Fikih

Banyak Mudaratnya, Praktik Nikah Siri Wajib Digugat!

3 Mins read

Beberapa hari terakhir ini pernikahan siri kembali menjadi topik menarik setelah Direktur Jenderal Kependudukan dan Pencatatan Sipil (Dukcapil) Kementerian dalam Negeri (Kemendagri) membuat kebijakan terkait pencantuman keterangan nikah belum tercatat dalam kartu keluarga (KK).

Kebijakan tersebut menyebutkan, untuk mendapatkan KK bagi pasangan nikah siri cukup melampirkan Surat Pernyataan Tanggung Jawab Mutlak (SPTJM) dan diketahui 2 orang saksi. Akibatnya, kebijakan tersebut menuai pro dan kontra.

Nikah siri merupakan istilah yang merujuk pada pernikahan yang dilakukan pasangan yang memenuhi syarat dan rukun menurut ketentuan fikih tetapi belum tercatat di lembaga resmi pemerintah.

Di masyarakat, praktik pernikahan tanpa pencatatan dikenal dengan istilah kawin di bawah tangan, kawin syar’i, kawin modin dan kawin kyai (Halili,  2020).

Pernikahan siri acapkali menjadi pilihan pelakunya karena dianggap sebagai jalan aman untuk menghindari dosa, dan terbebas dari persayaratan administratif yang dianggapnya sangat merepotkan.

Selama ini, dalam banyak kasus, pernikahan siri merugikan pihak perempuan dan anak jika terjadi sengketa perkawinan. Istri dan anak yang dilahirkan dari pernikahan siri tidak dapat menuntut warisan ketika suami meninggal. Dalam hal ini, anak hanya memiliki nasab dengan ibu dan keluarga ibunya semata.

Banyak pihak mengkhawatirkan kebijakan tersebut sebagai sarana melegalkan nikah siri. Meskipun semangat Kemendagri memberikan hak dan pelayanan yang sama bagi seluruh warga untuk  mendapatkan KK, tetapi hal itu bisa dijadikan legitimasi bagi sebagian orang bahwa nikah  siri mendapat jaminan hukum dari negara. Kondisi ini dikhawatirkan akan memicu semakin maraknya pernikahan siri di masyarakat.

Dampak Nikah Siri

Dampak dari nikah siri biasanya baru muncul ketika terjadi permasalahan atau sengketa. Sebab, ikatan pernikahan siri tidak memiliki bukti otentik. Paling tidak ada tiga dampak yang merugikan akibat pernikahan siri.

Baca Juga  Sayyid Sabiq: Mengenal Enam Ragam HAM dalam Islam

Pertama, adalah dampak hukum. Pernikahan siri akan berdampak pada istri yang dianggap sebagai istri yang tidak sah. Istri dan anak tidak berhak atas nafkah dan warisan dari suami jika ia meninggal dunia.

Istri tidak berhak atas harta gono gini jika terjadi perpisahan karena secara hukum pernikahan siri  dianggap tidak pernah terjadi.

Kedua, dampak sosial. Dampak sosial dari nikah siri akan sulit bersosialisasi dengan masyarakat. Pada umumnya, perempuan yang melakukan pernikahan siri dianggap tinggal serumah dengan laki-laki tanpa ikatan perkawinan sah (kumpul kebo) atau dianggap menjadi istri simpanan.

Pelaku nikah siri menjadi cemooh masyarakat karena mengganggu keberlangsungan rumah tangga yang sah secara hukum.

Ketiga, menimbulkan kerumitan administrasi. Bagi penghulu atau Kantor Urusan Agama (KUA), realitas pencantuman status kawin belum tercatat dalam KK dirasa menciptakan keruwetan administratif yang baru.

Karena salah satu prinsip dasar UU Perkawinan adalah azas pencatatan, di mana Pasal 2 ayat (2) menyebutkan “Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang undangan yang berlaku”.

Perkawinan yang dilakukan secara siri atau tidak dicatat oleh petugas pencatat, berakibat tidak diakui keabsahan perkawinan itu oleh negara dan anak-anak yang dilahirkan hanya memiliki hubungan keperdataan dengan ibunya dan  keluarga ibunya (Pasal 43 ayat 2 UU 1/1974).

Praktik Nikah Siri Menafikan Penghulu

Perubahan UU Administrasi Kependudukan mempertahankan pasal 34 yang menyebutkan bahwa Perkawinan yang sah menurut Peraturan Perundang-undangan wajib dilaporkan oleh penduduk kepada instansi pelaksana di tempat terjadi perkawinan paling lambat 60 (enam puluh) hari sejak tanggal perkawinan.

Bagi penduduk yang beragama Islam pencatatan dilakukan oleh KUA Kecamatan. Di sinilah makna sejati pernikahan yang mengharuskan adanya pencatatan agar memiliki status hukum yang jelas.

Baca Juga  Feminisme: Kesetaraan Gender dalam Pandangan Islam

Bagi penghulu dalam melakukan pencatatan pernikahan bagi penduduk beragama Islam, Kantor Urusan Agama (KUA) Kecamatan berpegang pada regulasi Peraturan Menteri Agama Nomor 20 tahun 2019 tentang Pencatatan Nikah. Ketentuan ini mengatur tata cara pencatatan secara detail guna menjamin tertib administrasi, transparansi dan kepastian hukum. Makna kepastian hukum tidak sekedar hukum bernegara tetapi lebih dalam lagi menyangkut hukum agama agar pernikahan yang dilaksanakan tidak melanggar syari’at sehingga sah sesuai kaidah fikih Islam.

Dalam melakukan pencatatan pernikahan, seorang penghulu perlu ketelitian khusus, sehingga tidak menimbulkan keraguan dan keabsahan dari sebuah pernikahan.

Di antara yang memerlukan perhatian khusus adalah penelusuran nasab, apakah ada hubungan mahram antara kedua calon mempelai sehingga menghalangi terjadinya pernikahan.

Begitu pula dalam hal perwalian harus dipastikan terkait tata urut atau tertib wali nasab. Penelitian apakah perwalian harus pindah menjadi wali hakim karena berbagai sebab, memastikan mas kawin sebagai kewajiban yang harus ditunaikan. Saksi-saksi yang diajukan apakah memenuhi persyaratan, dan sebagainya.

***

Selain itu, kepastian usia calon mempelai. Apakah sudah memenuhi batas minimal yang dipersyaratkan undang-undang ataukah belum. Persoalan penulisan ejaan nama dari pihak yang bersangkutan berikut identitas sejenis yang dibutuhkan dan berbagai persyaratan administratif lainnya.

Singkatnya, mempersiapkan sah pernikahan dalam Islam bukan perkara yang mudah. Diperlukan penelitian yang detail melalui kegiatan pemeriksaan khusus sebelum kepastian pelaksanaan nikah pada waktu yang ditentukan hingga pencatatannya.

Pernyataan yang menyebutkan nikah siri sekedar pernikahan yang belum tercatat, seolah-olah menafikan peran penghulu dalam ruang lingkup tugas, tanggung jawab dan wewenangnya melakukan pemeriksaan kepada calon mempelai sebelum ada kepastian dilangsungkan pernikahan antara keduanya.

Bekal pengakuan sepihak yang dibuktikan dengan SPTJM lantas diakui statusnya sebagai suami istri dengan keterangan kawin belum tercatat, sangat jelas menafikan peran penghulu dalam ruang lingkup tugas, tanggung jawab dan wewenangnya.

Baca Juga  Hukum Islam: Bolehkah Bersedekah dengan Uang Haram?

Editor: Yahya FR

Avatar
2 posts

About author
Kepala KUA Banyudono Boyolali
Articles
Related posts
Fikih

Hukum Jual Beli Sepatu dari Kulit Babi

2 Mins read
Hukum jual beli sepatu dari kulit babi menjadi perhatian penting di kalangan masyarakat, terutama umat Islam. Menurut mayoritas ulama, termasuk dalam madzhab…
Fikih

Hukum Memakai Kawat Gigi dalam Islam

3 Mins read
Memakai kawat gigi atau behel adalah proses merapikan gigi dengan bantuan kawat yang dilakukan oleh dokter gigi di klinik. Biasanya, behel digunakan…
Fikih

Hukum Musik Menurut Yusuf al-Qaradawi

4 Mins read
Beberapa bulan lalu, kita dihebohkan oleh polemik besar mengenai hukum musik dalam Islam. Berawal yang perbedaan pendapat antara dua ustadz ternama tanah…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

This will close in 0 seconds