Perspektif

Frankenstein dan Syariat Islam di Aceh

3 Mins read

Syariat Islam adalah ide yang besar, terlalu besar untuk ceret ambisi yang sebatas citra. Tentu ada alasan paling ilmiah untuk menjelaskan bagaimana perselingkuhan Syariat Islam di Aceh, khususnya pada kapitalisme, favoritisme, dan bahkan seksisme. Kendati demikian, membicarakan Syariat Islam di Aceh dari perspektif sejarah dan konstruksi politik adalah kesia-siaan. Saya justru dapat memahami Syariat Islam di Aceh dalam akrobat-akrobat cerita sains fiksi Frankenstein.

Monster Frankenstein

Frankenstein dikenal sebagai monster yang lahir dengan kekuatan petir lalu membuatnya hidup, tubuhnya besar, tinggi, dan tegap. Diciptakan oleh Dr Victor Frankenstein di labotarium. Monster itu diciptakan dari tubuh-tubuh bekas mayat, sang ilmuwan berambisi menciptakan “kehidupan”, membuat ‘manusia sempurna’ mirip robot dengan hati. Monster itu hidup, penciptanya berhasil, tapi sepertinya ada yang salah.

Tentu saja bukan si Monster yang salah, yang salah adalah manusia yang menciptakannya, dan manusia yang ada di sekelilingnya, mereka semua belum sanggup menerima monster itu. Monster itu hidup di dunia yang aneh, kejam, tak berperasaan dan munafik, yang adalah dunia manusia. Setelah monster itu hidup, ia diterlantarkan oleh penciptanya sendiri.

Walaupun sebenarnya monster itu mempunyai hati yang baik dan mampu berkomunikasi selayaknya manusia, namun karena sosoknya yang tak biasa orang-orang ketakutan kepadanya. Monster itu biasa dikenal dengan nama ‘Frankenstein’ yang terkenal. Begitulah gambaran yang ditulis Mary Wellstonecraft Shelly (1818) dalam novel legendarisnya yang berjudul, Frankenstein: or The Modern Prometheus.

Apakah Frankenstein adalah sebuah kesalahan? Apakah Frankenstein tak pantas diciptakan? Jika memang ia semenyeramkan itu dan harus dijauhi habis-habisan, mengapa sang ilmuwan menciptakannya? Melampaui segala pertanyaan tersebut, ada baiknya kita melihat motif di balik cerita yang disuguhkan sang penulis kepada kita semua, yaitu: jangan menciptakan sesuatu atau membuat sesuatu yang kita tak bisa dan tak mampu untuk membuatnya lebih baik.

Baca Juga  Bahasa, Canda, dan Kopi Klotok Bersama Buya Syafii

Aceh dan Dilema Syariat Islam

Aceh mengantongi label Daerah Istimewa, bukan hanya itu yang lebih bagus adalah bahwa Aceh mempunyai sejarah cerah yang mengantarkan kita pada Islam di Nusantara. Sampai kini belum habis-habis kumpulan manuskrip klasik, budaya, tradisi, seni, dan artefak-artefak kuno yang tak habis-habisnya digali yang diketahui menjadi jembatan peradaban Timur Tengah ke Nusantara. Sangat baik ada penerapan Syariat Islam di Aceh. Hal ini disambut gembira setelah lama bergelut dalam konflik. Aceh bisa damai dan Syariat Islam memayungi bumi Aceh. Namun, apakah hanya sampai di sana?

Ternyata, Syariat Islam yang diterapkan di Aceh malah menjadi ciri yang membuat Aceh terasa ‘berat’. Hal-hal yang telah terjadi di Aceh malah semakin menjelekkan nama Syariat Islam. Oleh sebab semuanya justru berlawanan dengan nilai-nilai Syariat Islam itu sendiri.

Gamal al-Banna mempunyai penafsiran terhadap kata Syariat. Syariat bagi Gamal Al-Banna adalah rumus keadilan, yang termaktub dalam Syariat masa Rasulullah justru adalah nafas keadilan. Hal tersebut saat ini malah disalahpahami, bahwa Syariat disangka adalah ‘hukum’ berupa Perda-Perda Syariah.

Syariat Islam Tak Pernah Dipakai

Syariat Islam diciptakan dan dibangun di Aceh dengan paradigma yang mempunyai titik berat ke Timur Tengah, dengan hasil ‘pencakokan’, Syariat Islam Aceh diciptakan. Alih-alih memberikan semacam keteduhan, Syariat Islam malah semakin mencoreng Aceh yang saat ini belum memantaskan diri menggenggam bara keadialan dari Syariat Islam. Banyak ketidakadilan, seperti perampasan lahan, pengrusakan lingkungan, pencemaran kemanusiaan, kriminalitas, KKN, dan perampasan hak masyarakat sipil dari cengkraman pabrik industri. Syariat Islam dicitrakan di media sosial sebagai si tukang cambuk, si tukang razia, si penghukum.

