Oleh: Azaki Khoirudin
Bahtiar Effendy merupakan pakar dan pengamat politik serta religi kelahiran Ambarawa yang lahir pada 1958 silam. Kepergiannya pada tanggal meninggalkan duka yang begitu dalam bagi seluruh kita semua. Ia adalah Guru Besar Ilmu Politik dan “Dekan Pertama” Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) 2009 di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah, Jakarta.
Bahtiar Effendy menyelesaikan pendidikan sarjana dari IAIN Jakarta pada tahun 1986, dan menyelesaikan pendidikan master pada program Asia Tenggara dari Ohio University (OU), Athens, Amerika Serikat, dua tahun kemudian. Hingga meraih gelar doktor pada Departemen Ilmu Politik, Ohio State University, Amerika Serikat (AS). Berhasil mempertahankan disertasinya “Islam and the State: The Transformation of Islamic Political Ideas and Practices in Indonesia” pada akhir musim gugur tahun 1994. Karya penting kemudian diterbitkan menjadi sebuah buku Islam dan Negara: Transformasi Gagasan dan Praktik Politik Islam di Indonesia.
Kembali ke Indonesia, di tahun 1995 memulai
memulai karier sebagai dosen di UIN Jakarta, Universitas Indonesia, juga
Universitas Muhammadiyah Jakarta.
Di dunia akademik, Prof. Bahtiar Effendy
tercatat sebagai Senior Fellow pada S. Rajaratnam School of International
Studies, Nanyang Technological University (NTU), Singapura, juga sebagai Fellow
pada Victoria University of Wellington, Selandia Baru. Ia juga merupakan anggota American Political Sciene
Association (APSA), World Conference on Religion and Peace (WCRP), Ikatan
Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI), dan Asosiasi Ilmu Politik Indonesia (AIPI).
Di Muhammadiyah, Prof. Bahtiar Effendy tercatat
sebagai Ketua Pimpinan Pusat Muhammadiyah 2015-2020 yang membidangi Hubungan
Luar Negeri.
Mitos Politik Islam
Transformasi gagasan antara dasawarsa 1970-an dan 1990-an tampaknya telah kehilangan signifikansinya tatkala muncul kesan bahwa Islam ideologis, simbolik dan formal tengah mendominasi wacana baru tentang Islam politik Indonesia. Penggunaan Islam sebagai asas partai, seruan untuk penerapan syariah Islam, upaya untuk memasukkan Piagam Jakarta ke dalam konstitusi baru, dan penentangan terhadap pencalonan Megawati pada 1999 yang didasarkan atas argumen keagamaan bahwa laki-laki harus memimpin (atau lebih kuat dibandingkan dengan) perempuan, merupakan indikasi jelas gelombang pasang Islamisme politik.
Pada Juni 1999, ketika masa kepresidenan Habibie, Indonesia mengadakan pemilihan umum (pemilu) demokratis kedua. Pemilu demokratis pertama diselenggarakan pada 1955 pada masa pemerintahan di bawah Perdana Menteri Burhanuddin Harahap. Dari segi pemilu yang diselenggarakan secara demokratis, negeri ini baru mengalami dua kali pemilu. Namun demikian, sejak 1971 hingga 1997, rezim Orde Baru telah melaksanakan enam kali pemilu secara berkala—setiap lima tahun sekali.
Rangkaian pemilu tersebut dan dua pemilu yang disebut terdahulu berbeda. Selama masa Orde Baru, pemilu dilaksanakan dalam suasana yang tidak kompetitif di mana intimidasi, tekanan, penipuan dan kecurangan. Dalam situasi seperti ini, partai Golkar yang berkuasa selalu tampil sebagai pemenang, dan menjadi satusatunya kekuatan politik yang dominan.
Dari perspektif Islam politik, Bahtiar Effendy menyatakan bahwa pemilu yang diselenggarakan secara bebas dan demokratis selalu dipandang sebagai instrumen politik yang menjadi pilihan utama untuk membawa para aktivis dan praktisi politik ke tampuk kekuasaan. Meskipun demikian, Bahtiar menganggap penting untuk disadari bahwa sistem demokrasi mengandung ambiguitas terkait dengan realisasi kepentingan kaum Muslim. Menurut Bahtiar sudut pandang ini tidak berkaitan dengan sikap para aktivis politik yang berorientasi Islam terhadap demokrasi, tetapi lebih berhubungan dengan peluang yang disediakan demokrasi yang menguntungkan mereka.
Pertanyaanya, seberapa nyata kemerosotan politik aliran terjadi selama periode rezim Orde Baru? Bagi Bahtiar, apabila orientasi keagamaan dipercaya memiliki peran penting dalam memengaruhi dan membentuk afiliasi kepartaian, maka jawabannya adalah negatif—kendati penting untuk dicatat bahwa dalam sebagian kasus, politik aliran pada masa pasca-Soeharto mungkin tidak sekuat seperti pada era 1950-an.
