Oleh: Wahyudi Akmaliah*
Internet dan turunan ikutannya, dalam hal ini media sosial, membawa babak baru dalam panggung dunia internasional. Selain mempersempit jarak dan mempercepat penyampaian informasi, internet dianggap sebagai medium penggerak demokrasi di negara-negara berwatak otoriter.
Dalam konteks Indonesia, George Junus Aditjondro, saat itu bermukim di Australia sebagai dosen, menjadi simpul utama dalam penyebarkan informasi melalui surat elektronik (email) terkait dengan tindakan korupsi yang dilakukan oleh Suharto dan keluarganya. Data itu dikirimkan ke sejumlah aktivis dan NGO pro-demokrasi, yang kemudian dicetak dan disebarkan secara diam-diam ke seluruh jaringan mahasiswa di Indonesia.
Kehadiran media sosial, seperti facebook, twitter, dan youtube, juga membawa optimisme lebih jauh untuk penguatan demokrasi untuk melawan penguasa yang lalim. Revolusi Musim Semi Arab (Arab Spring) yang terjadi di Timur Tengah (Tunisia, Mesir, dan Libia, Syria, Bahrain) adalah contoh bagaimana media sosial merupakan alat yang ampuh untuk mengganti sebuah rezim otoriter yang selama bertahun-tahun sebelumnya berkuasa (Merlyna Lim, 2005).
Namun, media sosial sebagai ruang demokrasi sekaligus kampanye politik yang sehat mengalami perubahan drastis sejak adanya skandal Cambridge Analytica, di mana perusahaan teknologi ini menggunakan data pengguna Facebook di Amerika Serikat dan Inggris Raya untuk mengubah tingkah laku masyarakatnya yang kemudian digiring untuk mengikuti arahan Cambridge Analytica secara halus.
Ini ditandai dengan kemenangan Trump di Amerika Serikat dan keberhasilan kampanye Brexit untuk keluar dari Uni-Eropa. Tidak hanya bermasalah dengan persoalan privasi sebagai bagian dari kebebasan individu yang harus dijaga, pengubahan perilaku untuk memilih suara dalam politik elektoral mengancam arus demokrasi yang seharusnya dipegang oleh warga negara Amerika dan Inggris.
Ironisnya, Cambridge Analytica ini sudah bekerja lama. Sebelumnya, lembaga tersebut membantu melakukan proses demokrasi di negara-negara berkembang, tetapi kini berubah halus seiring dengan keinginan konsumen, khususnya figur-figur berwatak otoriter.
Medsos sebagai Bank Data
Berkaca dari sini, algoritma yang sebelumnya menjadi struktur dan mekanisme data obyektif mulai digugat seiring dengan kemunculan perusahaan teknologi besar yang direpresentasikan oleh Amerika Serikat melalui Google, Facebook, Twitter, Instagram, Youtube, Whatsapp dan China yang saat ini sedang tumbuh, baik itu Huawei dan Tiktok. Begitu juga dengan sejumlah produk telepon genggam yang diproduksi oleh negara besar tersebut.
Harus diakui, kehadiran biometrik data melalui kode, sidik jari, retina mata, dan wajah untuk mengumpulkan informasi secara cepat dan efektif bisa memprediksi latarbelakang seseorang sekaligus memudahkan kita mengakses produk-produk tersebut.
Lebih jauh, data itu bisa menjadi rujukan dalam mempertimbangkan putusan hukum untuk menilai apakah seseorang layak atau tidak dibebaskan,mengingat dengan kehadiran jejak digital yang dimilikinya, sebagaimana terjadi di Amerika Serikat. Di sisi lain, kondisi tersebut bisa menghilangkan sisi kemanusiaan cara kita melihat orang saat bertemu langsung dengan mendengarkan intonasi suara, mimik wajah, dan sentuhan fisik, memungkin orang untuk menimbang dalam melihat sisi baik dan buruk orang lain.
Lebih jauh, kondisi terburuknya adalah, sejauhmana data-data itu tidak disalahgunakan untuk kepentingan yang lain dengan berkaca kepada kasus Cambridge Analytica yang digunakan untuk kepentingan elektoral memenangkan Trump sekaligus menggolkan agenda Brexit.
