Hari raya idul fitri telah kita lewati, selain itu ada juga hari raya kedua yang tak kalah ramai dan dinanti-nanti kedatangannya, yaitu hari raya idul adha. Hari raya idul adha merupakan hari raya kedua yang diperingati di bulan dzulhijjah atau bulan haji. Tapi di indonesia, hari besar ini mungkin tidak seramai idul fitri, tetapi ini adalah momen dimana banyak kaum muslimin bersungguh-sungguh untuk berderma dengan melaksanakan ibadah qurban. Tapi ada beberapa persoalan penting yang perlu kita ketahui dalam ibadah qurban. Berikut ini lima persoalan seputar pelaksanaan ibadah qurban:
Persoalan Qurban dan Aqiqah
Qurban dan Aqiqah hukumnya adalah sama-sama sunnah muakkadah, terutama bagi yang mampu. Terkait perihal manakah yang harus didahulukan, kita hendaknya bijak dengan melihat kemampuan finansial dan waktunya. Kapan kita melaksanakan qurban dan aqiqah.
Qurban berasal dari bahasa Arab, “Qurban” yang berarti dekat (قربان). Qurban dalam Islam juga disebut dengan al-udhhiyyah dan adh-dhahiyyah yang berarti binatang sembelihan, seperti unta, sapi, dan kambing yang disembelih pada hari raya Idul Adha dan hari-hari tasyriq sebagai bentuk taqarrub atau mendekatkan diri kepada Allah.
Adapun aqiqah sejatinya disunnahkan bagi kaum muslimin untuk rasa syukur atas kelahiran seorang anak sebagai generasi islam selanjutnya. Sunnah pelaksanaannya yaitu pada tujuh hari setelah anak dilahirkan. Anjuran melakukan aqiqah memang diperintahkan untuk orang tua si anak yang memiliki kelapangan rezeki.
Aqiqah bisa dilakukan oleh orang tua hingga si anak tumbuh dewasa atau memasuki masa balligh. Setelah si anak dewasa, aqiqah tidak lagi dibebankan kepada orang tua. Dalam kondisi seperti ini yang lebih bagus adalah si anak melakukan aqiqah untuk dirinya sendiri. (Syekh Dr Musthofa al-Bugha, al-Fiqh al-Manhaji ‘ala al-Mazhab al-Imam al-Syafii, Juz 3, Dar al-‘Ulum al-Insaniyah, 1989, hal 6).
Persoalan Jenis Kelamin Hewan Qurban
Jenis kelamin pada hewan qurban masih hangat diperbincangkan dan menjadi persoalan tersediri dikalangan masyarakat secara luas. Sebagian masyarakat masih menganggap bahwa jenis kelamin hewan qurban adalah jantan, sebagian yang lain menganggap keduanya diperbolehkan.
Imam Baijuri berkata, “Dan penjelasan penyarah mengenai hewan kurban tercakup didalamnya hewan ternak jantan, betina, bahkan yang memiliki kelamin ganda maka sah hukumnya berkurban dengan semua hewan tersebut. (Imam asy-Syekh Ibrahim Baijuri, Hasyiyah asy-Syekh Ibrahim al-Baijuri ‘ala Syar hal-‘Allamah ibn al-Qasim al-Ghuzzy ‘ala Matn asy-Syekh Abi Syuja’; Dar al-Kutub al-Ilmiyah, Beirut, 2002. Juz 2, hal 557)
Hal ini juga sesuai dengan keputusan Majelis Tarjih PP Muhammadiyah dalam ‘Pengembangan HPT jilid II Tuntuan Idain dan Qurban’, “Ketiga, kriteria dari segi jenis kelamin (hewan qurban boleh jantan dan betina karena tidak ada dalil yang mengkhususkan salah satu jenis). (Majelis Tarjih dan Tajdid Pimpinan Pusat Muhammadiyah, Pengembangan HPT (II) : Tuntunan Idain dan Qurban, t.t., hlm. 22.
Memotong Kuku dan Rambut
Persoalan memotong kuku sewaktu ingin berqurban juga menjadi pertanyaan bagi sebagian kaum muslimin. Apakah hanya yang mau berqurban, ataukah semua kaum muslimin?
Rasulullah SAW bersabda, “Barangsiapa yang ingin berqurban dan apabila telah memasuki awal Dzulhijjah (1 Dzulhijjah), maka janganlah ia memotong rambut dan kukunya sampai ia berqurban.” (HR. Muslim).
Dari hadist diatas kita dapat memahami bahwa larangan memotong kuku dan rambut adalah untuk kaum muslimin yang akan berqurban. Sebagian ulama berpendapat makruh hukumnya bagi yang berqurban apabila memotong kuku dan rambut sebelum hewan qurbannya disembelih. Bahkan sebagian dari ulama yang mengikuti Mazhab Imam Ahmad bin Hambal ada yang berpendapat bahwa haram hukumnya bila memotong rambut dan kuku. (Kitab al-Fiqh al-Islami wa Adillatuhu, Syekh Wahbah al-Zuhailiy, juz 3, Dar al-Fikr, hal 624).
Berqurban untuk orang lain
Niat qurban adalah semata-mata untuk mencari ridho Allah dan mengharap pahala dari-Nya. Lalu bagaimana jika berqurban untuk oranglain?
Ada beberapa pendapat terkait hal ini; apabila telah wafat, maka tidak boleh berniat qurban untuknya kecuali almarhum/almarhumah pernah berwasiat agar yang masih hidup berqurban untuknya. (Kifayatul Akhyar Juz 2, Maktab Imaratullah, hal 236).
Dalam pandangan Mazhab Maliki, hukumnya makruh bila si mayit tidak menetapkan hewan tertentu sebagai qurban sebelum wafatnya. Tapi bila ditetapkan sebelum ia wafat dan bukan dalam bentuk (qurban) nazar, disunnahkan bagi ahli warisnya merealisasikan qurban tersebut.
Sementara Mazhab Hanafi dan Hanbali dibolehkan berqurban atas nama orang yang sudah wafat dan perlakuan daging qurbannya sama seperti qurban orang yang masih hidup dalam hal menyedekahkan dan memakannnya. (Kitab al-Fiqh al-Islami wa Adillatuhu, Syekh Wahbah al-Zuhailiy, juz 3, Dar al-Fikr, 2008, hal 631).
Beberapa persoalan diatas adalah persoalan yang umum dikalangan masyarakat, tetapi seringkali menjadi pertanyaan. Oleh karena itu, tulisan ini diharapkan menjadi pengingat dan menjawab persoalan yang dipertanyakan.
Editor: Luna