Perspektif

Azyumardi Azra: Bukan Agama yang Tak Rukun, Tapi Umatnya!

3 Mins read

Belum lama ini, Indonesia berduka kehilangan sosok intelektual Muslim, Azyumardi Azra, yang telah banyak menyumbangkan pemikiran dalam kemajuan peradaban bangsa. Azra, dan intelektual Muslim lain yang telah berpulang, sejatinya tidak benar-benar mati. Sebab, jiwa (pemikiran) para intelektual akan terus hidup dalam torehan karya mereka.

Azra termasuk intelektual Muslim yang telah banyak menyumbangkan karya dalam upaya kemajuan peradaban Indonesia, khususnya dalam pembinaan moral bangsa. Dalam hal ini, tema kerukunan antarumat beragama termasuk satu hal yang menarik perhatian Azra.

Dialog Antarumat Beragama

Kerukunan antarumat merupakan satu hal penting, bahkan merupakan kebutuhan mendasar, bagi masyarakat Nusantara yang majemuk. Sebab, tanpa kerukunan yang ada hanya lingkaran kehidupan yang penuh konflik, perpecahan, dan kekerasan. Untuk itu dalam upaya merajut dan menjaga kerukunan, menurut Azra, dialog antarumat beragama adalah penting.

Sebagaimana Azra dalam Reposisi Hubungan Agama dan Negara: Merajut Kerukunan Antarumat menjelaskan, “…kesediaan untuk berdialog… tidak hanya akan mendorong tercipta dan berkembangnya pemahaman lebih baik tentang agama orang lain, tetapi bahkan akan memberikan wawasan lebih dalam terhadap agama sendiri. Dengan demikian, kita bisa optimis dapat menciptakan dunia yang sama sekali baru (Indonesia yang rukun nan damai).”

Kerenggangan, yang menjadi cikal bakal ketidakrukunan, sering kali bermula dari kondisi tidak saling memahami dan menghormati satu sama lain. Misalnya, sebagaimana dijelaskan Azra, “Kalangan Islam pada umumnya membantah kebenaran keimanan Kristen dan menganggapnya sebagai ajaran yang tidak logis dan, bahkan, bersifat takhayul. Sedangkan kalangan pastur Katolik dan pendeta Protestan memandang keimanan Islam sebagai terbelakang dan fanatik. Ketegangan yang terus meningkat ini mendorong terjadinya konflik terbuka di beberapa tempat.”

Jadi sikap intoleransi, seperti pengrusakan Masjid di Kanonang, Minahasa Utara, yang terjadi pada 2020 kemarin, atau yang belum lama ini terjadi, persekusi pembangunan gereja umat Kristiani di Cilegon, pada dasarnya lahir atas kegagalan untuk saling memahami dan menghormati sesama manusia yang beragama. Dalam hal ini, Azra tidak sepakat jika mengatakan benturan antarpemeluk agama sebagai konflik “antaragama”.

Baca Juga  Duka Pendidikan Kita

Sebagaimana Azra menjelaskan, “…apa yang terjadi sebenarnya bukan konflik antaragama, karena agama–dalam hal ini Islam dan Kristen (dan juga agama lainnya)–sama-sama mengajarkan ‘salam’ (kedamaian) dan ‘kasih’. Sebaliknya, yang terjadi adalah konflik ‘antarumat’, yakni manusia-manusia yang memeluk agama berbeda, yang karena bermacam-macam alasan, motif, atau faktor–politik, ekonomi, dan sebagainya–saling menghancurkan dengan menggunakan simbol-simbol agama dan legitimasi teologis agama masing-masing.”

***

Setiap agama tentu memiliki konsep keimanan dan peribadatan masing-masing, hal ini menjadi garis perbedaan antarumat beragama. Namun, jika digali lebih dalam, agama-agama tentu mengajarkan kasih dalam kehidupan, sebab agama pada dasarnya merupakan jalan menuju kebaikan hidup. Dari sini, dialog antarumat beragama dapat dimulai. Dan, sebagaimana dijelaskan Azra, bahwa dialog antarumat beragama harus berjalan dengan kondisi di mana setiap pemeluk agama bertemu sebagai orang yang sederajat.

Jadi dalam upaya membina kerukunan antarumat beragama harus kosong dari paradigma tirani mayoritanisme–antara mayoritas dan minoritas–dan mengedepankan semangan multi-agama dalam kehidupan. Dengan demikian, upaya untuk saling memahami dan menghormati antarumat beragama dapat berjalan, dan cahaya kerukunan tak akan berganti pekat kabut intoleransi.

Ejawantah Islam dalam Kerukunan Antarumat Beragama

Azra dalam Reposisi Hubungan Agama dan Negara: Merajut Kerukunan Antarumat menjelaskan, “Secara teologis, Islam adalah sistem nilai dan ajaran yang bersifat Ilahiah–dan karena itu sekaligus bersifat transenden. Tetapi dari sudut sosiologis, ia merupakan fenomena peradaban, kultural, dan realitas sosial dalam kehidupan manusia. Islam dalam realitas sosial tidak sekadar sejumlah doktrin yang bersifat menzaman dan menjagat raya (universal), tetapi juga mengejawantahkan diri dalam institusi-institusi sosial yang dipengaruhi oleh situasi dan dinamika ruang dan waktu.”

Islam tumbuh bukan dalam ruang kosong, melainkan dalam realitas sosial (masyarakat Nusantara) yang multi-agama. Memang secara keseluruhan Muslim merupakan mayoritas di Indonesia, dan itu bukan berarti tidak ada pemeluk agama lain. Sehingga, realitas sosial keislaman tidak boleh mengabaikan dinamika ruang Nusantara yang heterogen. Maka, untuk itu dibutuhkan paradigma keberislaman yang mengejawantahkan semangat kerukunan antarumat beragama.

Baca Juga  Mengapa Rasulullah Menjadi Idola?
***

Dalam hal ini, salah satu pandangan yang disorot oleh Azra adalah tafsir progressive revelation (pewahyuan progresif) Farid Essack dalam Al-Qur’an, Liberalisme, Pluralisme: Membebaskan yang Tertindas. Sebagaimana dalam Konflik Baru Antaraperadaban: Globalisasi, Radikalisme, dan Pluralitas, Azra mengomentasi pandangan Essack:

‘Progressive revelation’ dalam istilah tafsir dikenal sebagai tadrij, yaitu wahyu al-Qur’an disampaikan Tuhan secara berangsur-angsur dan bertahap. Kenapa bertahap? Di sini argumen Essack menarik; hal itu membuktikan bahwa Tuhan secara aktif terlibat dalam masalah dunia dan manusia. Prinsip tadrij secara sangat sempurna mencerminkan interaksi kreatif di antara kemauan Tuhan (will of God) dengan realitas kemanusiaan. Dan di antara realitas kemanusiaan itu adalah pluralitas umat manusia itu sendiri….”

Dialektika Islam tidak bisa mengabaikan realitas sosial yang majemuk, sehingga–sebagaimana Azra meminjam tafsir progressive revelation Essack–Islam menjadi agama yang mendukung prinsip pluralitas (kemajemukan) dalam kehidupan sosial. Dengan demikian, Islam menjadi syifa’ (solusi) dalam realitas sosial yang plural, dan berislam dapat berarti mengejawantahkan kerukunan antarumat beragama.

Editor: Yahya FR

Moh. Rivaldi Abdul
6 posts

About author
Alumni S1 PAI IAIN Sultan Amai Gorontalo (2019), dan S2 Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, Prodi Interdisciplinary Islamic Studies, Konsentrasi Islam Nusantara (2021). Sekarang, mahasiswa baru Program Doktoral S3 Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, Prodi Studi Islam, Konsentrasi Sejarah Kebudayaan Islam.
Articles
Related posts
Perspektif

11 Kategori Pengkritik Jurnal Terindeks Scopus, Kamu yang Mana?

2 Mins read
Dalam amatan penulis, ada beberapa kategori pengkritik jurnal terindeks scopus. Dalam tulisan ini, setidaknya ada 11 kategori yang saya temui. Berikut ulasan…
Perspektif

Murabahah dalam Tinjauan Fikih Klasik dan Kontemporer

3 Mins read
Jual beli merupakan suatu perjanjian atau akad transaksi yang biasa dilakukan sehari-hari. Masyarakat tidak pernah lepas dari yang namanya menjual barang dan…
Perspektif

Sama-sama Memakai Rukyat, Mengapa Awal Syawal 1445 H di Belahan Dunia Berbeda?

4 Mins read
Penentuan awal Syawal 1445 H di belahan dunia menjadi diskusi menarik di berbagai media. Di Indonesia, berkembang beragam metode untuk mengawali dan…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *