Falsafah

Bagaimana Stoikisme Memandang Cinta?

4 Mins read

Sebelumnya mungkin istilah Stoikisme tidak asing terdengar di telinga kita dan sempat viral di media sosial. Dimana gaya hidup Stoik atau Stoa banyak menginspirasi pola pikir generasi Z di tengah gempuran teknologi dan informasi.

Stoikisme adalah aliran atau pemikiran filsafat yang berkembang pada zaman Helenistik. Titik tekan pengajaran dari Stoikisme ini lebih ke arah memfokuskan diri, dan juga sebagai filsafat pengajaran tingkah laku hidup. Kemudian tujuan yang ingin dicapai oleh Stoikisme adalah mencapai titik ketentraman hidup (ataraxia).

Kebahagiaan menurut Stoikisme ini merujuk kepada perasaan tenang dan terbebas dari masalah. Stoikisme mengajarkan kita supaya tidak terikat oleh emosi berlebih, yang mana emosi berlebih itu bisa membuat kita kecewa.

Kemudian muncul sebuah pertanyaan, “Bukankah cinta itu juga merupakan keterikatan emosi? Dengan kata lain cinta itu emosi yang muncul secara berlebih tanpa mengenal makna logis”. Oleh karena itu, pada artikel ini penulis akan berusaha melihat perspektif Stoikisme tentang cinta itu bagaimana, dan seperti apa.

Dari pertanyaan di atas, seakan-akan Stoikisme disalah artikan sebagai ajaran yang sifatnya dingin dan sama sekali tidak memiliki emosi. Padahal, Stoikisme ini sebenarnya mengakui bentuk-bentuk emosi positif namun tidak berlebihan. Salah satunya yang akan dibahas adalah cinta.

Stoikisme Memandang Cinta

Supaya kita bisa memahami cinta dalam pandangan Stoikisme, kita harus mengerti mengenai permasalahan mendasar mengenai cinta. Menurut Becker Lawrence, ada dua permasalahan mendasar untuk memahami cinta Stoik.

Pertama, cinta sering dikaitkan dengan suatu cara kerja pelepasan emosi cepat, artinya bisa jadi cinta muncul secara tiba-tiba dan hilang secara cepat juga yang merujuk pada rekomendasi Epictetus (tokoh filsuf Stoa).

Kedua, dengan mencocokkan “gagasan cinta pada umumnya” dengan gagasan Stoik mengenai cara pengamatan emosi secara intelektual. Artinya, kita jangan sampai dikontrol oleh cinta buta yang tidak logis, tetapi kita juga harus mengerti dan melihat emosi cinta ini secara logis yang disertai dengan representatif oleh diri kita, apakah ini membawa manfaat atau tidak.

Baca Juga  Teologi Cinta Ibnu Sina: Semuanya Bermula dari Cinta

Adapun untuk menjawab persoalan pertama, kita harus melihat lagi pernyataan Epictetus secara lebih mendalam. Epictetus hanya menganjurkan kita untuk mengganti kepergian orang yang kita cintai selayaknya menggantikan gelas yang pecah. Kita perlu sadar sekaligus mengingat bahwa kepergian ataupun kematian merupakan suatu hal yang biasa dan sudah pasti terjadi dalam kehidupan.

Kita sering bertemu dengan orang lain dalam situasi apapun: berpapasan, menyapa, dan segera hilang. Lalu apa salahnya jika kita menggantikan orang yang kita cintai, yang kenyataannya sudah pergi atau hilang bersama orang lain?

Merasa kehilangan adalah sesuatu yang wajar, namun kita tidak pernah bisa membuat orang yang kita cintai itu abadi. Maka, pandangan Epictetus tetap mementingkan cinta, tetapi ia juga harus bersiap menghadapi kehilangan. Jika kita yang akan pergi meninggalkan orang yang kita cintai terlebih dahulu, kita juga sudah harus mempersiapkannya.

***

Perlu diingat bahwa Stoikisme mengajarkan kita mencintai orang lain layaknya kita mencintai diri sendiri. Tentu kita juga tidak ingin orang yang kita cintai berduka secara mendalam dan putus asa saat kehilangan kita. Oleh karena itu, selagi masih sempat, kita harus melakukan sesuatu kepadanya.

Kita harus memperlakukannya secara mandiri. Kita tidak melulu membuatnya tergantung kepada keberadaan kita terus menerus. Keterikatan diperbolehkan, tetapi bukanlah keterikatan berlebih yang dapat mengakibatkan kekecewaan besar yang hanya membawa pada masalah.

Untuk menjawab permasalahan kedua, kita harus melihat lagi konsep pemahaman representasi yang benar menurut Stoik dan tidak langsung terburu-buru membandingkan dengan konsep cinta pada umumnya.

Seorang Stoik harus memandang dua arah yang berbeda mengenai apa yang pada dasarnya memang nyata dan respons afektif (kemampuan seseorang yang berkaitan erat dengan emosi yang mampu ia kendalikan) apa yang pantas dilakukan.

Sebuah Contoh Kasus

Supaya mempermudah memahami hal ini, kita ambil contoh suami dan istrinya. Misal, suami ini ternyata menyadari bahwa istrinya selingkuh setelah bergaul dengan kawan barunya, di mana kawan barunya ini memang terbukti memiliki kedekatan yang tidak wajar dengan istrinya.

Baca Juga  Film Malena: Sebuah Kritik Atas Nilai Cinta Manusia yang Salah Kaprah

Istrinya sendiri menunjukan perubahan perilaku dan sifat anehnya, yang mana keanehan ini membuat suami merasa curiga. Sebab suami ini adalah seorang Stoa, ia harus melakukan representasi yang benar mengenai istrinya.

Suami ini harus mengetahui fakta yang benar-benar terjadi dan tidak melibatkan emosi mengikat apapun. Pertama, suami ini akan mengartikan bahwa istrinya selingkuh bisa jadi karena suami jarang pulang atau sibuk dengan pekerjaan. Kedua, istri ini selingkuh setelah berkawan dan terpengaruh oleh kawan barunya.

Melihat permasalahan seperti ini, orang lain bisa saja marah besar terhadap istri yang selingkuh, dan menutup-nutupinya karena ia terlalu mencintai, atau menganggapnya sebagai aib.

Namun, sebagai seorang Stoa, suami ini harus melakukan respons afektif yang pantas berdasarkan kenyataan yang ada. Fakta yang didapat adalah bahwa istrinya secara nyata melakukan perselingkuhan.

***

Maka yang bisa seorang suami lakukan yaitu; pertama, harus bicara secara terbuka kepada istrinya, jika memang istrinya ini bermasalah dan tidak bisa lagi diperbaiki. Kedua, suami ini berhak untuk marah kepada istrinya sebagai bentuk kekecewaan, namun dengan tujuan jelas, tidak berlebih, dan tetap menghargai pendapat istrinya. Ketiga, suami ini tetap melaksanakan operasional hukum yang berlaku, merehabilitasinya, dan tetap mendampinginya.

Contoh tadi mengambarkan bahwa seorang Stoa harus tetap melakukan representasi yang benar kepada orang yang ia cintai dan melakukan respon afektif yang memang pantas.

Respon afektif yang pantas adalah saat respon tersebut sesuai dengan kenyataan. Seorang Stoa tidak akan tergesa-gesa melakukan tindakan gegabah, melakukan representasi macam-macam, ataupun terlalu mendengarkan omongan orang lain.

Seorang Stoa akan memonitor segala emosi mereka dan sebisa mungkin tidak terlibat dalam tarikan emosi tersebut. Sedangkan, non-Stoik (atau yang Becker sebut sebagai romantik) terlihat jarang sekali melakukan peninjauan semacam ini.

Baca Juga  Gelar Webinar, Maarif Institute Serukan Untuk Tidak Lelah Mencintai Indonesia

Cinta ala Stoikisme

Cinta Stoik mengkritisi secara tajam mengenai pandangan umum kita terhadap cinta. Perasaan cinta kita kepada orang lain memang diperlukan, namun perasaan cinta ini tidak seharusnya merampas kewarasan kita.

Mengharapkan keberadaan hubungan dengan orang yang kita cintai menjadi abadi adalah konyol dan tidak mungkin. Mengikuti emosi dan membenarkan segala hal demi cinta juga hanya akan membawa masalah.

Stoikisme mengajukan sebuah cinta yang didasari dari kesiapannya untuk mengorbankan segalanya, kecuali kemampuan rasionalitas manusia. Cinta Stoik tetap sadar dan menekankan bahwa apa yang berada di luar diriku itu bersifat tidak bisa diandalkan.

Kemampuan rasional diriku adalah kemampuan yang dapat membantu untuk memperoleh representasi yang benar, sehingga diri dapat jauh dari masalah.

Stoikisme memberikan pengajaran kepada kita bahwa dalam mencintai, kita harus siap akan kehilangan dan tidak terlalu terikat secara berlebih dalam emosi-emosi. Cinta tetap merupakan sesuatu yang tidak wajib, namun cinta juga masih layak dijalankan.

Editor: Soleh

Mohammad Hayyi Syafwan Husna
1 posts

About author
Mahasiswa UIN Sunan Ampel Surabaya Minat Kajian Opini, Filsafat, dan Pengetahuan
Articles
Related posts
Falsafah

Deep Ecology: Gagasan Filsafat Ekologi Arne Naess

4 Mins read
Arne Naess adalah seorang filsuf Norwegia yang dikenal luas sebagai pencetus konsep “ekologi dalam” (deep ecology), sebuah pendekatan yang menggali akar permasalahan…
Falsafah

Sokrates: Guru Sejati adalah Diri Sendiri

3 Mins read
Dalam lanskap pendidikan filsafat, gagasan bahwa guru sejati adalah diri sendiri sangat sesuai dengan metode penyelidikan Sokrates, filsuf paling berpengaruh di zaman…
Falsafah

Homi K. Bhabha: Hibriditas, Mimikri, dan Ruang Ketiga

4 Mins read
Homi K. Bhabha, salah satu tokoh terkemuka dalam teori pascakolonial, berkontribusi membangun wacana seputar warisan kolonialisme secara mendalam, khususnya melalui konsepnya tentang…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

This will close in 0 seconds