Di sini, data yang kita unggah di media sosial tidak lagi menjadi ruang demokrasi dan bagian kesenangan semata, melainkan menjadi ruang pengawasan mengenai identitas dan kebiasaan atas foto yang kita unggah, status yang kita bikin, dan lokasi yang kita tautkan saat bepergian.
Pengawasan Via Digital
Alih-alih sebagai subyek atas informasi yang dipegang, kita justru menjadi komoditas pasar untuk perusahaan-perusahaan besar ini, di mana mereka membelokkan imajinasi dan pikiran kita sesuai dengan yang diinginkan. Memang, apa yang dilakukan ini dalam level korporasi, lalu bagaimana dengan negara? Atas nama keamanan, negara kemudian menggunakan big data untuk mengawasi masyarakatnya.
Negara China adalah contoh tepat bagaimana mereka membangun semacam pengawasan atas setiap individu masyarakatnya melalui CCTV sekaligus rekaman wajah, di mana data masing-masing mereka tersimpan dengan baik. Akibatnya, melalui data semacam ini, sedikit saja kesalahan yang mereka lakukan, aparatus negaranya bisa melakukan tindakan pengontrolan dan penangkapan.
Karena pengawasan digital semacam ini, demonstrasi sebagai bagian dari gerakan sosial yang terjadi di Hongkong pada 12 Juni 2019 untuk menolak regulasi ekstradisi kepada mereka yang dianggap bersalah untuk dibawa ke Republik Rakya China, tidak lagi dilakukan secara online. Sebaliknya, mereka merencanakan dalam membangun taktik sekaligus perlawanan dilakukan dengan offline.
Saat berdemonstrasi, mereka menutup wajah mereka dengan masker untuk menghindari deteksi teknologi pengembangan wajah yang sudah dipasang di setiap sudut kota Hongkong. Kondisi inilah yang disebut oleh Freedom On the Net pada tahun 2018 sebagai bangkitnya Otoritarianisme Digital, di mana China menjadi penanda dari penguatan tersebut dan mulai diikuti oleh negara-negara lain.
Melalui mesin pendeteksi biometrik itu, pengontrolan kepada warga negara dilakukan, yang memberangus secara berlahan-lahan kebebasan mereka untuk berpendapat.
Memang, Indonesia belum sampai pada taraf ini. Meskipun harus diakui, regulasi UU ITE menjadi alat pembungkam efektif bagi individu untuk membungkam suara yang lain sekaligus menjadi alat politik mereka yang ingin mengontrol kebebasan bersuara orang lain di tengah tapuk kekuasaan yang dimilikinya.
Pada titik ini, lanskap kehadiran internet dengan turunan ikutannya telah terjadi perubahan, dari advokasi kebenaran dan kebebasan sipil untuk melawan rezim otoriter kemudian bertransformasi kembali sebagai bentuk pengawasan dan pengontrolan yang direpresentaikan oleh negara, dalam hal ini China.
Untuk industri korporasi, mengenalkan lebih jauh mengenai data sebagai bagian dari hak individu dan juga Hak Asasi Manusia (HAM) Baru, sebagaimana diusulkan oleh David Carrol bisa menjadi solusi untuk melawan penyalahgunaan data, sebagaimana ia bicarakan dalam video dokumenter yang berjudul The Great Hack (2019).
Tetapi, melawan negara melalui instrumen yang digunakan membutuhkan kerja-kerja penguatan HAM yang panjang. Dalam beberapa hal, Indonesia masih cukup berhasil menggunakan media sosial sebagai elemen penguat demokrasi. Ini terlihat dengan keberhasilan pembebasan Baiq Nuril melalui amnesti presiden dari jeratan UU ITE.
Meskipun demikian, seiring dengan kemajuan dan temuan teknologi, kita masih terus memprediksi dan menduga. Tantangan ini setidaknya yang akan dihadapi oleh Jokowi dalam 5 tahun kepemimpinannya, seiring dengan meningkatnya intoleransi sekaligus ekstrimisme teroris yang kembali dari ISIS. Pemerintahan Jokowi harus menjaga batas antara demokrasi dengan kebebasan sipil sekaligus keamanan Indonesia.
*Peneliti di Pusat Penelitian Kemasyarakatan dan Kebudayaan LIPI