Sehabis salat Subuh, seperti biasa, saya tadarrus Alqur’an –jangan dipahami sebagai riya’. Saya memulai tadarrus dari awal surat al-Taubah hingga ayat 72. Yang pernah belajar ilmu Alqur’an, setidaknya khatam sampai gharib dan muskilat, pasti paham bahwa mengawali bacaan QS. At-Taubah tidak dibenarkan dengan membaca basmallâh (bismillâhirrahmânirrahîm).
Membaca QS. al-Taubah
Membaca rangkaian ayat demi ayat dalam QS. al-Taubah sangat menyenangkan. Terdapat banyak ayat-ayat politik, ayat-ayat tentang perang, termasuk juga bercerita tentang kemunafikan dalam dimensi hablun minan-nâs, horizontal, yang di antaranya sebagaimana tertera di dalam QS. al-Taubah: 67.
Ayat ini intinya bicara tentang ciri orang-orang munafik, yaitu orang-orang munafik laki-laki dan perempuan sama, mereka menyuruh berbuat mungkar dan melarang berbuat makruf, mereka itu menggenggamkan tangannya (baca; pelit) dalam berjuang di jalan Allah. Mereka telah lupa kepada Allah, maka Allah melupakan mereka. Orang-orang munafik sekaligus juga menyandang predikat sebagai orang-orang yang fasik.
Rangkaian kata menarik yang dimaksud, di dalam ayat 67 ini terdapat rangkaian kata yang berbunyi: Nasu-Allaha fanasiyahum, mereka telah melupakan Allah, maka Allah melupakan mereka.
Kalau mengkaji ayat-ayat Alqur’an, sebenarnya banyak ditemukan kata-kata yang sejenis di banyak ayat Alqur’an. Saya coba sebutkan pada dua ayat lainnya dari surat yang berbeda. Pertama, di dalam QS. al-Nisa: 142. Seperti halnya dalam QS. al-Taubah: 67, QS. al-Nisa: 142 juga berbicara ciri-ciri (tambahan) orang-orang munafik (muẓakar maupun muannas).
Disebutkan bahwa ciri munafik adalah suka menipu Allah (danAllah akan membalas tipuannya), apabila mereka berdiri untuk saalat, berdirinya dengan malas dan sekadar riya di hadapan manusia, dan mereka tidaklah menyebut Allah kecuali sedikit sekali.
Nah, dalam al-Nisa: 142 juga terdapat rangkaian kata yang menarik, yaitu yukhâdi’ụnallâha wa huwa khâdi’ụhum, menipu Allah, dan Allah akan membalas tipuannya.
Kedua, di dalam QS. Ali Imran: 54. Berbeda dengan dua ayat di atas yang berbicara tentang ciri orang-orang munafik, pada ayat ini Allah berbicara soal pengkhianatan Bani Israil terhadap Isa AS. Mereka membuat tipu daya dan bermaksud membinasakan Isa dengan jalan melaporkan dan memfitnahnya kepada raja mereka.
Tetapi Allah memperdayakan dan menggagalkan tipu daya mereka. Mereka tidak berhasil membunuhnya. Allah mengangkat Isa ke langit dan digantikan dengan orang yang serupa dengannya, sehingga orang-orang yakin bahwa yang disalib itu adalah Isa.
Dalam ayat ini juga terdapat rangkaian kata yang menarik yang sejenis dengan dua ayat di atas, Wamakarû wamakara-Allâh, Dan mereka (orang-orang kafir) membuat tipu daya, maka Allâh pun membalas tipu daya mereka.
Lalu letak menariknya di mana? QS. al-Taubah: 67 menyebut Nasu-Allaha fanasiyahum. Kemudian dalam QS.al-Nisa: 142 juga terdapat rangkaian kata yang menarik, yukhâdi’ụnallâha wa huwa khâdi’ụhum. Begitu pun pada QS. Ali Imran: 54 juga Allah menyebutkan Wamakarû wamakara-Allâh. Tiga ayat dari surat yang berbeda ini, Allah membalas atau menghukum perbuatan yang dilakukan hamba-hamba-Nya dengan bangunan argumentasi atau rumus kausalitas, sebab dan akibat”.
Balasan dan Rumus Kausalitas Allah
Dengan redaksional yang berbeda, dalam banyak ayat Alqur’an juga disebutkan bahwa Allah membalas atau menghukum, murka atau membinasakan hamba-hamba-nya di atas bangunan argumentasi atau rumus kausalitas, sebab dan akibat.
