Feature

Baluwarti: Titik Temu Hilangkan Prasangka

3 Mins read

Gerimis tipis turun di luar. Malam ini kami tengah duduk melingkar di sebuah rumah pendopo yang cukup luas, dengan halaman yang tak kalah luas, di dekat Keraton Solo. Di salah satu sudut ruangan terdapat layar dan proyektor, serta speaker yang cukup besar. Kami duduk lesehan di bawah, beralaskan tikar. Di sebagian besar sudut dinding terdapat poster. Ada poster yang berisi biografi khalifah Ahmadiyah dari masa ke masa. Ada yang menggambarkan peran-peran kemanusiaan Ahmadiyah. Ada yang menjelaskan peran Khalifah Ahmadiyah yang sekarang di kancah global. Sementara itu, di dinding yang menghadap pintu utama, terdapat tulisan cukup besar berbunyi “Love for All, Hatred for None”.

Halaman yang luas di depan pendopo sering digunakan untuk olahraga warga. Bisa futsal atau voli. Memang halaman itu sudah dihibahkan untuk warga yang tak punya ruang publik termasuk gedung olahraga serbaguna. Ada pula senam ibu-ibu. Belakangan, beberapa kegiatan sosial juga mulai digelar, terutama donor darah. Yang terakhir ini sudah digelar secara rutin selama 20 tahun terakhir. Di dekat gerbang, sebelum halaman, terdapat masjid yang biasa digunakan untuk salat berjamaah.

Tempat itu sering kami sebut sebagai kantor Ahmadiyah Solo. Nama resminya adalah Perpustakaan Bray. Mahyastoeti, Kompleks Masjid Baitul Karim Jemaat Ahmadiyah Solo di Baluwarti. Di situlah tempat Pak Muhaimin, Mubaligh JAI Solo, tinggal. Bagi kami, ia merupakan tuan rumah yang hangat. Tempat ini selalu menjadi titik temu orang-orang dari berbagai kelompok.

Di tengah gerimis seperti malam ini, sepeda motor saya tentu basah, tapi tak terlalu saya pedulikan. Karna hati saya tengah hangat, bercengkerama dengan orang-orang yang jarang saya temui sebelumnya, dengan identitas yang bagi beberapa orang, berlawanan dengan identitas saya.

Baca Juga  Peran Strategis Non-Muslim dalam Sejarah Islam

Komunitas Omah Bhineka

Di dalam ruangan, Gress Raja, yang biasa kami panggil Pak Gress, menceritakan tentang pengalamannya berinteraksi dengan kelompok lain. Ia, sebagai seorang tokoh aliran kepercayaan di Karanganyar, timur Kota Solo, sulit diterima oleh kelompok lain. Maka, setiap undangan dialog yang ia sampaikan selalu ditolak. Masyarakat takut, agenda-agenda dialog itu bagian dari menyusupkan paham-paham yang ‘aneh’ dalam kacamata mereka.

Maka, ia menggunakan pendekatan lain. Keinginan untuk mencari titik temu kelompok-kelompok kepercayaan, terutama agama, tak patah arang.

“Saya ajak mereka kerja bakti. Itu lebih diterima,” ujarnya.

Maka, di Solo, ia bersama Pak Muhaimin dan beberapa tokoh agama sering berkumpul bersama di ruangan ini. Di bawah forum yang kami sebut dengan Omah Bhineka. Omah Bhineka adalah komunitas lintas iman yang berdiri untuk mempromosikan nilai-nilai toleransi dan perdamaian. Forum-forum yang digelar selalu dihadiri oleh masyarakat dari berbagai kelompok, seperti Ahmadiyah, aliran kepercayaan, Hindu, Buddha, hingga kelompok mainstream muslim seperti Muhammadiyah dan NU.

Di Omah Bhineka, para aktivis keagamaan membicarakan banyak hal yang muaranya adalah satu, yaitu upaya untuk menemukan titik temu dari berbagai kelompok supaya tidak lagi terjadi gesekan di tengah-tengah masyarakat. Kedamaian hidup adalah dasar yang penting untuk mencapai tujuan yang lebih sejati: kebahagiaan lestari. Tanpa kedamaian, kehidupan manusia tak dapat berjalan dengan baik. Pembangunan akan mandek, masyarakat sibuk bertengkar.

Diskusi Omah Bhineka yang sudah beberapa kali digelar di Markas Ahmadiyah Solo, Baluwarti. Dokumentasi penulis.

Dengan bertemu, para aktivis lintas iman akan lebih saling mengerti. Lebih saling memahami. Tak ada lagi syak wasangka dan praduga-praduga yang lebih sering salah daripada benar. Tak ada lagi kasak-kusuk. Tak ada lagi rasan-rasan, katanya si A melakukan ini, si B melakukan itu. Semua menyampaikan apa yang menjadi ajarannya secara jujur dan saling mentoleransi satu sama lain.

Baca Juga  Uang, Berhala Nyata pada Masa Modern

Baluwarti: Sebuah Titik Temu

Rupanya, selain menjadi tempat diskusi, Baluwarti telah menjadi teladan. Dengan tingginya intensitas pertemuan lintas kelompok, terutama bagi masyarakat sekitar, Baluwarti menjadi tempat dimana prasangka-prasangka diruntuhkan.

Lapangan serbaguna di kompleks Markas Ahmadiyah Solo, Baluwarti. Sumber: Solopos

Di Baluwarti, tepatnya di kantor Ahmadiyah Solo, sering digelar berbagai kegiatan kemanusiaan, seperti senam ibu-ibu, perlombaan HUT RI tingkat kampung, sosialisasi hidup sehat oleh Puskesmas, sosialisasi pemilihan umum, pusat kegiatan PKL mahasiswa, hingga tempat budidaya lele oleh masyarakat sekitar. Di berbagai kegiatan kemanusiaan seperti itu, secara otomatis terjadi pertemuan lintas kelompok. Pertemuan-pertemuan yang sangat bermanfaat karena seringkali gesekan di masyarakat terjadi karena tidak adanya pertemuan.

Ada satu cerita yang cukup menarik bagi saya. Cerita ini disampaikan oleh Pak Muhaimin beberapa waktu lalu ketika Haul ke-112 Habib Ali bin Muhammad Al-Habsyi di Solo. Peserta haul cukup banyak. Mereka datang dari berbagai daerah. Saat itu, ada 200 an peserta haul yang transit dan menumpang istirahat, salat, dan bersih-bersih badan di Baluwarti, di Sekre Ahmadiyah. Salah satunya adalah aktivis-aktivis FPI Pasuruan. Rupanya, FPI yang selama ini dianggap sebagai organisasi yang keras juga dapat menerima kehadiran Ahmadiyah jika ada pertemuan-pertemuan dalam kesempatan yang baik. Mereka bahkan merasa senang bisa diterima dengan baik oleh jemaat Ahmadiyah.

“Selama empat tahun ini, pintu gerbang tidak pernah saya kunci. Karena masyarakat suka ikut ke kamar mandi, pagi, siang, atau malam,” ujar Pak Muhaimin.

Melalui berbagai perjumpaan, masyarakat bisa saling lebih mengenal. “Mereka mulai menyadari bahwa Ahmadiyah ini terbuka. Tidak eksklusif,” imbuhnya.

Tentu ini merupakan sinyal positif setelah kita menyaksikan beberapa kejadian kekerasan dan persekusi terhadap kelompok-kelompok yang dianggap menyimpang. Dalam kasus Ahmadiyah, terjadi beberapa peristiwa yang menyedihkan seperti peristiwa pembakaran masjid di Sintang, Kalimantan Barat; kerusuhan Cikeusik, Pandeglang, Banten yang mengakibatkan enam korban jiwa; insiden Monas; pengusiran jemaat Ahmadiyah di Lombok; penyegelan masjid Ahmadiyah di Bogor dan Depok; pengusiran jemaat Ahmadiyah di Bangka; pengrusakan masjid di Kendal; serta pengepungan markas jemaat di Tebet, Jakarta Selatan.

Baca Juga  Cinta Kepada Allah, Teladan Muhabib Abu Handzalah

*)Konten ini merupakan hasil kerjasama IBTimes dengan Kementerian Agama Republik Indonesia.

Avatar
114 posts

About author
Mahasiswa Dual Degree Universitas Islam Internasional Indonesia - University of Edinburgh
Articles
Related posts
Feature

Rakernas dan Dinamika Dunia Wakaf

4 Mins read
Jogja, Jumat 1 November 2024. Pukul 05.30 pagi dengan sebuah mobil dari Ringrud Selatan Jogja kami menuju Kartasura. Di perjalanan ikut bergabung…
Feature

Perkuat Toleransi Sejak Dini: Cerita Pesantren Muhammadiyah Terima Kunjungan SMA Kristen

2 Mins read
Kunjungan studi yang dilakukan oleh para siswa Sekolah Kanisius Jakarta ke pesantren Muhammadiyah Al-Furqon, sejak Rabu, 30/10/2024 sampai Jum’at, 1/11/2024 merupakan sebuah…
Feature

Tasawuf di Muhammadiyah (1): Lahirnya Neo-Sufisme

4 Mins read
Ketika mendiskusikan tasawuf di Muhammadiyah, maka yang dibicarakan adalah tasawuf bentuk baru atau Neo-Sufisme. Muhammadiyah sendiri—dalam hal ini tokoh-tokohnya—tidak menolak sepenuhnya tentang…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

This will close in 0 seconds