Kurang lebih setahun silam, dalam sebuah pertemuan rutin dengan Buya Syafii Maarif, beliau pernah menanyakan mengapa gelombang ateisme makin menguat di Timur Tengah? Saya sendiri tidak tahu persis dari mana Buya mendapat informasi ini. Tetapi setelah menelusuri media online memang beberapa media memuat hasil PEW Research Center (2010), WIN/Gallup International (2012), dan Institut Dar Al-Ifta (2014) tentang menguatnya ateisme di negara-negara Timur Tengah.
Kumparan.com (12/12/2017) merilis, “Menyibak Musabab Perkembangan Ateisme di Timur Tengah” dengan diawali kalimat pembuka yang cukup provokatif, “Ada hantu yang bergentayangan di Timur Tengah: hantu itu bernama ateisme.”
Sedangkan tempo.co (11/1/2019) merilis, “Jumlah Ateis di Arab dan Mesir Meningkat, Apa Pemicunya?” Baik tempo.co maupun kumparan.com banyak merujuk pada hasil penelitian tiga lembaga di atas, khususnya Institut Dar Al-Ifta yang cukup kontroversial.
Ateisme Menguat di Timur Tengah
Laporan penelitian PEW Research Center pada tahun 2010 menyebutkan bahwa sekitar 16 persen populasi di dunia menyatakan tidak terikat pada satu agama apapun, khususnya di negara-negara Barat yang sekuler. Pada tahun 2050 nanti, berdasarkan analisis PEW Research Center, diprediksikan gelombang ateisme di Amerika Serikat akan meningkat dari 16 persen menjadi 26 persen.
Yang menarik dari penelitian PEW Research Center tidak hanya mengambil sampel dari negara-negara sekuler saja. Pada tahun 2010, penganut ateisme di Timur Tengah sekitar 2,1 juta orang. Prediksi PEW Research Center pada tahun 2050 nanti jumlah pengikut ateisme di negara-negara Islam ini mencapai 3,2 juta orang.
Laporan WIN/Gallup International pada 2012 menjadi kontroversial karena gejala ateisme tidak hanya tumbuh subur di negara-negara Barat yang sekuler. Tetapi gejala agnostik juga makin menguat di negara-negara Islam di Timur Tengah.
Dari total 3.131 responden di negara-negara Arab, memang mayoritas masih sangat religius (77%). Sekitar 17 persen mengaku tidak religius, dan sisanya 2 persen mengaku ateis. Namun demikian, jika ditinjau dari lingkup negara, dari 502 responden di Arab Saudi sebanyak 5 persen mengaku ateis. Sedangkan dari 626 responden di Palestina sebanyak 4 persen mengaku ateis.
Laporan Institut Dar Al-Ifta pada 2014 menyebutkan secara rinci jumlah pengikut ateisme di negara-negara Islam di Timur Tengah. Seperti di Maroko 325 pengikut, di Tunisia 320 pengikut, di Irak 242 pengikut, di Arab Saudi 178 pengikut, di Yordania 170 pengikut. Disusul di Sudan 70 pengikut, di Suriah 56 pengikut, di Libya 34 pengikut, dan di Yaman 32 pengikut.
Analisis kumparan.com agak meragukan hasil survei Dar Al-Ifta ini karena sebelumnya, AKnews pada tahun 2011 telah merilis sebanyak 7 persen masyarakat Irak tidak percaya kepada Tuhan. Bahkan, sebanyak 4 persen masyarakat Irak menyatakan bahwa Tuhan tidak ada.
Ada Apa Sebenarnya?
Apa yang menarik dari data-data hasil survei lembaga-lembaga di atas adalah eksistensi paham ateisme di negara-negara Islam. Sebab, Islam adalah agama yang menempatkan keyakinan akan adanya Tuhan sebagai pondasi utama.
Lalu muncul pertanyaan, ada apa sebenarnya dengan agama Islam di Timur Tengah? Barangkali inilah kegelisahan Buya Syafii ketika mendapati informasi tentang menguatnya ateisme di Timur Tengah.
Sejumlah tesis diajukan dalam rangka menjawab fenomena ateisme yang kian menguat di Timur Tengah. Seperti Thomas L Friedman, kolumnis New York Times, memberikan analisisnya tentang gejala ateisme yang menjangkiti kaum muda di negara-negara Arab.
Menurutnya, kehadiran ISIS di samping telah menarik banyak pemuda dari berbagai belahan dunia untuk bergabung dengan gerakan ini. Tetapi di sisi lain gerakan politik ini tidak mencerminkan nilai-nilai ajaran Islam sehingga mereka frustrasi. Friedman meminjam analisis Nadia Oweidat, peneliti senior New America Foundation, untuk menguatkan analisisnya bahwa fenomena globalisasi terutama penggunaan internet di kalangan generasi muda telah membuka mata mereka tentang barbarianisme gerakan ISIS.
