Di tengah tantangan dan problema serius yang terus mendera bangsa ini, Azyumardi Azra berpendapat diperlukan sebuah paradigma baru pembelajaran dan pendidikan dalam rangka mengurai kebuntuan dan mengembangkan potensi anak didik secara holistik, yakni pembelajaran emansipatoris. Sebab, menurutnya, era global – terkadang juga disebut sebagai ‘era kesejagatan’ – menandai era penting dalam berbagai aspek kehidupan manusia, tak terkecuali pendidikan.
Apa Itu Pembelajaran Emansipatoris?
Berbagai kemajuan di bidang teknologi dan roda transportasi telah mengakselerasi – jika tidak menyebabkan – proses globalisasi tersebut. Implikasinya, informasi instan dapat diterima kapanpun dan di manapun tanpa sekat ruang dan waktu sehingga dalam hal ini menuntut adanya penyegaran paradigma (the refreshing paradigm) pada aspek pendidikan. Salah satu yang Azra tawarkan adalah pembelajaran emansipatoris sebagaimana dijelaskan di muka. Tanpa berpanjang lebar, Azra dalam bukunya Pendidikan Islam: Transisi dan Modernisasi di Tengah Milenium III, mendefinisikan pembelajaran emansipatoris sebagai paradigma pembelajaran yang sejak dari tingkat padangan dunia filosofis (philosophical worldview) sampai ke tingkat administrasi maupun pedagogi menuju ke arah pembebasan peserta didik dalam segenap eksistensinya.
Dengan kata lain, pembelajaran emansipatoris menitikberatkan pada demokratisasi proses pembelajaran. Pedagogi emansipatoris (emancipatory pedagogy) didasarkan pada gagasan bahwa pendidikan harus berperan dalam menciptakan masyarakat yang adil dan demokratis. Tujuan pendidikan utama dari paradigma ini adalah perwujudan humanisasi, kesadaran kritis, dan membangun sistem pendidikan yang mengedepankan masalah.
Antara Paulo Freire dan Azyumardi Azra
Dengan pendekatan dan intonasi yang berbeda Freire mengkritik pembelajaran dan pola pedagogi yang gagal menjadikan anak didik sebagai manusia merdeka; mereka tetap menjadi orang-orang tertindas (the oppressed). Sekolah, lanjut Freire, bahkan memasung mreka dalam ‘budaya bisu’ (culture of silence), sehingga kehilangan kemampuan untuk mengekspresikan pemikiran mereka. Anak didik hanya menjadi objek dari apa yang disebut sebagai ‘banking concept of education’, di mana mereka diperlakukan bak wadah kosong, dan karena itu harus dijejali berbagai materi yang sarat akan kepentingan penguasa.
Atas fenomena ini, Freire menawarkan model dan pola pembelajaran yang ia sebut sebagai “pedagogy of the oppressed”. Dalam hal ini, pembelajaran emansipatoris dapat dibaca dalam kerangka Freire. Senada dengan Freire, Azyumardi Azra mengetengahkan isu tentang perkembangan demokratisasi di segala bidang. Seiring dengan meningkatnya proses demokratisasi dan equity dalam pendidikan, dalam pandangan Azra, pendidikan pun harus semakin terdemokratisasi. Sebab akan memberi peluang lebih besar bagi anak didik untuk mengekspresikan gagasan mereka. Dalam konteks itu, peran sekolah hendaknya menjadi ‘laboratorium’ bagi perkecambahan, penumbuhan, dan penguatan demokrasi dan oleh sebab itu, para guru memainkan peranan penting dalam hal tersebut.
Sedemikian parahnya sistem pendidikan di negeri ini membuat Azyumardi Azra harus ‘turun gunung’ dan berjibaku dalam persoalan carut-marutnya pendidikan. Bagi Azra, democratic education (pendidikan yang demokratis) dan democracy education (pendidikan demokrasi) merupakan dua hal yang saling berkaitan dan menunjang. Orang sulit berbicara tentang proses pendidikan di sekolah jika proses pendidikan itu sendiri tidak terdemokratisasi secara apik. Menurut Azra, pendidikan yang demokratis juga merupakan pendidikan yang partisipatoris (participatory education).
Sangat Dibutuhkan
Pendidikan yang partisipatoris dan emansipatoris di era kekinian sangat dibutuhkan – meminjam istilah Paulo Freire – dalam pendayagunaan kesadaran kritis sebagai representasi dua model pendidikan yang dimaksud. Menurut Freire, orang-orang yang tertindas (dikucilkan) perlu dikembangkan kesadaran kritisnya (critical consciousness) guna menantang hegemoni ide-ide penguasa yang menjadi penindasnya. Mereka harus mampu menilai secara kritis, baik ide, konteks maupun jalinan/ relasi yang biasanya taken for granted atau diterima sebagai hal yang tak terhindarkan, untuk mempertanyakan akar penyebab penindasan mereka.
Dalam kerangka pendidikan emansipatoris dan demokratis, guru bukan lagi satu-satunya pemegang monopoli dalam proses pembelajaran. Tentu saja, ia tetap berperan sebagai fasilitator dan salah satu ‘narasumber’ penting pembelajaran sebab pengalaman dan ilmu yang ia miliki. Namun, pada saat yang bersamaan, kini ia harus lebih siap mendengar; lebih siap memberikan kesempatan anak didik untuk mengekspresikan pemikiran dan gagasannya sekalipun liberal.
Di tingkat ini, peserta didik akan dapat mengembangkan dan mendayagunakan pengetahuan yang lebih eksploratif dan analitis (useful knowledge), berpikir kritis (critical thinking), kesadaran (conscientisation), dan transformatif. Jelas, hanya dengan pendidikan yang demokratis peserta didik terbentuk menjadi – meminjam istilah Azra – democratic citizens, yang memiliki civic values sehingga dapat mengekspresikan pemikiran mereka dengan penuh keadaban (civility).
Editor: Soleh