Inkar al-sunnah merupakan istilah yang tidak asing di kalangan cendikiawan muslim, khususnya bagi mereka yang bergelut dalam studi hadis. Tema ini sering kali membawa perdebatan hangat dalam diskursus keilmuan tersebut.
Definisi Inkar al-Sunnah
Secara bahasa, istilah inkar al-sunnah terdiri dari dua kata, yaitu inkar dan sunnah. Kata inkar berasal dari akar kata ankara-yunkiru, yang memiliki beberapa arti: tidak mengakui dan tidak menerima di lisan dan hati; menyangkal dan mengingkari. Pelakunya disebut munkir.
Sedangkan kata sunnah secara bahasa berarti al-shirah wa al-thariqah (perjalanan, perilaku, dan tata cara); al-‘adah (kebiasaan). Dan sunnah secara istilah dimaknai sebagai ucapan, perilaku, atau ketetapan Nabi Muhammad saw (Al-Jurjani 1983, 105).
Di sini penulis menyamakan antara istilah sunnah dan hadits, kendati beberapa cendikiawan dan ahli hadis ada yang membedakannya. Sehingga, ketika disebut inkar al-sunnah, maka itu juga berarti inkar al-hadits (Afwadzi 2018, 124).
Dengan mengacu pada definisi dari masing-masing kata yang membentuknya, istilah inkar al-sunnah dapat dimaknai sebagai suatu perilaku yang menolak atau menyangkal sunah atau hadis. Secara konotatif, inkar al-sunnah bernada negatif karena dianggap sebagai sikap yang menentang salah satu sumber utama ajaran Islam.
Kategori Inkar al-Sunnah
Beberapa cendikiawan telah melakukan kategorisasi terhadap pelaku inkar al-sunnah, di antaranya adalah Marwan al-Kurdi, seorang cendikiawan kontemporer asal Irak. Dalam karyanya al-Wahy al-Tsani fi Dhau` al-Wahy al-Awwal (2017, 45) al-Kurdi menyebutkan setidaknya ada empat golongan pengingkar sunah:
Pertama, mereka yang menolak seluruh hadis, baik hadis mutawatir mau pun hadis ahad, serta menolaknya sebagai hujjah. Kelompok ini berpendapat bahwa Al-Qur’an saja telah mencukupi sebagai hujah, dalil, dan sumber bagi hukum Islam.
Kedua, mereka yang menolak hadis ahad dan hanya menerima hadis mutawatir sebagai hujjah. Kelompok ini terbagi menjadi dua: (1) mereka yang menolak seluruh hadis ahad dan (2) mereka yang menolak hadis ahad dalam hal akidah tetapi tetap menerima hadis ahad dalam hal fikih dan cabang-cabang(fikih)nya.
Ketiga, termasuk golongan munkir al-sunnah adalah mereka yang tidak menerima hadis selain hadis yang menjadi penguat dalil Al-Qur’an dan hadis yang menjadi penjelas bagi hukum-hukum yang telah disebutkan dalam Al-Qur’an. Maka, kelompok ini menolak syariat yang didasarkan hanya pada hadis. Sebagian penganut paham ini adalah ahli ushul fikih dan dan para ahli fikih.
Dan keempat, mereka yang mengambil atau menolak hadis sekehendak hati (nafsu) mereka dan menyebut kehendak hati sebagai standar keputusannya.
Salah satu cendikiawan muslim asal Indonesia, yaitu Abdul Majid Khon, juga melakukan kategorisasi pelaku inkar al-sunnah. Sama seperti al-Kurdi, Khon, sebagaimana dikutip oleh Afwadzi (2018, 126), juga membedakan mereka ke dalam empat kelompok. Salah satu kelompok disebut dengan pelaku inkar al-sunnah juz’i. Kelompok ini menolak hadis yang dianggap kontradiksi dengan Al-Qur’an, temuan ilmiah, serta rasio.
Menurut Afwadzi (2018, 125), tinjauan inkar al-sunnah secara ontologis merupakan sesuatu yang sukar dilakukakan, khususnya dalam kasus kelompok terakhir. “Apakah orang yang menolak hadis dan bahkan mengklaimnya palsu disebabkan dalam pandangannya dianggap kontradiksi dengan sains, rasio, ilmu pengetahuan, dan sejarah bisa dimasukkan sebagai golongan inkar al-sunnah?” demikian tanya Afwadzi.
Konsekuensi dari Pengaktegorian Inkar al-Sunnah
Berdasarkan pada kategori keempat, maka akan banyak cendikiawan yang akan disebut sebagai munkir al-sunnah begitu saja. Muhammad al-Ghazali (1917-1996 M) yang dikenal sebagai seorang cendikiawan muslim kontemporer yang dikenal moderat, misalnya, dapat dimasukkan ke dalam golongan ini.
Sebagaimana yang dikutip oleh Asih Kurniasih dan Muhammad Alif (2018, 63), bahwa al-Ghazali menolak sebuah hadis yang menceritakan bahwa nabi Musa pernah menampar malaikat maut. Alasan penolakan al-Ghazali terhadap hadis tersebut adalah karena tidak masuk akal, meskipun diriwayatkan oleh al-Bukhari dan Muslim dalam Shahih mereka.
Jika demikian, barangkali saya atau siapa saja juga dapat disebut sebagai munkir al-sunnah, terlebih di era teknologi seperti saat ini. Menerima hadis apa adanya juga bukan sikap terbaik. Hadis harus dipahami secara kritis, apalagi jika dipandang kontradiktif dengan keberlangsungan hidup manusia yang memanusiakan manusia, seperti hadis-hadis yang berkaitan dengan HAM dan keadilan.
Sepertinya, diperlukan kategorisasi yang lebih spesifik untuk istilah inkar al-sunnah, sehingga siapa saja tidak dengan mudahnya disebut sebagai munkir al-sunnah.
Daftar Bacaan:
Afwadzi, Benny. 2018. “Epistemologi Inkar al-Sunnah: Telaah Pemikiran Kassim Ahmad.” Al-Furqan 1 (2): 121–44.
Al-Jurjani, Ali bin Muhammad. 1983. Mu’jam al-Ta’rifat. Kairo: Dar al-Fadhilah.
Al-Kurdī, Marwān. 2017. Al-Wahy al-Tsani fi Dhau` al-Wahy al-Awwal. Taheran: Nasyr Ihsan.
Kurniasih, Asih, dan Muhammad Alif. 2018. “Metodologi Kritik Matan Hadis: Kajian Terhadap Kitab al-Sunnah al-Nabawiyyah baina Ahl al-Fiqh wa Ahl al-Hadis karya Muhammad al-Gazaliy.” Holistic al-Hadis 4 (2): 42–66.
Editor: Yahya FR