Falsafah

Averroes, Nalar, dan Syariat

6 Mins read

Nalar dan Syariat

Kita mengambil kata “nalar” dari bahasa Arab nazhar. Kata “syariat” juga dari bahasa Arab, syari’ah. Dua-duanya saat ini telah mendarah-daging dalam lidah dan pemikiran kita di Indonesia. Memang dekat, akan tetapi tidak berarti bahwa makna yang kita berikan pada keduanya sudahlah tepat.

Kita perlu memberi sedikit perhatian kepada nasib buruk nalar di dunia Islam. Penelitian oleh Ahmet T. Kuru (2019) memberitahu kita bahwa prestasi saintifik banyak negara mayoritas Muslim masih tertinggal. Kita tahu bahwa antusiasme pada sains baru akan lahir apabila kepercayaan pada nalar berdiri di depan.

Prof. Kuru tidak hanya menjadikan prestasi saintifik sebagai ukuran ketertinggalan dunia Islam. Ia juga menjelaskan ketertinggalan itu dari kualitas demokrasi kita yang masih rendah. Rendahnya demokrasi yang dimaksud adalah pembatasan –yang biasanya legal– terhadap kebebasan berpendapat.

Di beberapa negara berpenduduk mayoritas Muslim, seperti Indonesia dan Pakistan, masih ada regulasi negara soal penistaan agama. Kita tahu sendiri bahwa membatasi pendapat sama dengan membatasi hak nalar untuk menyatakan suaranya.

Pada situasi yang paling menyedihkan, terlantarnya nalar terjadi sewaktu kekerasan dilegalkan atas nama agama. Meski tidak semengenaskan kekerasan fisik, hal lain yang menjerumuskan nalar ke titik nadirnya juga adalah pembiaran kita atas materi-materi irasional, nonfaktual, dan ahistoris yang berseliweran dalam percakapan publik kita.

Kita membiarkan sekolah-sekolah menerapkan aturan pakaian agama tertentu atas siswi, membiarkan telinga kita dimasuki ajaran bahwa bumi itu datar, bahwa evolusi itu palsu, atau bahwa dunia sedang berkonspirasi untuk menyingkirkan umat Islam.

Barangkali dibandingkan nasib nalar yang mengenaskan itu, nasib syariat masih baik-baik saja. Alasannya adalah sebab kita melihat di mana-mana peningkatan antusiasme kehidupan syar’i. Tujuan utamanya adalah mensyariatkan segala hal.

***

Dengan orientasi semacam ini, anak-anak Muslim kita di sekolah tidak dididik untuk mencintai nalar, filsafat, dan sains; atau Avicenna, Descartes, dan Newton. Bayi yang masih mungil-mungil sudah didandani dengan jilbab dan celak mata. Hal-hal sepele ini diiklankan sebagai sunnah. Dengan begitu Indonesia bersyariah, menurut mereka, akan segera tercipta.

Apakah bangsa dan masyarakat kita adalah tipe yang gampang meremehkan sesuatu? Ada banyak indikasi yang mengiyakan hal tersebut. Kita patut ragu bahwa fenomena populisme agama dan komodifikasi agama adalah hal baru, terjadi satu dua dekade belakangan, dan besok pasti sudah akan hilang. Meningkatnya irasionalitas publik berbasis agama di Indonesia seharusnya tidak dianggap sepele.

Pikiran dan doktrin dangkal mengenai syariat –seperti yang disebut di paragraf-paragraf sebelum ini– akan menjadi keyakinan, dan akan mengakar di alam pikiran generasi Indonesia yang selanjutnya.

Averroes dan Rasionalisme Islam

Pada tahun 1179 M di Spanyol, Averroes memutuskan untuk membasahi pena, menggelar gulungan kertas, dan mulai menuliskan kitab penting berjudul Fashl al-Maqal fi Taqriri ma bayna al-Syari’ah wa al-Hikmah min al-Ittishal [Makalah Penentu tentang Kepastian bahwa antara Syariat dan Filsafat terdapat Keterhubungan].

