Hadis

Ar-Riwayah bi al-Ma’na dalam Ilmu Hadis

3 Mins read

Al-Qur’an yang merupakan wahyu Allah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad saw. Sejak turunya telah ditulis oleh para sahabat, khususnya para penulis Nabi saw. Mengingat pembacaan al-Qur’an dihitung sebagai ibadah, dan susuannnya dianggap sebagai mu’jizat, maka periwayatannya tidak boleh secara makna (Abu Zahwa, [t.t.]: 200).

Tidak demikian yang terjadi pada hadis. Pada awalnya penulisan hadis masih diperbolehkan oleh para sahabat. Mereka yang melarang penulisan hadis mendasarkan pendapatnya pada hadis yang diriwayatkan Abu Sa’id al-Khudry. Dan mereka yang memperbolehkan penulisan hadis ialah umar bin Khatab, Ali bin Abi Thalib, Anas, jabirUmar bin Abdl Aziz dan Sa’id bin Jabir.     

Secara etimologi, kata ar-riwayah bi al-ma’na terdiri dari ar-riwayah dan al-ma’na. Uraian tentang ar-riwayah dalam bahasa Indonesia berarti cerita, kisah dan berita, sedangkan al-ma’na adalah  yang berarti maksud, atau apa-apa yang dikehendaki oleh sesuatu (Peter Salim, 1991: 916).

Dalam hal ini, al-ma’na lebih mengarah pada konten atau isi dari suatu pernyataan sementara al-lafdzi adalah bunyi redaksionalnya. Dalam hal ini, pola periwayatan hadis membentuk dua jenis. Yaitu ar-riwayah bi al-lafdzi dan ar-riwayah bi al-ma’na.

***

Menurut Amin Ibrahim at-Taziy, ar-riwayah bi al-lafdzi adalah:

الرواية باللفظ وهي ان يؤدى الروى الحديث بحروفه على النحو الذي تحمله به دون تغيرفيه بتبديل او تحرفيه او زيادة او نقص او تقديم او تاخير

“Yaitu periwayatan hadis yang dilakukan oleh seorang periwayat dengan cara menyampaikan secara persisi bunyi harfiyahnya sesuai dengan saat deterimanya tanpa merubah dan mengganti atau menambah dan mengurangi atau mendahulukan dan mengakhirkannya”.

Sementara ar-riwayah bi al-ma’na adalah:

الرواية بالمعنى هي ان يؤدى الراوى الحديث الذي تحمله من عنده كلا او بعوضا مع المحفظه على كل معناه بحيث لايضيع منه شيئاذاما فورن بالفظ الذي تحمت الحديث به

Baca Juga  Inilah Empat Istilah Hadis Lemah selain Hadis Dhaif

“Yaitu periwayatan hadis yang dilakukan oleh seorang periwayat dengan menggunakan lafal dari dirinya sendiri, baik keseluruhan maupun sebagiannya saja dengan tetap menjaga artinya tanpa menghilangkan apapun apabila dibandingkan dengan hadis yang diriwayatkan menurut lafal atau teks aslinya ” (Mustafa Amin, [t.t.] juz 1: 19).

Konsep ar-riwayah bi al ma’na ini, dikalangan umat islam masih sering dipahami secara salah. Sebagian mereka ada yang memahami bahwa setiap perbedaan redaksi pada hadis disebabkan oleh ar-riwayag bi al-ma’na. Sehingga menurut mereka, ar-riwayah bi al-ma’na itu mencangkup semua hadis yang membahas tema yang sama dengan redaksi yang berbeda. Maka, bila mereka menemukan suatu hadis dengan redaksi yang berbeda-beda untuk satu tema, akan langsung mengatakan bahwa hadis tersebut diriwayatkan secara makna.

Untuk mengetahui apakah hadis itu diriwayatkan secara makna atau tidak, berikut ini adalah contoh hadis tentang Islam yang utama:

Hadis pertama:

حدثنى سعيد بن يحي بن سعيد القرشى قال ثنا ابي ثنا ابو بردة بن ابى بردة عن ابي موسى قالوا يارسول الله اى الا السلام افضل قال من المسلمون من لسانه ويده

“Al-Bukhariy mengatakan Sai’d bin Yahya bin Sa’id al-Qurasy menceritakan kepada kami, (katanya) Abu burdan bin Abd Allah bin Abi Burdah dari Abi Muasa ra. Dia berkata, mereka bertanya, “Wahai Rasulullah, Islam bagaimana yang paling baik? Nabi menjawab, orang Islam yang menyelamatkan umat Islam lainnya dari lidah dan tangannya”.

Hadis kedua:

حدثنا عمر بن خالد ثنا اليث عن يزيد عن ابى الخير عن عبد الله بن عمرورع أن رجلا سأل النبى ص م. اي الا سلام الخير قال تطعم الطعمام وتقرأ السلام على من عرفت ومن لم تعرف   

Baca Juga  Apa itu Sunnah Tasyri’?

“Amr bin Khalid telah menceritakan kepada kami, al-Lais telah menceritakan kepada kami dari Yazid  dari Abu al-Khair dari Abdullah bin umar ra. Bahwa seseorang bertanya kepada Nabi, “ Islam yang bagaimana yang paling baik? Nabi menjawab, “Hendaklah kamu memberi makan dan mengucapkan salam kepada orang yang kamu kenal atau yang belum kamu kenal”

(Al-Bukhory, jilid 1: juz 1).