Di samping itu, syariat Islam tak pernah dipakai untuk menganalisis dan memecahkan kecurangan perampasan lahan masyarakat. Hal ini membuat Aceh malah terlihat konyol, di satu sisi getol mempertahankan Syariat Islam, di satu sisi malah meludahi keadilan. Barangkali Syariat Islam hanyalah simbol atau malah hanya sebuah jargon-jargon politis. Tapi apapun itu, Syariat Islam telah lahir dan hidup. Frankenstein tetap berhati baik, karena kebaikan hatinya ia mudah dibenci dan tak bisa menyatu dengan manusia yang culas.

Baca Juga  Menolak Komunisme, Mungkinkah Menerima Sosialisme Islam?

“Nothing is so painful to the human mind as a great and sudden change,” tulis Mary Shelly menggambarkan perasaan si Frankenstein. Dan Aceh perlu membuat pengajian mengkaji kisah Frankenstein untuk mengerti bagaimana kinerja atas konsekuensi terhadap apa yang telah dibangun. Pada akhirnya, kita menemukan titik buntu yang absurd mengenai Syariat Islam.

Syariat Islam sampai saat ini tak memberikan manfaat yang signifikan dalam soal penuntasan kemiskinan, pendidikan, dan lapangan pekerjaan. Terbukti bahwa pendidikan, kemiskinan, dan lapangan pekerjaan di Aceh masih amat sulit. Hal yang semestinya paling penting untuk membangun pondasi masyarakat madani seperti apa yang kita impi-impikan di Aceh justru berada di belakang.

***

Dr Victor Frankenstein terlalu berambisi menciptakan ‘manusia’ dengan ilmu-ilmu biologi, fisika, dan kimia. ‘Kehidupan’ yang direkayasa oleh Dr Victor Frankenstein justru malah melahirkan kematian yang amat dalam, rasa perih, dan petaka. Monster ciptaannya malah menderita, dan Dr Victor Frankenstein malah kabur dan lepas tangan dengan ciptaannya sendiri setelah ia berhasil memberikan ‘kehidupan’. Victor Frankenstein lupa satu hal, bahwa ia lebih baik memberikan nilai pada kehidupan, kepada manusia-manusia yang rusak secara moral, dan saling membenci, bukan malah menciptakan sesuatu yang ia sendiri belum siap dengan resikonya.

Monster hanyalah fiksi, namun keadilan sama sekali bukan fiksi. Kita dapat  mulai merawat Syariat Islam dengan memunculkannya di permukaan, hal-hal yang berkenaan pada soal-soal ekologi, perizinan investor asing, tindak perampasan lahan, dan berbagai perampasan hak berupa materi maupun non-materi. Itu akan lebih membantu kita menuju masyarakat madani. Jika tidak, artinya kita memang benar-benar belum siap dengan Syariat Islam.

Si Monster ciptaan Dr Victor Frankenstein berkata, “hati-hati; aku tidak mempunyai rasa takut, oleh karena itu aku sangat berbahaya!” Dan syariat Islam memang tak mempunyai rasa takut pada manusia.

Baca Juga  Milad Pemuda Muhammadiyah (2): Etos Welas Asih dan Etika Kosmopolitan

Editor: Arif

Avatar
2 posts

About author
mahasiswa Pusat Studi Agama dan Lintas Budaya (CRCS) UGM
Articles
Related posts
Perspektif

Cara Menahan Marah dalam Islam

8 Mins read
Marah dalam Al-Qur’an Marah dalam Al-Qur’an disebutkan dalam beberapa ayat, di antaranya adalah QS. Al-Imran ayat 134: ٱلَّذِينَ يُنفِقُونَ فِى ٱلسَّرَّآءِ وَٱلضَّرَّآءِ…
Perspektif

Mengapa Narasi Anti Syiah Masih Ada di Indonesia?

5 Mins read
Akhir-akhir ini kata Syiah tidak hanya menjadi stigma, melainkan menjadi imajinasi tindakan untuk membenci dan melakukan persekusi. Di sini, Syiah seolah-olah memiliki keterhubungan yang…
Perspektif

Kapan Seseorang Wajib Membayar Zakat Penghasilan?

2 Mins read
Zakat merupakan satu dari lima rukun Islam yang tidak hanya berdimensi keimanan tapi juga berdimensi sosial. Secara individu, zakat merupakan wujud keyakinan…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *