Inspiring

Buya Syafii dan Bahasa Kritik tanpa Tedeng Aling-Aling

4 Mins read

Semakin tersembunyi, semakin sopanlah pesan yang disampaikan. Itulah salah satu corak bertutur orang Jawa. Cara mengkritik pun setali tiga uang. Semakin tersirat, semakin baik. Memang tidak bisa digebyah-uyah, tapi begitulah yang galib saya lihat, alami, bahkan lakoni.

Namun, yang demikian itu akan sulit Saudara temui pada sosok yang satu ini. Kepada ulama, guru bangsa, mantan pemimpin ormas besar Islam, dan satu di antara ”tiga pendekar dari Chicago”. Dialah Ahmad Syafii Maarif. Sebagai seorang cendekiawan, kala itu Syafii Maarif sering menulis catatan-catatan kritis seputar kondisi umat Islam khususnya dan bangsa Indonesia umumnya.

Pada masa-masa sangat produktifnya, di seputaran tahun 2000, sebelum dan sesudahnya, tulisan Buya Syafii tersebar luas di berbagai media massa. Di samping gagasannya yang kritis dan reflektif, gaya bahasanya seperti yang sempat saya singgung bertolak belakang dengan sikap orang Jawa tadi. Buya Syafii terbiasa menggunakan bahasa-bahasa yang lugas, tanpa tedeng aling-aling, bahkan sesekali memilih peranti metafora sebagai bahan acuan.

Bahasa-bahasa yang demikian itu dapat ditemukan pada buku-buku Buya semasa muda seperti Membumikan Islam (1995), Islam dan Politik (1999), Mencari Autentisitas dalam Dinamika Zaman (2004), dan Menerobos Kemelut (2005). Buku di atas lantas dicetak ulang dalam 1-2 tahun belakangan. Atas sesuatu yang tak sesuai dengan kehendak hatinya, akal budinya, Buya Syafii secara tegas dan jelas melontarkan kritik, bahkan berulang-ulang di berbagai tulisan.

Ihwal dakwah dan politik, misalnya, Buya menegaskan bahwa dua hal itu tidak boleh dibolik-balik. Teguran keras ditujukan kepada orang-orang yang menjadikan dakwah sebagai medium untuk mencapai tujuan politik. ”Bila ini yang berlaku,” kata Buya, ”dapat kita katakan bahwa politik telah ’memerkosa’ agama demi tercapainya tujuan-tujuan yang rendah (Dakwah dan Politik: Ketegangan Antara Dua Sistem Nilai).

Baca Juga  Profil Ibnu Rusyd: Utamakan Nalar atas Perasaan
***

Jelas sekali pendirian Buya bahwa agama harus memiliki derajat yang lebih tinggi daripada politik. Maka, metafora yang muncul adalah ”memerkosa”. Lema ini dimaknai sebagai melanggar dengan kekerasan. Sudahlah melanggar, dengan kekerasan pula. Maka, jangan sekali-kali menjadikan agama dan dakwah untuk tujuan politik praktis. Istilah masa kininya, barangkali, politisasi agama. ”Dakwah selalu merangkul dan mempersatukan atau merangkul kawan sebanyak-banyaknya, sesuatu yang jarang berlaku dalam dunia politik yang sarat dengan bahasa retorika kepentingan pragmatis jangka pendek,” tulis Buya dalam Titik-Titik Kisar di Perjalananku, sebuah autobiografinya.

Pada tulisan Haji, Kolusi, Korupsi, dan Doa si Miskin yang tertuang dalam buku Membumikan Islam, ada kritik terhadap seseorang yang sudah bertitel haji. Sebagian orang yang sudah menunaikan haji tidak mengalami transformasi moral apa-apa. Lihatlah betapa beraninya Buya melabeli orang yang berhaji tidak berpengaruh terhadap moral mereka. Tak lain orang berhaji hanya ingin dipanggil ”Bu Haji”, ”Pak Haji”, dan sederet sandang artifisial lainnya. ”Bahkan, setelah haji sikap rakusnya terhadap harta haram semakin bertambah,” tulis Buya mengkritik para koruptor yang naik haji, tapi sepulang dari Tanah Suci malah kian menjadi-jadi.

***

Ketidaksukaan Buya Syafii terhadap program pembangunan era Orde Baru yang notabene dipimpin oleh seorang despot, Soeharto, juga sering dilontarkan. Salah satu program yang dikecam adalah Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (P4) yang legendaris itu. ”Sebuah penataran yang gagal total memperbaiki moral bangsa,” tegas Buya. ”Gagal total” dimaknai sebagai kondisi yang gagal sama sekali, yaitu sebuah upaya yang tak pernah menuai hasil, bahkan bisa dibilang malah merugi. Buya menulisnya pada era ’90-an. Artinya, kala itu Soeharto masih hidup dan Buya sama sekali tidak jera menyampaikan kritik demi kritik.