Hadis tentang Islam yang paling baik atau utama dengan membandingkan jalur periwayatan seperti di atas, tidak termasuk pada kelompok hadis yang diriwayatkan secara makna, karena jawaban Nabi itu ditunjukkan untuk orang dan peristiwa yang berbeda.

Justifikasi Ar-Riwayah bi al-Ma’na

Ar-riwayah bi al-ma’na, sebagai salah satu metode periwayatan, telah ditempuh oleh para sahabat sejak masa Nabi. Namun, demikian ulama; ahli hadis belum sepakat tentang hukumnya. Namun, mereka sepakat bahwa periwayatan yang tidak atau kurang mempunyai pengetahuan bahasa dan tidak mengetahui hal-hal yang merubah makna, tidak diperbolehkan meriwayatkan secara makna (An-Nawawy, 1993:229).

Mereka juga sepakat akan keharusan periwayatan secara lafal untuk beberapa hadis berikut:

  1. Hadis-hadis yang berkaitan dengan penyebutan nama-nama Allah dan sifat-sifat-Nya. Mereka memandang sebagai sesuatu hal yang taufiqy dan tidak boleh diganti dengan kalimat atau kata lain walaupun semakna.
  2. Hadis-hadis yang mengandung lafal-lafal yang dianggap ibadah, misalnya hadis-hadis do’a.
  3. Hadis-hadis tentang jawami’ al-kalim yang mengandung nalai balaghoh yang tinggi dan periwayatannya secara makna tidak mungkin bisa mewakili seluruh kandungan makna hadis yang dimaksud.
  4. Hadis-hadis yang berkaitan dengan lafal-lafal ibadah, misalnya tentang hadis azan, iqomat, takbir sholat, sighot syahadat, dan sighot akad (As-Syakhawy, 1968: 214).

Selanjutnya para ulama ahli hadis, fiqih maupun usul berbeda pendapat dalam hal kebolehan ar-riwayah bi al-ma’na sebelum tadwin dan sesudah tadwin.

Sebelum Tadwin

Ulama hadis berbeda pendapat tentang hukum ar-riwayah bi al-ma’na pada masa sebelum dibukukannya (tadwin) hadis Nabi secara resmi. Mayoritas ulama hadis membolehkan periwayatan secara makna bagi orang yang telah memenuhi syarat, diabtaranya harus mempunyai bahasa yang mendalam.

Baca Juga  Mengapa Hadis Niat Selalu Ditulis Pertama?

Sedangkan bagi periwayat yang tidak memenuhi syarat, maka mereka sepakat harus meriwayatkan secara lafal yang diterima, tanpa ada perubahan sedikitpun. Pendapat ini diikuti oleh segolongan sahabat, yakni Ali bin Abi thalib, Anas bin Malik, Abu Hurairah dan segolongan tabi’in dan atba’ at-tabi’in, yakni al-hasan al-basry, Amr sbin Dinar, imam Abu Hanifah, dan Ahmad bin Hanbal (At-Taizy, hal 201).

Sesudah Tadwin

Para ulama sepkat bahwa periwayatan hadis secara makna tida diperbolehkan sesudah hadis itu dikondifisikan dalam kitab-kitab hadis. Ketika hadis-hadis itu tekah tertulis dalam kitab-kitab, maka lafal dan hurufnya sudah jelas. Oleh karenanya, periwayatan secara makna tidak diperbolehkan, mengingat makna asal ar-riwayah adalah memindahkan hadis sesuai dengan lafal yang diterima dan didengar dari Nabi, sedangkan ar-riwayah bi al-ma’na menyimpang dari makna asal ini.

Sementara alasan diperbolehkannya riwayah bi al-ma’na ini adalah karena adanya darurat dalam pelaksanaannya dan kondisi-kondisi khusus, misalnya karena lupa lafalnya. Namun setelah dibukukannya hadis Nabi dalam kitab-kitab hadis, ‘illah (alasan) yang menyebabkan adanya rukhsah telah hilang, sehingga tetap wajib untuk meriwayatkan hadis secara lafal (Abu Zahw, [t.t]: 204).

Ali Idris Baidhowi
2 posts

About author
Mahasiswa Universitas Negeri Islam Tulungagung Prodi Ilmu Hadis
Articles
Related posts
Hadis

Hadis Daif: Haruskah Ditolak Mentah-mentah?

4 Mins read
Dalam diskursus kajian hadis, masalah autentisitas selalu jadi perhatian utama. Bagaimana tidak, dalam konstruksi hukum Islam sendiri menempatkan hadis pada posisi yang…
Hadis

Faktor Penyebab Keterlambatan Penulisan dan Kodifikasi Hadis

3 Mins read
Penulisan hadis sebenarnya sudah ada di zaman Nabi Saw, namun penulisan tersebut tidak dilakukan secara terang-terangan. Hal ini dibuktikan dengan adanya shahifah-shahifah…
Hadis

Empat Metode Para Orientalis dalam Melacak Hadis

4 Mins read
Para pengkaji dan kritikus barat berbeda-beda dalam menetapkan sebuah teori dan metode penanggalan hadis sesuai dengan disiplin ilmu mereka. Untuk melacak dan…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *