Review

Belajar Analisis Sosial Kritis Feminisme dari Film Shah Rukh Khan

4 Mins read

Menonton Film SWADES yang dibintangi aktor papan atas Shah Rukh Khan bisa menjadi kegiatan produktif di tengah terbatasnya aktivitas akibat pandemi COVID-19 ini. Terutama bagi peminat kajian sosial. Menyajikan kritik terhadap nilai-nilai tradisi dan agama yang membelenggu masyarakat.

Film ini juga memberikan inspirasi dalam memanfaatkan potensi yang ada di masyarakat tersebut. Pembahasan problem sosial secara kritis dan penggalian potensi adalah dua pijakan dalam usaha melakukan perubahan sosial.

Dalam Film SWADES yang rilis taun 2014 ini, Shah Rukh Khan berperan sebagai Mohan. Seorang warga India yang menjabat sebagai projek manejer di Pengukuran Pengandapan Global, NASA, Amerika Serikat. Kisah Mohan dalam perubahan sosial dimulai dari  perjalanannya menemui  Kaveriamma, ibu angkatnya yang tinggal di sebuah desa di India bernama Charanpur.

Mohan mendapati kondisi yang sangat memprihatinkan di Charanpur berupa ketimpangan sosial. Keadaan rendahnya tingkat kesadaran masyarakat akan pendidikan, dan buruknya birokrasi pemerintahan desa, kekurangan daya listrik, serta penindasan yang terjadi akibat nilai-nilai agama dan tradisi. Kondisi inilah yang mendorong Mohan untuk melakukan perubahan pada masyarakat desa Charanpur.

Perbedaan Pandangan dalam Melihat Struktur Sosial Masyarakat

Landasan teoritis (cara berfikir) adalah pisau analisis dalam melihat realita suatu masyarakat. Disadari atau tidak, perbedaan dalam cara berfikir akan menghasilkan penafsiran yang berbeda pula. Hal ini tergambar dalam perdebatan Mohan dan Gita, seorang guru yang idealis di desa Charanpur.

Mohan beranggapan bahwasanya pangkal masalah-masalah dalam masyarakat adalah budaya yang bersifat menindas. Kasta yang tinggi menindas yang rendah. Kasta tinggi dengan doktrin agamanya bisa semena-mena berkuasa di desa, melakukan korupsi dan diskriminasi. Inilah sebab rendahnya ekonomi, pendidikan dan kualitas hidup masyarakat desa Charanpur.  

Sebagaimana pandangan teori konflik bahwasanya struktur sosial masyarakat tidak lepas dari konflik kepentingan antar kelas dan kelompok. Perubahan akan terjadi melalui “koreksi” terhadap struktur sosial yang ada.

Baca Juga  Robert W. Hefner: Jaringan Ideologi Pendidikan Islam di Asia Tenggara

Berbeda dengan Mohan, Gita tidak menyalahkan system struktur sosial sebagai pangkal masalah. “Masyarakat adalah suatu system, jika system tidak berjalan maka memperbaiki kondisi adalah tugas kita semua” Kata Gita mengemukakan argumennya.

Gita adalah guru yang paling keras memperjuangkan keberadaan sekolah di desa  Charanpur, namun Gita tidak suka mengomentari struktur sosial atau pejabat di desanya. Sesuai keyakinannya bahwasanya kalau masyarakat ingin berubah, ya harus memperbaiki sumberdaya masyarakat itu sendiri.

Kritik Terhadap Nilai Tradisi yang Menindas

Rendahnya ekonomi masyarakat tidak lepas dari kekangan tradisi yang menindas dan tidak manusiawi. Berdasarkan tradisi di desa Kodi yang tidak jauh dari Caranpur. Seorang penenun harus menjadi penenun sepanjang hidupnya, seorang petani harus menjadi petani sepanjang hidupnya.

Tidak boleh ada pergantian profesi. Karena hal ini, malapetaka menimpa Harridas, salah seorang masyarakat desa Kodi. Harridas awalnya adalah seorang penenun, namun karena adanya mesin tenun di kota, penghasilan penenun turun drastis. Akhirnya Harridas berganti professi menjadi petani dengan menyewa tanahnya Gita dengan harapan penghidupan yang lebih baik.

Tetua di desa Kodi tidak menerima peralihan profesi Harridas karena sudah melanggar aturan tradisi. Akhirnya Harridas dianggap sebagai orang buangan. Tidak seorangpun membuka perairan untuk lahannya. Ekonomi Harridas semakin hancur hingga untuk makan dan pakaian saja mereka sudah tidak sanggup.

Kondisi ketertindasan karena system tradisi ini membuat Mohan sangat terpukul. Yang kemudian Mohan menyampaikan kritikannya dalam sebuah forum adat. Mohan disebut pengkhianat oleh pemuka adat karena sudah mengkritisi  tradisi. Namun dengan pendekatan yang baik, Mohan berhasil membuka mata dan menumbuhkan empati masyarakat terhadap golongan yang tertindas oleh tradisi yang mereka anut, seperti Harridas.

Baca Juga  My Soul is a Woman: Memahami Peran Perempuan dalam Agama dan Budaya ala Schimmel

Feminisme ala Gita

Film SWADES juga mengkritik kedudukan dan hak-hak perempuan dalam rumah tangga dan lingkungan sosial.  Hal ini tergambar dari pemikiran emansipatoris Gita. Gita menolak lamaran seseorang dikarenakan keinginan keluarga laki-laki tersebut agar Gita meninggalkan pekerjaannya  setelah menikah. Gita menolak dengan tegas walaupun saat itu Gita dalam kondisi yang siap untuk menikah.

Ia lebih memilih untuk fokus kepada visinya memajukan pendidikan desa. Idealisme Gita ini membuat dia sulit mendapatkan jodohnya. Kaveriamma yang juga ibu angkatnya Gita sudah berusaha agar Gita bisa merubah pemikirannya mengikuti mainstream yang ada. Perempuan kalau sudah menikah tugasnya hanyalah di rumah tangga, mengabdi kepada suaminya.

Tapi Gita mengatakan pemikirannya tentang emansipasi tidak akan pernah berubah. Dia tidak akan menikah kalau harus meninggalkan siswanya di sekolah. Kabar baiknya, pada akhirnya Gita menikah dengan Mohan.

Gerakan Perubahan

Perubahan “kongkret” yang “difasilitatori” oleh Mohan dan Gita berfokus kepada perbaikan pendidikan dan infrastruktur listrik. Kata “difasilitatori” lebih tepat dibandingkan “dilakukan” karena perubahan adalah hasil kerja kolektif partisipatif masyarakat, bukan individu Mohan atau Gita.

Tentunya perubahan tidak lepas dari kritik terhadap struktur dan norma dalam masyarakat sebagaimana penjelasan di atas. Pendidikan dan infrastruktur dalam hal ini adalah perubahan yang paling “kongkret” untuk bisa dilihat.

Dalam menangani masalah pendidikan, hal pertama yang dilakukan Mohan dibantu Navaaranji (petugas post desa) adalah mengadakan negosiasi dengan pemangku desa. Ia merupakan para Brahmana untuk mengizinkan anak-anak dari kasta bawah untuk ikut sekolah di sekolah desa. Hal ini ditentang keras oleh para Brahmana, katanya “singa dan domba tidak pernah minum di kolam yang sama”.

Dari keluarga kasta bawah sendiri tidak ada optimisme untuk pendidikan mereka. Mereka terbelenggu dengan kemiskinan serta kasta mereka. Anak-anak mereka banyak dinikahkan di usia dini.

Baca Juga  Alimatul Qibtiyah: Keluarga Feminis adalah Visi Feminis Muslim

Keberhasilan Mohan dan Gita

Dengan kegiatan advokasi ini, Mohan dan Gita berhasil mengajak orang tua dari semua kasta untuk menyekolahkan anaknya bahkan dari luar desa. Hal ini juga meningkatkan optimisme desa terhadap sekolah itu sendiri. Mohan menargetkan ada sekolah tinggi di desa dalam waktu dekat.

Dalam masalah infrastruktur Listrik,  krisis terjadi karena tidak adanya sumber daya dan buruknya permainan di birokrasi pimpinan desa. Mohan mengajak semua penduduk desa untuk membangun pembangkit listriknya sendiri dengan memanfaatkan mata air yang berada di bukit dekat desa. Dibuat bah untuk menampung air ini. Dengan tekanan air yang cukup, air disalurkan untuk memutar generator listrik.

Pembangkit listrik ini adalah dalam skala kecil, hanya untuk kebutuhan masyarakat di desa ini. Mohan menggunakan Teknologi Tepat Guna sesuai dengan kebutuhan ini. Mohan membeli alat-alat modern dari Delhi dan mengerjakannya bersama-sama dengan masyarakat.

Tetua desa awalnya tidak respon terhadap gagasan Mohan. Tapi setelah program Mohan menunjukkan progress, akhirnya muncul optimisme dalam masyarakat. Dalam waktu beberapa minggu, Mohan bersama masyarakat berhasil membangun pembangkit listrik mini untuk kebutuhan mereka sendiri.

Keberhasilan Mohan membuatnya sangat dicintai oleh masyarakat. Mohan berhasil membangun kesadaran dan optimisme dalam masyarakat akan kehidupan yang lebih adil dan lebih baik. Mohan tidak menentang budaya keseluruhan, melainkan memperbaiki nilai-nilai tradisi yang bersifat menindas. Mohan tidak membawa mesin pembangkit dari Amerika, tapi memanfaatkan potensi yang ada secara kolektif dan partisipatoris bersama masyarakat.

Editor: Wulan
1 posts

About author
Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah UINSA Surabaya
Articles
Related posts
Review

Kumandang Dakwah Sang Pembaharu dari Paciran: Kiai Muhammad Ridlwan Syarqawi

3 Mins read
Muhammadiyah dikenal sebagai gerakan pembaharu (tajdid) sekaligus pemurnian akidah Islam. Sejak awal berdirinya di Yogyakarta, Kiai Ahmad Dahlan telah menancapkan pakem kokoh…
Review

Memahami Teks, Menyadari Konteks: Review Buku Interaksi Islam Karya Mun'im Sirry

5 Mins read
Buku ini, Interaksi Islam, karya terbaru Prof. Mun’im Sirry, mengusung tiga tema besar: Pertama, penelusuran aktivitas relasi antaragama di masa awal Islam,…
Review

Belajar Kehidupan dari Dilarang Mencintai Bunga-Bunga Karya Kuntowijoyo

4 Mins read
“Membaca karya Kuntowijoyo ini pembaca akan merasakan bagaimana sensasi imajinasi yang membuat pikiran merasa tidak nyaman.” (Buku Cerpen Dilarang Mencintai Bunga-Bunga, Kuntowijoyo)…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

This will close in 0 seconds