“Ya Husein Madzlum, Husein Madzlum, Husein Madzlum”. Suara teriakan dibarengi dengan suara tangisan tersedu–tersedu dan suara tepukan dada yang berirama mengikuti setiap kalimat tersebut. Terdengar kencang di beberapa sudut kota Tehran, Iran. Tepatnya di husainiyah–husainiyah pada malam Asyuro.
Asyuro (10 Muharram), hari yang mempunyai banyak cerita di dalamnya begitupun ragam versinya. Mulai dari momen Nabi Adam as bertaubat, berlabuhnya kapal Nabi Nuh as di Bukit Judy, selamatnya Nabi Ibrahim as dari api dan kisah–kisah nabi lainnya hingga syahidnya Imam Husein cucu Nabi Muhammad SAW. Namun pada tulisan ini saya khusus membahas tragedi yang terjadi pada 10 Muharram. Yaitu syahid atau wafatnya Imam Husein cucu Nabi Muhammad SAW, Imam ketiga bagi Muslim Syiah.
Secara singkat tragedi tersebut terjadi pada tanggal 10 Muharram tahun 61 Hijriyah. Menurut versi Muslim Syiah, Imam Husein pada hari ke-8 Dzulhijjah meninggalkan Makkah menuju Kufah untuk mendatangi undangan warga Kufah yang siap berbaiat pada kepemimpinanya. Namun sebelum sampai di Kufah, beliau telah mengetahui pengkhianatan orang-orang Kufah dan kesyahidan Muslim bin Aqil yang diutus beliau untuk menyelidiki situasi dan kondisi di sana.
Setelah Hur bin Yazid menutup jalan untuk Imam Husein, beliau pergi menuju Karbala dan di sana beliau berhadapan dengan pasukan Umar bin Sa’ad. Umar bin Sa’ad diangkat sebagai komandan perang oleh Ubaidillah bin Ziyad. Tentara yang berjumlah 4000 pasukan tersebut dikirim oleh Khalifah Dinasti Muwaiyah saat itu yaitu Yazid bin Muawiyah. Sedangkan rombongan Imam Husein hanya berjumlah kurang dari 200 orang.
Pada saat itu dua pasukan tersebut berperang pada 10 Muharram atau hari Asyura. Dalam perang ini, Imam Husain, saudara Abbas bin Ali, anaknya yang berumur 6 bulan bernama Ali Ashgar, 17 orang dari Bani Hasyim dan lebih dari 50 orang dari sahabat-sahabatnya syahid di karbala. Dalam tragedi tersebut hanya beberapa perempuan dan salah satu putra Imam Husein yang selamat yaitu Imam Ali Zainal Abidin yang nantinya menjadi Imam Keempat bagi Muslim Syiah.
Imam Husein sendiri syahid secara tragis, kepalanya dipisahkan dari tubuhnya lalu diserahkan kepada Yazid bin Muawiyah. Tubuhnya dikuburkan di Karbala, sedangkan kepalanya menurut beberapa versi dikuburkan di Kairo, Mesir. Tepatnya di Masjid Husein.
Tragedi Karbala yang kejam tersebut merupakan peristiwa sejarah Islam yang paling menyayat hati kaum muslimin terkhusus bagi Muslim Syiah karena salah satu cucu kesayangan Rasul syahid secara tragis. Sehingga Muslim Syiah setiap tahun pada peringatan haulnya mengadakan acara duka begitu besar di seluruh dunia. Namun tidak hanya Muslim Syiah saja. Di Indonesia, beberapa daerah juga mempunyai tradisi masing–masing dalam mengenang duka kepada Imam Husein. Seperti tradisi Tabut di Bengkulu, Tabuik di Pariaman, Tajhin Mera Pote (Bubur Merah Putih) di Madura pada Bulan Safar, dan lain sebagainya.
Di Iran sendiri perayaan Asyuro dilaksanakan sejak malam 1 Muharram hingga 10 Muharram sebagai puncaknya. Namun tidak berhenti disitu saja. Tanggal 11 Muharram hingga 40 hari kedepan atau bertepatan dengan momen ziarah akbar (Ziarah Arbain) berjalan kaki dari najaf hingga Karbala (Irak). Majelis–majelis duka untuk Imam Hussein tetap dilakukan oleh masyarakat Iran Syiah di beberapa Makam suci para tokoh Muslim Syiah dan husainiyah-husainiyah di Iran.
Husainiyah adalah tempat untuk melaksanakan kegiatan-kegiatan Muslim Syiah khususnya pada kegiatan majelis–majelis duka wafatnya imam dan tokoh–tokoh mereka. Namun saat ini husainiyah sudah mulai modern. Beberapa husainiyah mempunyai program–program sosial seperti pendidikan, filantropi dan juga ekonomi. Bentuk arsitektur husainiyah adalah perpaduan antara mushala dan balai kegiatan warga.
Saya sendiri berkesampatan mengikuti majelis duka tersebut namun hanya pada malam ke delapan, sembilan dan malam puncaknya tanggal 10 Muharram. Pada malam puncak Asyura saya memilih menghadiri majelis di husainiyah yang berada di Bundaran Imam Husein Tehran. Acara pada malam hari tersebut dimulai dari jam 21.00 hingga 24.00 malam waktu Tehran.
Kegiatan tersebut dimulai dengan membacakan Maktal. Maktal sendiri adalah kisah berbentuk syair tentang kesyahidan Iman Husein yang dilantunkan dengan lagu dan ada ibrah pesan–pesan di dalamnya. Seluruh jamaah yang hadir saat dibacakan Maktal mayoritas menangis terharu pada malam tersebut.
Setelah pembacaan Maktal, acara dilanjutkan dengan ceramah oleh Haji Agha (panggilan untuk ustad di Iran). Ceramah saat itu berisi tentang meneladani kisah atau mengambil spirit Imam Husein untuk melawan kezaliman di dunia saat ini.
Acara pada malam tersebut ditutup dengan melantukan Maktam (Syair–syair duka tentang Imam Husein) diiringi dengan gerakan tangan memukul dada sebagai ekspresi kesedihan yang mendalam bagi para pecinta Imam Husein. Dari rangkaian acara, pelaksanaan Maktam tersebut adalah acara yang paling lama yaitu berjalan selama 2 jam. Pembacaan Maktam dengan gerakan memukul dada tersebut dilakukan dengan berdiri dan dalam kondisi menangis. Gerakan memukul dada secara pelan tersebut bagi Muslim Syiah adalah ekspresi kesedihan mereka mengenang wafatnya Imam mereka secara tragis.
Sebagian orang selain Muslim Syiah menganggap hal tersebut sebagai sesuatu yang berlebih–lebihan. Namun rasa sedih sifatnya subjektif atau tidak bisa distandarisasi dengan pendekatan kuantitatif. Sehingga memunculkan ekspresi yang beragam setiap subjeknya, selama tidak merugikan orang lain dan tidak melukai diri sendiri hal tersebut menjadi wajar.
Sama seperti ekspresi seseorang yang kehilangan orang tuanya, pasangannya, anaknya, saudaranya atau temannya. Pasti setiap kita pernah menjumpai seseorang yang ditinggal mati suami atau istrinya lalu tidak mau makan selama beberapa hari. Begitulah ekspresi kesedihan setiap orang. Tentu berbeda–beda dan bagi orang yang tidak merasakan langsung pasti akan merasa ekspresi tersebut terasa berlebihan.
Namun perlu digaris bawahi, proses pembacaan Maktam di malam Asyuro tersebut yang biasanya menjadi bahan fitnah kepada Muslim Syiah di Iran. Ritual Maktam tersebutlah yang biasanya digambarkan di beberapa media adalah ritual melukai badan dengan senjata tajam hingga berdarah–darah (Qamezani) sambil bersedih mengenang syahidnya Imam Husein. Namun hal tersebut adalah fitnah dari musuh islam. Di Iran sendiri Rahbar Republik Islam Iran Ayatullah Ali Khamenei dan seluruh ulama–ulama Syiah di Iran berfatwa mengharamkan hal tersebut. Bahkan menganggap tradisi tersebut adalah buatan musuh Islam untuk memfitnah Muslim Syiah di Iran.
Ritual Asyuro menurut Muslim Syiah di Iran bukan hanya menjadi momen berlarut–larut tenggelam dalam kesedihan mengenang Syahidnya Imam Husein belaka. Namun momen Asyuro juga menjadi titik ledakan spirit Imam Husein dalam melawan kezaliman saat itu yang ditarik dalam konteks global saat ini. Wajar jika Iran sebagai negara yang berlandaskan Islam Syiah secara terang–terangan berani melawan kekuatan dominasi dunia barat. Khususnya melawan kezaliman Israel dan Amerika.
Selain itu Iran memilih menjadi negara yang merdeka tidak ingin berada di bawah ketiak negara adidaya. Sama seperti sikap Imam Husein saat itu menolak berbaiat menerima kepemimpinan Yazid bin Muawiyah yang dianggap zalim meskipun nyawa menjadi taruhannya.
Inilah yang disebut oleh Rahbar Iran Ayatullah Imam Ali Khamenei dalam Bahasa Farsi sebagai “Mantheqe Imam Husein” (Logika Imam Husein). Yaitu spirit membela hak dan melawan penindasan yang diajarkan oleh Imam Husein. Oleh karenanya Imam Husein bukan hanya menjadi simbol kesedihan, namun juga menjadi simbol perlawanan kepada penindasan.
Editor: Yusuf