Tajdida

Becik Ketitik Ala Kethara: Menanggapi “Ketum Pemuda Muhammadiyah Salah Minum Obat”

3 Mins read

Oleh: Hasnan Bachtiar

Istilah bebasan (bersusastra) “becik ketitik ala kethara” kerap dimaknai sebagai “perbedaan antara kebenaran dan kesalahan tampak begitu jelas, jernih dan gamblang.” Di dalam tradisi Islam, hal ini mirip dengan doa “Allahumma arina al-haqqa haqqa warzuqna al-tiba’a, wa arina al-bathila bathila warzuqna al-tinaba” (ya Allah, tunjukkanlah bagi kami akan kebenaran dan kesalahan yang sesungguhnya).

Tentu bebasan dan doa tersebut, berlaku secara umum dalam seluruh aspek kehidupan manusia. Tidak terkecuali dalam kehidupan politik dewasa ini. Terutama, ketika kontestasi politik lebih diwarnai bukan oleh perlombaan dalam kebajikan (fastabiq al-khairat), tetapi saling hujat, saling fitnah dan saling mengobarkan kebencian, permusuhan dan konflik.

Situasinya semakin buruk, ketika media sosial justru penuh dengan kabar bohong alias palsu (hoax), ketimbang kabar yang inspiratif dan menggugah para pembaca untuk melakukan sesuatu yang berfaedah bagi kehidupan.

Keadaban yang Hilang

Beberapa hari yang lalu, saya sempat membaca sebuah artikel lepas yang beredar melalui WhatsApp. Artikel tersebut bertajuk “Ketum Pemuda Muhammadiyah Salah Minum Obat,” yang ditulis oleh Moh. Naufal Dunggio, dengan penjelasan identitas: Ketua Lembaga Dakwah Khusus Pimpinan Muhammadiyah DKI Jakarta.

Intisari dari artikel tersebut adalah tidak bersepakat dengan pidato yang disampaikan oleh Sunanto, sesaat setelah dilantik sebaga Ketua Umum Pimpinan Pusat Pemuda Muhammadiyah. Sunanto menegaskan bahwa, kiranya warga Muhammadiyah tidak turut serta dalam aksi “populisme Islam” 212, karena aksi tersebut terlampau bersifat politis. Artinya, dimanfaatkan untuk kepentingan politik kekuasaan tertentu. Sunanto juga menjelaskan bahwa pendapatnya tersebut, berpijak kepada nasehat yang diberikan oleh Dr. Haedar Nashir, selaku Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah.

Tentu saja netralitas Muhammadiyah di tengah gejolak politik praktis dapat dipahami. Bahkan di dalam Anggaran Dasar Muhammadiyah, organisasi Islam modernis terbesar di Indonesia ini menegaskan bahwa dirinya organisasi dakwah amar ma’ruf nahi munkar (bukan partai politik, yang berorientasi pada perebutan kekuasaan).

Baca Juga  Karena Muhammadiyah, Saya Tak Jumatan Lagi!

Moh. Naufal Dunggio mengungkapkan kekecewaannya pada Sunanto (juga Dr. Haedar), dengan bahasa yang begitu kasar, keras dan sarkastik. Misalnya, “Dan sejak kapan Muhammadiyah jadi pembangkang dalam gerakan umat Islam?,” “Jadi Muhammadiyah gak perlu ambil bagian dalam aksi-aksi begitu (pen. Aksi 212). Itu pikiran yang sangat egois dan sombong,” “Wajib Ketum itu dibuang di kali Ciliwung dikasih makan ikan sapu-sapu,” dan seterusnya.

Tentu saja setiap warga negara memiliki hak untuk mengekspresikan pendapat politiknya, dengan cara apapun, walau dalam konteks Naufal Dunggio, tampak kurang menunjukkan kebajikan. Atas apa yang disampaikan melalui artikel lepas tersebut, seperti kehilangan dimensi akhlaki, sama sekali bukan teladan, dan tidak menunjukkan etika welas asih yang dicontohkan KH Ahmad Dahlan. Bahkan, Nabi Muhammad Saw., tidak pernah berbuat demikian.

Menjaga Muhammadiyah

Secara substansial, Muhammadiyah tidak perlu memihak partai politik tertentu, yang menyebabkan langkah-langkah dakwahnya, terbatasi oleh kepentingan politik (kepartaian dan kekuasaan). Jika 212 adalah sekedar tunggangan politik (praktis), maka Muhammadiyah jelas (kethara) tidak perlu turut serta mengambil bagian dalam salah satu proses politik tersebut. Konsekuensinya, Muhammadiyah perlu menghimbau warganya agar tidak menjadi bagian dari instrumentalisasi agama untuk kepentingan politik kekuasaan jangka pendek (sejauh usia kekuasaan politik itu sendiri).

Instrumentalisasi agama – seperti dalam kasus Aksi 212 – untuk kepentingan politik kekuasaan, bukanlah hal yang diperkenankan bagi agama itu sendiri. Secara etis, terdapat larangan agar supaya seorang Muslim yang baik, “Tidak menjual ayat-ayat Allah dengan harga yang murah” demi menggapai kepentingan yang remeh-temeh, tidak abadi dan tidak berorientasi kehidupan ukhrawi.

Adapun cara yang dibenarkan, adalah berpijak kepada “nilai-nilai universal Islam” seperti cinta, kejujuran, ketulusan, keikhlasan, welas asih, kasih sayang, kemanusiaan, kesetaraan, keadilan dan pada akhirnya kebenaran. Dengan pijakan tersebut, lantas mewarnai pemikiran, tutur dan perilaku seorang Muslim sebagai agensi sosial yang mewarnai kualitas aktivitas politiknya.

Baca Juga  Mengapa Saya Memilih Islam Progresif?

Kalau demikian, apakah keliru atas apa yang diungkapkan oleh Sunanto dan Dr. Haedar Nashir? Lantas bagaimana dengan Naufal Dunggio yang memaksa Muhammadiyah agar terlibat dalam aksi politik 212, bahkan berkomentar dengan ekspresi politis yang sedemikian kasar? Dalam hal ini, para pembaca merdeka dalam menilai siapa yang benar dan siapa yang salah. Sudah pasti bahwa becik ketitik, ala kethara.

Akhirnya, marilah kita berpolitik dengan cara yang ma’ruf, berorientasi ukhrawi dan mencontoh teladan kenabian dalam berdakwah. Mari kita menjauhkan diri dari segala tindak laku instrumentalisasi agama untuk kepentingan politik yang remeh-temeh. Mari kita berdoa kepada Allah SWT., agar kita dijauhkan dari sifat gemar menjual ayat-ayat Allah untuk tujuan yang buruk. Semoga Allah mengampuni dan menunjukkan jalan yang benar.

89 posts

About author
Dosen Fakultas Agama Islam Universitas Muhammadiyah Malang, Direktur Riset RBC Institute A Malik Fadjar.
Articles
Related posts
Tajdida

Islam Berkemajuan: Agar Umat Bangkit dari Kemunduran

7 Mins read
Islam Indonesia: Berkemajuan tapi Pinggiran Pada 2015 terjadi dua Muktamar mahapenting: (1) Muktamar Islam Nusantara milik Nahdlatul Ulama, (2) Muktamar Islam Berkemajuan…
Tajdida

Ketika Muhammadiyah Berbicara Ekologi

4 Mins read
Apabila dicermati secara mendalam, telah terjadi degradasi nilai-nilai manusia, nampakyna fungsi utama manusia sebagai khalifah fil ardh penjaga bumi ini tidak nampak…
Tajdida

Siapa Generasi Z Muhammadiyah Itu?

3 Mins read
Dari semua rangkaian kajian dan dialog mengenai Muhammadiyah di masa depan, agaknya masih minim yang membahas mengenai masa depan generasi Z Muhammadiyah….

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

This will close in 0 seconds