah yang bertentangan sehingga menjadi suatu kelompok manusia yang besar dan bersatu (khaldun, 1986).

‘Ashabiyah juga ada yang bersifat positif dan ada yang bersifat negatif. ‘Ashabiyah dalam keluarga adalah contoh dari yang positif. Sedangkan, ‘Ashabiyah yang terbentuk untuk menentang atau bahkan merusak ‘Ashabiyah lain adalah contoh yang bersifat negatif.

Baca Juga  Apa Bedanya Filsafat Islam dan Filsafat Muslim?

Konsep ‘Ashabiyah Ibnu Khaldun berpendapat bahwa untuk menjalankan suatu pemerintahan negara, dibutuhkan alat atau perangkat untuk mengendalikan negara.

Tujuannya tidak lain dan tidak bukan adalah untuk mengantisipasi dan menjaga setiap gangguan atau kejadian yang dapat mengancam keamanan dan ketertiban negara yang datang dari luar maupun dalam negara itu sendiri.

Dalam pandangannya perangkat itu adalah agama. Menurut beliau agama dapat dijadikan alat untuk memperkuat kepemimpinan sebuah bangsa (Black, 2006).

Pancasila Sebagai Alat Pemersatu Bangsa

Tetapi dalam negara Indonesia, ideologi Pancasila merupakan alat untuk mempersatukan bangsa. Pada awal pembentukannya, Pancasila ini bernama Piagam Jakarta. Dalam sila pertama berbunyi, “Ketuhanan Yang Maha Esa dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluknya”.

Sila pertama tersebut sesuai dengan pendapat Ibnu Khaldun tetapi tidak sesuai untuk negara Indonesia. Akibatnya terdapat protes dari masyarakat non-Islam untuk mengganti sila pertama tersebut. Setelah didiskusikan, akhirnya sila tersebut diganti dengan “Ketuhanan Yang Maha Esa” seperti yang kita kenal sampai sekarang.‘Ashabiyah adalah kunci kesatuan dan persatuan.

Indonesia sebagai contohnya yang merupakan negara kepulauan. Walaupun terdapat faktor antropologis dan geografis yang berbeda-beda, tetapi dalam hati masyarakatnya tetaplah satu kesatuan negara Indonesia. Pancasila sebagai produk ‘Ashabiyah merupakan suatu ideologi yang menyatukan seluruh masyarakat Indonesia.

Editor: Yahya FR

Ahmad Sholakhudin
2 posts

About author
Mahasiswa Uin Sunan Ampel Surabaya
Articles
Related posts
Falsafah

Deep Ecology: Gagasan Filsafat Ekologi Arne Naess

4 Mins read
Arne Naess adalah seorang filsuf Norwegia yang dikenal luas sebagai pencetus konsep “ekologi dalam” (deep ecology), sebuah pendekatan yang menggali akar permasalahan…
Falsafah

Sokrates: Guru Sejati adalah Diri Sendiri

3 Mins read
Dalam lanskap pendidikan filsafat, gagasan bahwa guru sejati adalah diri sendiri sangat sesuai dengan metode penyelidikan Sokrates, filsuf paling berpengaruh di zaman…
Falsafah

Homi K. Bhabha: Hibriditas, Mimikri, dan Ruang Ketiga

4 Mins read
Homi K. Bhabha, salah satu tokoh terkemuka dalam teori pascakolonial, berkontribusi membangun wacana seputar warisan kolonialisme secara mendalam, khususnya melalui konsepnya tentang…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

This will close in 0 seconds