Ambil contoh dalam QS. al-Isra: 16, di mana Allah berfirman: Waidzâ aradnâ annuhlika qaryatan amarnâ mutrafihâ fafasakû fihâ fahaqqa alaihâ-alqawlu fadammarnâhâ tadmîrâ (tadmîran), Dan jika Kami hendak membinasakan suatu negeri, maka Kami perintahkan kepada orang-orang yang hidup mewah di negeri itu (supaya mentaati Allah) tetapi mereka melakukan kedurhakaan dalam negeri itu, maka sudah sepantasnya berlaku terhadapnya perkataan (ketentuan Kami), kemudian Kami hancurkan negeri itu sehancur-hancurnya.
Pada ayat di atas ditegaskan bahwa Allah tidak akan menghancurkan sebuah negara dengan tanpa sebab. Jadi penghancuran negara oleh Allah tetap berlangsung dalam koridor hukum kausalitas, sebab dan akibat, bukan ujug-ujug atau tiba-tiba. Allah hanya akan menghancurkan sebuah negeri, apabila mereka yang hidupnya penuh dengan kemewahan, mewah bisa karena kekayaan harta benda, bisa karena jabatan politik yang disandangnya, bisa karena jabatan sebagai penegak hukum yang disandangnya.
Lalu diperintahankan untuk taat kepada Allah, tapi mereka justru berbuat sebaliknya, berbuat kefasikan, merusak di muka bumi. Maka Allah baru akan membinasakan negeri yang seperti ini. Jadi tetap dalam bingkai kausalitas, sebab akibat. Sebab mereka berbuat fasik, maka akibatnya Allah menghancurkan negeri mereka.
Ayat ini semestinya juga perlu dicamkan baik-baik oleh seluruh bangsa Indonesia, terutama elit politiknya. Kalau Indonesia tidak mau dibinasakan oleh Allah dengan sebinasa-binasanya, maka agar elit negeri ini tidak mengelola negara ini dengan sesukanya, tidak fasik, tidak ẓalim kepada rakyatnya, tidak korup sekorup-korupnya, tidak menjual bangsanya dengan harga murah, tidak menjarah (merampok) kekayaan negara, dan tidak mempetontonkan nafsu serakahnya.
Sifat Rahman dan Rahim Allah
Tiga ayat di atas plus QS. al-Isra: 16 juga menegaskan sifat rahman dan rahim Allah, bahwa Allah tak akan pernah memberikan hukuman apapun kepada makhluk-Nya kecuali sebab perbuatan makhluk-Nya itu sendiri. Allah tak akan pernah melupakan hamba-Nya kecuali sebab hamba-Nya yang melupakan Allah. Allah tak akan pernah menipu hamba-Nya kecuali sebab hamba-Nya terlebih dahulu membuat tipuan.
Allah tak akan bermuat makar (rekayasa keji) kepada hamba-Nya kecuali sebab hamba-Nya terlebih dahulu membuat makar (tipuan). Allah tak akan pernah membinasakan hamba-hamba-Nya kecuali sebab hamba-hamba-Nya berbuat fasik (merusak).
Mafhum mukhalafah-nya, lupa Allah kepada hamba-Nya, tipuan Allah kepada hamba-Nya, makar Allah kepada hamba-Nya, dan binasa Allah kepada hamba-hamba-Nya dikarenakan sebab lupa, tipuan, makar, kefasikan hamba-Nya pada Allah. Akibatnya, Allah pun melupakan, menipu, dan makar pada hamba-Nya.
Menariknya lagi, ayat-ayat yang dibangun atas dasar rumus kausalitas, sebab dan akibat, sepengetahuan saya, lebih banyak atau bahkan selalu berdimensi hablun minan-nâs, horizontal, sosial dan kemanusiaan. Empat ayat yang disebut di atas misalnya, tegas dan jelas berdimensi horizontal.
Artinya, murka dan balasan Allah selalu ditimpakan kepada kepada hamba-hamba-Nya yang berbuat ẓalim, nifak, kafir, fasik, dan syirik misalnya, dalam konteks hablun minan-nâs (horizontal), bukan hablun mina-Allâh (vertical).
Dengan kata lain, andai saja hamba-Nya itu kafir, syirik atau berbuat yang melanggar ketentuan Allah lainnya tapi hanya berdimensi hablun mina-Allâh, maka Allah tak akan ambil pusing, tidak akan mengambil tindakan dengan membalas perbuatan hamba-Nya yang telah kafir atau syirik hanya kepada dirinya (Allah) di dunia ini. Sekian.