Baca Juga  Negara Ideal Menurut Ibnu Rusyd

Karena kitab ringkas inilah Prof. Majid Fakhry menilai Averroes lebih berhasil mengharmoniskan Islam dan filsafat, dibandingkan para pendahulunya. Sementara Prof. Richard C. Taylor menilai bahwa rasionalisme Islam yang paling otentik ada di kitab ini. Prof. Etienne Gilson bahkan memandang bahwa rasionalisme yang mendorong Barat keluar dari dogmatisme teologi adalah rasionalisme Averroes.

Kita dapat mengatakan bahwa intisari pemikiran rasional Averroes adalah: (1) Nalar tidak berlawanan dengan syariat, (2) Syariat memerintahkan manusia untuk memaksimalkan nalar, dan (3) Dengan begitu syariat tidak mungkin membatasi nalar. Averroes berkata:

Sudah jelas bahwa syariat telah mewajibkan bernalar secara ilmiah mengenai segala sesuatu yang ada, dan syariat juga mewajibkan investigasi mendalam atas segala sesuatu; dan arti dari investigasi mendalam  itu sendiri tidak lain adalah mempelajari sesuatu yang belum diketahui melalui sesuatu yang sudah diketahui dan mengeluarkan yang belum diketahui itu dari yang sudah diketahui, dan ini sebenarnya adalah logika rasional; maka adalah wajib bagi kita untuk bernalar atas segala sesuatu menggunakan logika rasional (Fashl al-Maqal, 4).

Alasan di balik timbulnya kepedulian Averroes pada harmonisme nalar dan syariat, tidaklah jauh berbeda dari alasan kita saat ini. Averroes menghadapi derasnya penafsiran Islam yang sektarian. Islam yang dipahami sebagai agama eksklusif dan merasa cukup dengan dirinya sendiri.

***

Dengan perspektif demikian, banyak agamawan menceramahi masyarakat untuk menutup diri dari filsafat dan sains cetusan peradaban lain. Jenis agamawan ini menjadikan syariat seolah-olah tameng untuk menangkis segala senjata tajam beracun dari Yunani, Persia, India, dan Cina. Sebaliknya, Averroes justru berkata:

Apabila umat/bangsa lain telah lebih dahulu maju dalam ilmu pengetahuan, maka wajib atas kita untuk meminta bantuan mengenai hal ini kepada mereka yang lebih dahulu tersebut. Tidak jadi masalah apabila umat/bangsa lain itu seagama atau tidak dengan kita … Dan yang saya maksud dengan yang tidak seagama itu adalah bangsa-bangsa terdahulu sebelum datangnya Islam (Fashl al-Maqal, 10).

Menurut Prof. Abdurrahman Badawi peradaban Islam –meskipun kompleks dengan segala unsur etnik dan geografisnya yang beragam– memiliki satu karakteristik utama: Kepercayaan pada otoritas hukum ilahiyah (divine law). Divine law inilah yang mewujud dalam kodeks syariat, yaitu kitab suci Al-Quran, kemudian ditopang oleh tradisi Nabi.

Mengetahui karakteristik tersebut, Averroes mencari “jawaban” divine law tentang hukum bernalar, berfilsafat, bersains; dan hukum bersikap kosmopolitan dan tidak sektarian. Berdasarkan pada syariat itulah Averroes menemukan jawaban “wajib untuk bernalar dan belajar dari peradaban lain yang lebih maju”.

Baca Juga  Komentar Ibnu Rusyd Atas Republik Plato

Syariat Memihak Nalar

Dalam Fashl al-Maqal, Averroes memberi definisi filsafat sebagai “tidak lebih dari sebuah penalaran atas segala sesuatu, dan investigasi mendalam atasnya, dengan maksud semua itu sebagai penunjuk pada eksistensi Sang Seniman [Pencipta], sebab segala sesuatu ini adalah karya seni yang dicipta”.

