Salah satu rukun iman yg wajib diimani setiap muslim adalah beriman kepada qadha dan qadar atau yg biasa disebut sebagai takdir.
Dalam prakteknya, iman terhadap takdir ini memiliki tafsiran yang sangat luas terutama berkaitan dengan pertanyaan-pertanyaan tutunannya yang penting. Apakah manusia hanya dapat menjalankan ketentuan yang sudah ditentukan oleh Allah semata ? Ataukah manusia dapat menentukan nasibnya sendiri berdasarkan usaha-usaha yang diperbuatnya?
Perdebatan konsep takdir dan turunannya ini merupakan salah satu perdebatan paling penting dan paling rumit yang dilakukan oleh kelompok mutakallimun (ahli ilmu Kalam) dalam khazanah keilmuan Islam klasik.
Kelompok yang menganut paham yg pertama disebut sebagai golongan jabbariyyah. Mereka berpendapat bahwa manusia hanyalah menjalankan apa yang sudah ditentukan oleh Tuhan kepada mereka, perbuatan baik maupun yang buruk. Manusia tidak dapat ikut campur dan tidak memiliki kemampuan dalam merubah ketetapan tersebut.
Kelompok yang menganut paham kedua disebut sebagai golongan qadariyyah. Mereka berpendapat bahwa manusia dapat menentukan nasibnya sendiri dengan perbuatannya tanpa campur tangan dari Tuhan.
Polarisasi antara kedua kelompok di atas akan menimbulkan dua buah sikap yang ekstrem satu sama lain. Jika menganut paham jabbariyyah, orang tersebut akan jatuh kepada sikap pesimis dan pasrah yang akut dengan mengesampingkan segala usaha yang dapat diperbuat oleh manusia.
Sebaliknya jika menganut paham qadariyyah maka orang tersebut akan terjebak kepada sikap egoisme dan sombong serta mengesampingkan peran Tuhan dalam mengatur hidup manusia.
Dengan adanya dua paham yang berseberangan ini, lalu bagaimana sebenarnya kita harus memandang konsep takdir dengan tepat?
Memahami Cara Kerja Takdir
Dalam buku Membumikan Qur’an (2011) Prof. Quraish Shihab menjelaskan bahwa Allah melaksanakan ketentuan-Nya melalui dua cara, yaitu pertama melalui hukum Tuhan dan yang kedua melalui hukum-hukum sosial-kemasyarakatan.
Hukum Tuhan, artinya setiap ketentuan dan apapun yang terjadi di dunia baik itu hal yang kecil maupun yang besar semuanya sudah tercatat di dalam kitab induk Lauhul Mahfudz dan Allah dapat melaksanakan ketentuan dan ketetapannya secara langsung melalui intervensi Ketuhanan.
Takdir ini bersifat sebagai takdir Transenden yg memang sejak awal tidak bisa diubah dan akan tetap sebagaimana mestinya tanpa dapat diakses atau diketahui oleh ilmu manusia.
Tetapi karena yg mengetahui hanyalah Allah semata, maka dalam perspektif manusia yang tidak mungkin mengetahui isi takdir itu. Semua ketentuan dan takdir sifatnya dapat berubah dan relatif kecuali sampai hal itu benar-benar terjadi. Artinya, setiap takdir dan ketentuan sifatnya kondisional dalam perspektif manusia.
Oleh karena itu, selain bekerja melalui hukum Tuhan, takdir juga bekerja melalui skema hukum sosial-kemasyarakatan yang mewujud dalam bentuk perbuatan dan kehendak manusia.
Dengan demikian, takdir mewujudkan melalui kerja dua aktor penting. Yaitu intervensi ilahiah melalui ketetapan Allah sendiri, tetapi di sisi lain ada juga peran manusia dalam menentukan jalannya takdir dan suatu peristiwa.
Sebagai contoh, kita dapat mengambil perumpamaan terhadap peristiwa pandemi yang saat ini kita hadapi.
Kita semua tentu sepakat bahwa wabah yang saat ini terjadi merupakan kehendak yang sudah ditakdirkan oleh Allah. Orang dapat menafsirkannya bermacam-macam baik sebagai musibah, azab, ataupun ujian. Semua tergantung dari perspektif dan kondisi psikologis masing-masing orang.
Tetapi kita tidak hanya dapat melihat pandemi hanya sebatas itu saja. Di balik terjadinya pandemi saat ini, ada porsi-porsi perbuatan manusia yang berperan dalam menciptakan kejadian ini.