Namun, di samping kenyataan bahwa transformasi penting berkaitan dengan gagasan dan praktik politik kaum Muslim telah berlangsung selama tiga dasawarsa dalam periode Orde Baru, banyak aktivis politik Muslim yang tetap menganut Islam politik yang formalistik dan legalistik pada era demokrasi baru di Indonesia. Mereka berpandangan bahwa menjadikan Islam sebagai asas partai sebagai bagian dari hak demokrasi mereka. Sama halnya dengan upaya mereka untuk memasukkan Piagam Jakarta ke dalam konstitusi serta syariah Islam ke dalam sistem hokum di negeri ini.
Selama kampanye pemilu 1999, mereka juga menyerukan kaum Muslim agar memilih partai-partai Islam. Dengan demikian, sebanding dengan dinamika politik selama era demokrasi liberal tahun 1950-an, runtuhnya kekuasaan otoritarian Soeharto dan eforia demokrasi di negeri ini telah melahirkan Islam politik yang formalistik dan legalistik—kurang lebih, sejenis Islam politik yang hak-haknya telah dibungkam oleh rezim otoritarian Orde Baru (h. 427).
Masa Depan Islam Politik
Menurut Bahtiar Effendy, tidak berlebihan jika dikatakan bahwa apa yang disebut sebagai “politik ketakutan”, berkenaan dengan apa yang mungkin diakibatkan oleh Islam politik, telah tertanam kuat dalam sebagian besar lapisan masyarakat Indonesia. Kegagalan partai-partai Islam untuk menyadari kenyataan ini dan untuk meresponnya secara jujur dan objektif hanya memperkuat ketakutan tersebut.
Oleh sebab itu, merupakan hal yang alamiah bagi banyak pemilih yang tampaknya tidak mampu untuk melepaskan diri dari stigma semacam itu untuk memberikan suara mereka kepada partai-partai yang sejalan dengan preferensi ideologis-keagamaan mereka.
Dengan mengenyampingkan stigma sejarah, pada kenyataannya tidak ada yang perlu dikhawatirkan dengan kemunculan Islam politik. Dalam sebuah negara demokrasi, Islam politik terutama terwujud dalam bentuk partai-partai politik Islam yang menggunakan Islam sebagai asas ideologi dan simbol partai. Menurut Bahtiar baik pemilu 1955 maupun pemilu 1999 membuktikan bahwa, meskipun Muslim merupakan mayoritas penduduk di negeri ini, partai-partai Islam tidak dapat mengumpulkan jumlah suara terbanyak.
Bahtiar berkesimpulan bahwa kaum Muslim ditakdirkan untuk memiliki aspirasi politik yang berbeda-beda—dan terkadang saling bertentangan. Sejauh mereka beraneka-ragam dan tidak mampu mengekspresikan dan mengartikulasikan ide tentang Islam politik dari sudut kepentingan publik, maka partai-partai politik Islam akan sangat sulit untuk menjadi kekuatan dominan dalam panggung politik Indonesia.
Arah Baru Pemikiran Islam Indonesia
Dalam sebuah buku Merambah Jalan Baru Islam: Rekonstruksi Pemikiran Islam Indonesia Masa Orde Baru yang ditulisnya bersama Fachry Ali, Bahtiar Effendy membuka jalan atau paradigma baru pemikiran Islam di Indonesia, yaitu dengan merekontruksi menjadi model pemikiran selain substantif, dan universal, hal terpenting adalah berpijak pada realitas empiris masyarakat Indonesia. Dengan begitu, pemikiran Islam dapat menjawab persoalan riil yang sedang dihadapi masyarakat seperti politik, ekonomi dan budaya.
Dalam konteks peran pemikir Islam Indonesia sebagai perambah jalan baru, masalah yang timbul adalah berangkat bahwa alam pikiran Islam Indonesia yang telah santar mapan. Involusi pemikiran ini diakibatkan oleh semakin kompleksnya disiplin ilmu-ilmu agama masa lalu. Kerumitan ini disiplin ini tidak membentuk kerangka hubungan fungsional, sehingga pemikiran Islam tidak bisa menjawab persoalan kehidupan nyata.
Mengapa pemikiran Islam Indonesia terperangkap pada pada involusif? Pertama, kemapanan pemikiran modernis telah menempatkan dirinya dalam posisi reaktif ketika menanggapi alternatif-alternatif pemikiran yang dianggap menyimpang. Akibatnya pemikiran modernis tidak menawarkan pemikiran alternatif baru, hanya sibuk menolak, dan menjadi tidak produktif. Kedua, kalangan tradisionalis muncul mitologi Islam yang tidak berdasarkan doktrin Islam. Bentuknya adalah wejangan-wejangan sufi yang lahir pada abad pertengahan, yang sisa-sisa pemikiran itu “hanyalah diamalkan” begitu saja (h.306).
Arus baru pemikiran Islam muncul dari generasi muda Muslim Indonesia menyimpan gaung “kemanusiaan universal” yang digabungkan dengan kenyataan historis dan empiris masalah keumatan dan kebangsaan Indonesia. Ada semacam krisis yang menandai ketidakmampuan nilai-nilai pemikiran dan system kehidupan untuk bertahan lebih lama untuk menjawab krisis kemanusiaan.