Beranjak dari satu definisi itu, Averroes menyimpulkan alasan pentingnya penalaran atas segala sesuatu: “Segala ciptaan ini hanya akan menjadi penunjuk pada Sang Seniman apabila dipelajari dengan sempurna; dan sewaktu pengetahuan ilmiah kita tentang segala sesuatu makin sempurna, maka begitu pula pengenalan kita akan Tuhan juga makin sempurna”.

Satu definisi dan satu kesimpulan menjadi argumentasi logis Averroes untuk membela pentingnya mendahulukan nalar. Kemudian ia melanjutkan elaborasi argumentatif ini dengan serangkaian loci probantes (dokumen pendukung) dari teks-teks syariat:

“Fa’tabiru, ya uli al-abshar [Investigasilah secara mendalam, wahai orang-orang yang berpandangan], adalah petunjuk mutlak tentang wajibnya penggunaan logika rasional; Awa lam yanzhuru fi malakut al-samawati wa al-ardh wa ma khalaqa Allahu min syay’ [Tidakkah mereka memikirkan keadaan lelangit dan Bumi dan segala sesuatu yang Tuhan ciptakan], adalah petunjuk mutlak tentang dorongan bernalar akan alam semesta” (Fashl al-Maqal, 3).

Satu hal yang tidak akan ditemukan di dalam kitab-kitab Averroes adalah klaim bahwa syariat –dalam hal ini, Al-Quran– mengandung segala ilmu pengetahuan. Sebenarnya bukan hanya Averroes yang tidak melakukan klaim pseudo-sains kitab suci. Sejak dari Al-Kindi, Al-Farabi, Avicenna, bahkan Al-Ghazali menyadari tidak masuk akalnya klaim tersebut.

Akan tetapi, semenjak dipicu oleh Maurice Bucaille di pertengahan abad 20, dunia Islam makin tergoda untuk mendakwa bahwa segala temuan sains modern sudah disinggung Al-Quran seribu tahun silam.

Menurut fisikawan Pervez Hoodbhoy (1996) bukanlah ini yang dimaksud dengan mengharmoniskan Islam dan sains. Menurut Hoodbhoy, apalah artinya mengklaim sesuatu yang sudah dibuktikan secara ilmiah dan bertanggung jawab oleh saintis Barat.

***

Hoodbhoy berkata bahwa alih-alih mempelajari metodologi sains dan memahami segala temuan empirisnya, kita malah sibuk memberi tafsiran pseudo-sains atas ayat-ayat suci, yang hakikatnya tidak sedang bicara sains.

Fisikawan lainnya, Nidhal Guessoum (2013), yang mendakwa bahwa dirinya sedang meneladani jejak Averroes, juga menyesalkan hal serupa. Menurut Guessoum, rasionalitas dan sains tidak muncul dengan cara apologetik yang kuno tersebut. Apologia bahwa Al-Quran mengabarkan hal-hal ajaib yang tidak bisa dicapai sains seribu tahun lalu, lebih seperti pelarian diri (eskapisme) dari fakta bahwa dunia Islam sedang terpuruk.

Prof. Harun Nasution (1970) menegaskan bahwa rasionalitas Al-Quran ada pada posisinya sebagai loci probantes terhadap rasionalitas filsafat dan sains. Sementara secara material, lanjut Prof. Harun, kitab suci ini tidak membicarakan sains secara langsung. Apa yang Prof. Harun Nasution, Hoodbhoy, dan Guessoum katakan adalah lanjutan yang senafas dari argumentasi Averroes yang lebih dahulu disebutkan di atas.

Baca Juga  Metode Ibnu Rusyd dalam Mencari Kebenaran

Nalar dan Perilaku Rasional

Frasa “syariat memihak nalar” adalah redaksi yang paling tepat untuk menggambarkan metode Averroes. Metode ini di sisi Averroes dijalankan secara penuh konsekuensi, dan tetap meyakini bahwa kedua variabel –syariat dan nalar– pada esensinya tidak ditakdirkan untuk bertabrakan.

Menurut Averroes, pemihakan syariat kepada nalar itu nyata, sehingga kapan pun terjadi kontradiksi literal dari bunyi syariat dengan temuan nalar, maka bunyi literal syariat akan membuka dirinya pada operasi ta’wil, yang didefinisikan oleh Averroes sebagai interpretasi alegoris.

Konsekuensi lainnya yang dijalankan oleh Averroes adalah memberikan posisi prioritas kepada metode rasional Aristoteles yang bernama demonstrasi [al-burhan]. Logika demonstrasi berbeda dari logika dialektika dan retorika pada satu hal yang mendasar: Kualitas premis-premisnya.

Menurut ‘Allamah Atsiruddin al-Abhari, burhan diunggulkan dalam penalaran karena alasan kualitas premisnya. Premis burhan harus didasarkan pada pengetahuan meyakinkan dari metode-metode ilmiah seperti penghitungan matematis, observasi empiris, pengalaman yang berhasil dibuktikan, eksperimentasi ilmiah, dan data-data historis.

Sementara itu, kita tidak boleh terjebak untuk membatasi makna rasionalitas hanya pada lingkungan sains dan filsafat teoretis. Argumentasi “syariat memihak nalar” dari Averroes ini tidak berhenti di situ. Disebutkan di muka bahwa ditinggalkannya nalar juga bermakna hilangnya kontrol nalar terhadap perilaku dan aktivitas praktis kita. Tidak ada alasan untuk menyebut koruptor dan penipu sebagai manusia bernalar.

Prof. Syed Hussein Alatas memperingatkan bahwa korupsi merupakan perilaku yang bertanggung jawab merusak efisiensi dan efektivitas kerja birokrasi suatu negara. Sangat berkebalikan dengan asumsi kita selama ini bahwa korupsi justru bisa memperpendek panjangnya alur birokrasi. Apabila peringatan Prof. Alatas ini kita pahami lebih dalam, sebenarnya korupsi adalah musuh besar lainnya bagi rasionalitas publik dan negara. Bukankah efisiensi, efektivitas, dan kejujuran adalah praktik yang timbul dari kesadaran pentingnya perilaku dan sistem yang rasional dalam bernegara?

***

Dengan membaca Averroes secara lebih mendalam, kita dapat menyaksikan sebuah ekspresi Islam yang bertolak belakang dari yang selama ini lebih menarik disorot media, yaitu fundamentalisme atau radikalisme. Dalam hal ini, media juga harus dikritik, karena peran edukatif lebih jarang mereka mainkan daripada peran eksploitatif. Namun, tanggung jawab melindungi nalar dari eksploitasi media, retorika penceramah, atau virus kemalasan, adalah milik kita sendiri. Mulailah dengan menaruh keyakinan pada nalar.

Ibnu Rusyd
49 posts

About author
Mahasiswa Pascasarjana Studi Islam Universitas Paramadina
Articles
Related posts
Falsafah

Deep Ecology: Gagasan Filsafat Ekologi Arne Naess

4 Mins read
Arne Naess adalah seorang filsuf Norwegia yang dikenal luas sebagai pencetus konsep “ekologi dalam” (deep ecology), sebuah pendekatan yang menggali akar permasalahan…
Falsafah

Sokrates: Guru Sejati adalah Diri Sendiri

3 Mins read
Dalam lanskap pendidikan filsafat, gagasan bahwa guru sejati adalah diri sendiri sangat sesuai dengan metode penyelidikan Sokrates, filsuf paling berpengaruh di zaman…
Falsafah

Homi K. Bhabha: Hibriditas, Mimikri, dan Ruang Ketiga

4 Mins read
Homi K. Bhabha, salah satu tokoh terkemuka dalam teori pascakolonial, berkontribusi membangun wacana seputar warisan kolonialisme secara mendalam, khususnya melalui konsepnya tentang…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

This will close in 0 seconds