Namun demikian, analisis Friedman dibantah oleh Brian Whitaker, penulis buku Arabs Without God (2014). Dalam survei sebelum memulai menulis buku ini, Whitaker telah mewawancarai beberapa responden yang memutuskan untuk menjadi ateis. Dari seluruh jawaban responden tidak satupun berkaitan dengan kehadiran gerakan ISIS.
Justru, kebanyakan responden memberikan jawaban akan kegelisahan para milenial muslim yang tidak terakomodasi dalam pelajaran maupun buku-buku keagamaan yang mereka pelajari.
Withaker mengisahkan ketika mewawancarai Mohammaed Ramadhan, seorang ateis dari Mesir. Menurutnya, pemahaman keagamaan yang sudah berlaku umum tampaknya sudah tidak merepresentasikan pola pikir kaum muslim milenial yang memang sudah berubah seiring dengan pengaruh perkembangan zaman.
Ramadhan mengaku bahwa ia tidak puas dengan konsep kekekalan neraka. Ia mengisahkan pengalaman masa kecilnya ketika bertanya kepada orang tua, “Mengapa Tuhan menghukum kita selamanya padahal kita hanya hidup kira-kira selama 70-an tahun?” Dan pertanyaan tersebut tidak pernah terjawab dengan memuasakan dahaga intelektualnya hingga akhirnya ia memilih menjadi seorang ateis.
Sebuah Catatan
Sejenak, setelah membaca tesis Friedman dan Whitaker, saya langsung ingat dengan dua terminilogi yang diinisiasi oleh Buya Syafii sendiri. Yaitu, tentang “misguide Arabism“ dan “nalar sumbu pendek.”
Sekilas dalam pengamatan saya, baik Friedman maupun Whitaker, telah menjelaskan latar belakang mengapa ateisme menguat di Timur Tengah. Friedman menjelaskan dalam perspektif dinamika politik global dengan menguatnya gejala konservatisme keagamaan hingga muncul gerakan ISIS di Timur Tengah.
Tentu saja analisis Nadia Oweidat sangat relevan untuk menguatkan tesis ini. Bahwa dampak globalisasi, terutama lewat kehadiran teknologi informasi (khususnya internet) telah membuka tabir rahasia ISIS yang sebenarnya.
Mengapa ISIS begitu mendapat banyak simpati dari umat Islam dari berbagai belahan dunia? Dalam konteks ini, saya memandang bahwa persepsi mayoritas umat Islam masih menempatkan segala apa yang berasal dari negara-negara Arab dianggap benar atau merepresentasikan Islam.
Maka kehadiran ISIS dianggap sebagai bentuk pemerintahan Islam yang menerapkan sistem kekhalifahan global. Percaya atau tidak, pada pertama kalinya ISIS muncul banyak kalangan yang mendukung gerakan ini karena dianggap sebagai representasi Islam.
Setelah kedok ISIS terbongkar karena tindak barbarianism para pengikut gerakan ini, mereka yang tadinya menaruh simpati langsung menjadi bimbang. Memang kebanyakan generasi muda muslim banyak yang terkecoh dalam hal ini. Bahkan, tidak jarang mereka yang semula mendukung ISIS berbalik menjadi penentangnya. Barangkali term misguide Arabism ala Buya Syafii pas untuk membaca gejala yang satu ini.
Kegelisahan dan Keraguan Milenial
Sedangkan analisis Whitaker menjelaskan latar belakang mengapa ateisme menguat di Timur Tengah dalam perspektif internal umat Islam. Khususnya dalam merespon paham keagamaan yang sudah tidak merepresentasikan pola pikir kaum milenial.
Akibat kemandegan pemikiran Islam, baik di bidang kalam maupun fikih, maka produk-produk pemikiran maupun hukum yang sudah kadaluarsa tidak mampu menghilangkan dahaga intelektual dan spiritual generasi milenial.
Kemandegan pemikiran Islam, baik dalam bidang filsafat/kalam maupun fikih, lebih disebabkan karena kejumudan berpikir kaum muslimin saat ini. Pemikiran kalam dan fikih tidak lagi ditempatkan dalam kancah perdebatan ilmiah, tetapi telah dianggap sebagai “agama Islam” itu sendiri.
Inilah gejala yang disebut oleh Buya Syafii sebagai gejala “nalar sumbu pendek.” Setiap pemikiran kritis, entah bidang kalam maupun fikih, yang muncul di kalangan umat Islam akan selalu dicap sebagai “liberal”, “pemecah belah umat”, “syi’ah” dan lain-lain.
Zaman telah berubah dan generasi milenial memiliki pola pikir yang berbeda dengan generasi tua. Maka produk-produk pemikiran teologis dan fikih keagamaan yang notabene diproduksi oleh generasi tua, sudah tidak mampu lagi menjawab kegelisahan dan keraguan kaum milenial.
Akibatnya, kaum milenial menaruh respek kepada agama formal, aspirasi mereka tidak terwadahi dalam sistem dan struktur pemikiran teologis dan fikih klasik. Akhirnya mereka memilih untuk mengabaikan agama.
Editor: Nabhan