***
Eksploitasi terhadap lingkungan dan hilangnya habitat alami hewan di alam akibat perusakan alam oleh manusia merupakan sebuah konsekuensi logis sesuai dengan konsep kausalitas sebab-akibat yang bisa diamati dan bekerja secara sistematis di dunia ini.
Dengan demikian, baik hukum tuhan dan hukum sosial sama-sama bekerja dalam membentuk realitas konkrit manusia dan merupakan bagian dari keseluruhan konsep yang disebut sebagai sunnatullah (ketetapan Allah)
Dengan pemahaman seperti ini, maka takdir tidak dipandang secara bias dengan hanya mengaitkannya dengan Allah apabila terjadi kejadian-kejadian yang buruk semata. Atau sebagai alasan yang menyebabkan orang bersikap serba pasif dan menyandarkan setiap kejadian hanya kepada takdir.
Kesalahpahaman dalam memahami konsep takdir beserta sikap turunannya (tawakkal, zuhud, dan ikhlas) ini akan menyebabkan sikap pasifisme dan eskapisme dalam agama.
Aspek Ilahiah dan Manusiawi dalam Takdir
Apabila seorang manusia berprasangka baik terhadap kehendak yang telah ditetapkan untuknya. Maka pandangannya terhadap takdir membuatnya berusaha lebih giat lagi. Bukan malah bersikap kebalikannya, menjadikan takdir sebagai dalih untuk bermalas-malasan, tidak berusaha, dan serba nrimo. Konsep takdir harus ditransformasi dari konsep kepasifan menjadi keaktifan.
Takdir sebagaimana yg telah dijelaskan di atas tidaklah berarti menggantungkan diri secara mutlak terhadap predestinasi yang telah ditetapkan sebelumnya. Namun juga memberikan ruang terhadap manusia untuk menentukan sendiri arah dan hidupnya sesuai dengan pilihan yang ia jalani.
Percaya kepada takdir bukanlah dimaksudkan agar manusia memiliki pandangan dan sikap serba fatalistik. Justru dimaksudkan agar diwujudkan dalam kerja praksis untuk menciptakan kemungkinan-kemungkinan terbaik dalam hidup ini.
Sikap fatalistik akibat pemahaman yang salah seperti inilah yang menjadi kritik utama Karl Marx terhadap agama. Marx menyebutnya sebagai sifat “candu” dalam beragama. Ia membelenggu manusia untuk keluar dari ketertindasan dan sebagai bentuk pelarian dari realitas sosial yang dihadapi
Senada dengan Marx, filsuf eksistensialis seperti Nietzsche juga mengkritik pemahaman yang sama dan kemudian mengembangkan konsep ubermensch (manusia super) agar manusia dapat bersikap mandiri dan berdiri di atas kaki sendiri. Lalu menentukan nasibnya tanpa campur tangan Tuhan. Ini adalah bentuk kritik terhadap pemahaman agama yang fatalistik seperti itu.
Tentunya sebagai seorang muslim, kita tidak bisa meyakini bahwa usaha manusia dapatlah dilepaskan secara mutlak dari ketentuan Allah. Ada dimensi ketuhanan dan kemanusiaan dalam memandang takdir.
Dalam perspektif ketuhanan takdir itu bersifat mutlak dan tidak berubah sebagaimana mestinya, sedangkan dalam perspektif manusia takdir itu semuanya bersifat relatif tergantung dari pandangan dan sikap manusia dalam memandang takdir tersebut.
Kita tidak bisa menyalahkan takdir dan Tuhan ketika apa yang diinginkan tidak sesuai dengan kenyataan yang terjadi. Karena bisa jadi ada ketidaksinkronan, dimana kita hanya memanjatkan doa semata, tetapi melupakan aspek-aspek materil berupa kondisi sosial masyarakat dan kerja nyata.
***
Begitu pula sebaliknya, jangan pula membanggakan diri sendiri ketika berhasil dalam melaksanakan segala hal karena semua itu juga tidak terlepas atas bantuan dan kehendak dari yang maha kuasa.
Takdir yang baik juga bersesuaian dengan usaha dan doa yang baik pula. Dengan demikian kita dapat terus melakukan evaluasi terhadap fungsi manusia sebagai Khalifah di muka bumi ini.
Tentu hal yang patut kita tanyakan kepada diri sendiri adalah, apakah perbuatan dan usaha yang dilakukan oleh manusia selama ini, berperan dalam menciptakan takdir dan peristiwa yang baik ? Atau justru sebaliknya, malah berdampak buruk terhadap kondisi lingkungan dan sosial masyarakat saat ini?
Editor: Dhima Wahyu Sejati