Baca Juga  Sayyid Ahmad Khan, Pembaru Islam Asal India

Kompratiot pendahulu Soeharto, Soekarno, juga tak luput dari iktirad. Jika kebanyakan orang melihat presiden pertama Indonesia itu dari sisi baik-baiknya saja, tidak demikian dengan Buya. Ia melihat Soekarno juga punya cela, salah satunya mengenai Demokrasi Terpimpin, sistem pemerintahan kala itu (1959-1966), yang disebut ”demokrasi tanpa demokrasi”. Otoritarianisme feodalistik, slogan-slogan kosong, malapetaka politik, dan seterusnya ialah cara Buya menggambarkan kepemimpinan Soekarno waktu itu. ”Kedua presiden Indonesia ini (Soekarno dan Soeharto) punya watak yang hampir sama: mabuk kekuasaan,” tulis Buya di buku Islam dan Politik. ”Soekarnoisme sama sekali bukan jawaban untuk menyelamatkan masa depan bangsa. Orla dan Orba sama-sama berkesudahan dan malapetaka politik, ekonomi, dan moral,” lanjut Buya. ”…Risikonya hanya satu: kehancuran.”

Kita amati bahasa-bahasa keras Buya di atas. Slogan kosong semakna dengan peribahasa tong kosong nyaring  bunyinya. Banyak bicara, tapi hasilnya nol. Soekarno memang dikenal sebagai orator ulung, tapi menurut Buya buah yang dihasilkan tidak sebanding lantaran gaya demokrasi terpimpin yang malah cenderung otoriter itu. Malapetaka, dengan kata lain disebut bencana, musibah, atau kesengsaraan, yang didapat. Soekarno dan Soeharto, masing-masing lewat Demokrasi Terpimpin dan Demokrasi Pancasila, sedang mabuk kekuasaan. Sebuah metafora yang bertendensi negatif. Keduanya tergila-gila dengan kekuasaan. Saking gilanya, Soeharto selama 32 tahun masa kekuasaannya telah berhasil ”membunuh” semua ideologi politik dengan menjadikan Pancasila sebagai satu-satunya ideologi pada 1985.

***

Pertanyaannya, meskipun hingga kini berpegang teguh pada Pancasila, mengapa negeri ini belum juga siuman secara moral dan politik? Lagi-lagi, dengan memakai metafora siuman/sadar, Buya seolah ingin menyampaikan bahwa Indonesia sedang pingsan atau tidak sadar. Karena sedang pingsan, berarti Indonesia selama ini ”tidak berbuat apa-apa”. Putus Asa dengan Indonesia?-kah Buya sebagaimana tulisan lainnya.

Baca Juga  Hassan Hanafi dan Gagasan Teologi Universal

Di buku Menerobos Kemelut, kritik terhadap dunia pendidikan terwujud dalam tulisan berjudul Wajah Bopeng Pendidikan Kita. Bopeng semakna dengan cacat atau galat. Untuk menggambarkan kondisi umat Islam, Buya Syafii juga pernah menggunakan istilah buritan. Buritan yang dimaksud adalah terbelakang. Umat Islam, kritik Buya, tak jarang masih berada jauh di belakang dan tertinggal. Berikut salah satu contoh kutipannya.

Tanpa adanya keberanian kita untuk menampilkan peta ajaran baru yang tidak sarat oleh dosa-dosa sejarah, penulis khawatir kita akan berada di posisi buritan peradaban dalam masa yang agak lama. Islam dalam peta ajaran yang baru itu haruslah bercorak non-mazhab dan non-sektarian. Khazanah Islam klasik yang kaya raya itu memang perlu dibaca secara serius, tapi sekali-kali tidak untuk diberhalakan.

Bagi orang Jawa, barangkali kritik Buya cenderung dipandang kasar, terus terang, dan apa adanya. Tapi, bagi Buya yang kebetulan orang Minang, entah berkaitan atau tidak, begitulah kritik terbaik: tegas, lugas, dan terbuka. Penggunaan metafora, alih-alih memperhalus, justru membuat nuansa kritiknya kian tajam.

Editor: Yahya FR
Related posts
Inspiring

Bintu Syathi’, Pionir Mufassir Perempuan Modern

6 Mins read
Bintu Syathi’ merupakan tokoh mufassir perempuan pertama yang mampu menghilangkan dominasi mufassir laki-laki. Mufassir era klasik hingga abad 19 identik produksi kitab…
Inspiring

Buya Hamka, Penyelamat Tasawuf dari Pemaknaan yang Menyimpang

7 Mins read
Pendahuluan: Tasawuf Kenabian Istilah tasawuf saat ini telah menjadi satu konsep keilmuan tersendiri dalam Islam. Berdasarkan epistemologi filsafat Islam, tasawuf dimasukkan dalam…
Inspiring

Enam Hal yang Dapat Menghancurkan Manusia Menurut Anthony de Mello

4 Mins read
Dalam romantika perjalanan kehidupan, banyak hal yang mungkin tampak menggiurkan tapi sebenarnya berpotensi merusak, bagi kita sebagai umat manusia. Sepintas mungkin tiada…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *