Perspektif

Sejarah Beli Baju Lebaran

3 Mins read

Menjelang hari Lebaran, masyarakat Indonesia, khususnya yang Muslim biasanya akan disibukkan dengan sejumlah tradisi. Salah satunya adalah tradisi berbelanja baju baru.

Tradisi ini biasanya akan berlangsung sejak beberapa hari sebelum hari Lebaran tiba. Di saat-saat seperti inilah pasar-pasar, mal, serta toko-toko pakaian akan disesaki oleh para pengunjung dari berbagai kalangan, mulai pagi hingga sore hari.

Bahkan di pasar, tampak tidak sedikit para penjual dengan terpaksa memilih untuk terlambat pulang ke rumah mereka demi melayani para pengunjung yang terus berdatangan nyaris tak ada habisnya.

Asal Muasal Tradisi Beli Baju Lebaran

Dalam buku Sejarah Nasional Indonesia yang disusun oleh Marwati Poesponegoro dan Nugroho Notosusanto, disebutkan bahwa tradisi berbelanja baju baru ternyata pertama kali dilakukan masyarakat Banten pada masa silam, tepatnya di tahun 1596.

Di masa itu, Banten yang dinaungi oleh Kesultanan Banten sebagai kerajaan Islam, setiap kali menjelang Lebaran, mayoritas masyarakatnya akan sibuk berbelanja baju baru.

Tentu tidak semua masyarakat Banten saat itu menjalankan tradisi tersebut. Hanya mereka saja yang berasal dari kalangan kerajaan yang mampu melakukannya. Sementara mereka yang masyarakat biasa, karena mereka tidak mampu membeli baju baru, maka mereka akan menjahit baju sendiri.

Beli Baju yang Menjadi Agenda Wajib Pra Lebaran

Meski hanya sebatas tradisi dan tidak termasuk sebagai ibadah yang wajib, sebagian besar masyarakat Indonesia yang Muslim malah terkesan merasa sangat wajib untuk melaksanakannya.

Setiap kali menjelang Lebaran tiba, bahkan sesibuk apapun, mereka pasti selalu punya waktu luang untuk pergi ke pasar, mal, ataupun toko pakaian demi berbelanja baju baru.

Utamanya bagi keluarga yang secara ekonomi berkecukupan, tradisi ini menjadi agenda tahunan tersendiri bagi mereka yang sangat wajib mereka tunaikan.

Baca Juga  Menjadi Manusia Sesuai Alquran

Seolah mereka akan sangat berdosa jika tradisi itu tidak mereka lakukan. Harus ada baju baru yang mereka kenakan pada hari Lebaran nanti. Karena jika tidak, maka mereka akan merasa seperti kurang bersyukur dalam menyambut datangnya hari yang istimewa tersebut.

Padahal bersyukur dalam menyambut datangnya hari raya bukan hanya dilihat dari sebagus apa baju dan pakaian yang kita kenakan di hari Lebaran nanti, tetapi lebih dari itu.

Yang paling utama adalah bagaimana makna Idul Fitri terejawantahkan dengan baik dalam laku keseharian kita.

Makna Idul Fitri yang Sebenarnya

Kata Id berasal dari kata ‘aada-yauudu yang berarti kembali. Adapun kata Fitri bisa diartikan sebagai suci. Sehingga, mengejawantahkan makna Idul Fitri pada diri kita bisa dimaknai dengan kembalinya jiwa kita kepada kesucian. Dan hal itu tentu tidak bisa diukur dari bagus atau tidaknya pakaian yang kita kenakan.

Apa yang kemudian juga penting untuk disoroti dalam hal ini adalah alasan di balik dilaksanakannya tradisi tersebut oleh sebagian besar masyarakat Indonesia yang Muslim.

Yang paling banter kita dengar dari mereka adalah selain sebagai bentuk rasa syukur mereka dalam menyambut datangnya hari raya, juga sebagai simbol kembalinya jiwa mereka kepada fitrah.

Mereka meyakini bahwa baju baru yang mereka kenakan di hari Lebaran berarti melambangkan akan kebaruan jiwa mereka, layaknya bayi yang baru dilahirkan ke dunia yang suci dari dosa-dosa. Itulah barang kali sebabnya sehingga mereka selalu tidak ingin ketinggalan untuk menjalankan tradisi tersebut.

Sebuah keyakinan yang bernilai luhur dan mulia. Keyakinan yang mencerminkan adanya keinginan dan harapan akan sesuatu yang baik, yang dapat memaksa kita untuk lekas-lekas memberikan apresiasi dan pujian.

Baca Juga  Abdul Mu'ti: Pemerintah Jangan Melanggar Kebebasan Berkeyakinan

Namun, apakah realitanya memang demikian? Sayangnya, di kehidupan nyata kita justru malah menyaksikan penampakan yang sangat bertentangan dengan tujuan mereka di balik tradisi berbelanja baju Lebaran yang rutin mereka lakukan itu.

Lihat saja di pasar-pasar misalnya, setiap kali menjelang Lebaran, mereka dengan berduyun-duyun akan mendatangi pasar untuk memborong baju baru yang akan mereka kenakan pada hari raya nanti. Baju yang bukan hanya harus baru, tapi juga harus bermerek, mewah, bahkan dengan harga yang selangit.

Jika tidak bermerek dan berharga murah yang bagi mereka otomatis pasti akan berkualitas rendah, maka mereka akan enggan untuk membelinya. Mereka malu dan tidak percaya diri mengenakannya.

***

Seperti salah satu tetangga saya yang bahkan sampai-sampai rela menjual perhiasannya hanya untuk mendapatkan baju incarannya yang harganya hampir menyentuh jutaan rupiah. Menurutnya, mengenakan baju semahal itu, apalagi di hari Lebaran, dapat meningkatkan kepercayaan dirinya di hadapan teman-temannya.

Sehingga, kita tentu sangat patut untuk curiga, jangan-jangan alasan mereka berbelanja baju baru menjelang Lebaran sebagai bentuk rasa syukur mereka dalam menyambut hari raya sekaligus sebagai simbol akan kembalinya jiwa mereka kepada fitrah hanyalah tameng mereka saja.

Karena jika tidak demikian, mereka tentu tidak harus sebarbar itu ketika membeli baju baru. Mereka bisa saja kok membeli baju dengan harga yang murah. Murah bukan berarti tidak bagus. Banyak juga kok baju-baju murah tapi bagus.

Lagi pula di dalam Islam sendiri pakaian yang dianjurkan adalah bukan yang mahal dan mewah, yang paling penting adalah pakaian tersebut bisa menutupi aurat, bersih dan sopan.

Dan, ini bukan soal sebanyak apa isi dompet yang dimiliki, melainkan lebih kepada demi menghindari sikap boros atau berlebih-lebihan. Salah satu sikap yang dalam Islam tidak dianjurkan bagi setiap Muslim untuk memilikinya.

Baca Juga  Ngaji Online, Euforia Sesaat Budaya Digital Bulan Ramadan?

Jikapun mereka memiliki harta yang lebih di mana mereka ketika membeli baju dengan harga yang murah akan membuat uang belanjaan mereka tersisa masih banyak, mereka tentu sangat bisa memanfaatkan sisa uang belanjaan mereka itu untuk sesuatu yang lebih bermanfaat, ketimbang mereka menghabiskannya untuk diri mereka sendiri. Misalnya, menyedekahkannya kepada panti asuhan.

Sehingga dengan demikian, teruntuk bagi mereka yang menjalankan tradisi berbelanja baju baru setiap kali menjelang Lebaran itu, khususnya bagi mereka yang melakukannya secara berlebihan, kiranya menjadi penting bagi mereka untuk mempertanyakan ulang alasan di balik tradisi tersebut mereka lakukan.

Apakah baju baru yang mahal dan mewah yang mereka beli untuk mereka kenakan di hari raya itu benar-benar melambangkan kembalinya jiwa mereka kepada fitrah (sebagaimana yang mereka yakini), ataukah hanya sekadar untuk mendongkrak popularitas mereka semata?

Editor: Yahya FR

12 posts

About author
Pelajar
Articles
Related posts
Perspektif

Kejumudan Beragama: Refleksi atas Bahtsul Masail Pesantren NU yang Kurang Relevan

3 Mins read
Bahtsul Masail, tradisi intelektual khas pesantren Nahdlatul Ulama (NU), adalah salah satu warisan berharga dalam khazanah keilmuan Islam di Indonesia. Forum ini…
Perspektif

Menjadi Guru Hebat!

3 Mins read
Peringatan Hari Guru Nasional (25 November) tahun ini mengangkat tema, “Guru Hebat, Indonesia Kuat”. Tema ini menarik untuk dielaborasi lebih jauh mengingat…
Perspektif

Mengapa Masih Ada Praktik Beragama yang Intoleran?

3 Mins read
Dalam masyarakat yang religius, kesalihan ritual sering dianggap sebagai indikator utama dari keimanan seseorang. Aktivitas ibadah seperti salat, puasa, dan zikir menjadi…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

This will close in 0 seconds